Sharing By Rey - Hobi saya berjalan - jalan di blog orang siang ini, mengantarkan saya pada sebuah tulisan tentang PROFESIONALISME WORKING MOM.
Saya jadi ingin bercerita juga tentang hal itu, mengingat selain galau ninggalin anak, Profesionalisme dalam bekerja lah yang membuat saya memutuskan menjadi Stay At Home Mom (SAHM).
Yup, menurut saya.. dalam dunia kerja, tidak peduli apa status kita, entah kita lajang ataupun telah menikah.
Entah kita sudah punya anak, ataupun belum punya anak..
Entah kita sedang sakit, ataupun sedang sehat..
Profesionalisme itu tetap nomor satu!
Karena kita semua sama - sama di bayar / di gaji!
Saya jadi ingat sewaktu saya belum menikah, karena saya se ruangan dengan Kabag Administrasi, saya jadi sering menyaksikan betapa dongkolnya Kabag tersebut oleh berbagai kelakuan karyawan di kantor tersebut.
Salah satunya adalah mengatasi keluhan para karyawan yang sudah menikah dan punya anak..
Ada yang protes agar gaji dan lemburan mereka yang sudah menikah dan punya anak seharusnya lebih besar dari karyawan yang belum menikah, karena menurut mereka, tanggungan karyawan yang belum menikah tidak sebanyak mereka.
Belum lagi menanggapi protes beberapa karyawan yang kesal di suruh lembur, karena anak dan suami/istri sudah menanti di rumah, lalu ujung - ujungnya mengajukan rekan - rekan yang belum menikah saja yang menggantikan mereka lembur -__-
Sampai waktu akhirnya membuat saya merasakan berada di posisi rekan - rekan kerja saya tersebut.
Saya juga akhirnya menikah dan punya anak!
Lalu apa yang saya rasakan?
Ya memang sih SANGAT GALAU! hahaha
Betapa sulitnya menyeimbangkan antara kewajiban sebagai pekerja dan sebagai istri plus ibu.
Belum lagi saat saya ketambahan bonus di banding ibu - ibu lainnya.
Anak saya langganan sakit - sakitan hiks, dan parahnya saya tidak bisa seperti ibu - ibu lainnya yang dengan mudahnya meminta tolong kepada ibu kandung maupun ibu mertuanya untuk bisa membantu mengawasi anak kita yang sedang sakit atau harus kita tinggalkan dalam waktu agak lama.
Mama saya berada ribuan KM dari saya, saya di Jawa, mama di Buton hiks.
Mertua saya sih memang masih terhitung dekat, hanya terpisah puluhan KM dari kami, namun sudah lumayan tua dan masih punya cucu lainnya yang harus di perhatikan.
Jadilah saya sering nangis galau..
Bukan galau karena harus ninggalin anak saya saat dia sedang sakit.
Tapi juga galau karena sudah melupakan profesionalisme dalam bekerja dan saya tau itu bisa merugikan banyak orang.
Mengapa bisa merugikan banyak orang?
Karena menjadi karyawan dalam sebuah perusahaan itu berarti kita menjadi satu bagian yang sangat penting dalam roda perusahaan.
Bayangkan jika satu bagian itu tidak bekerja, pastinya roda tidak akan berjalan sempurna seperti biasanya.
Ada banyak banget, contoh nyata saat seorang Working Mom membutuhkan pengertian namun sering merugikan orang lain.
Setidaknya kisah - kisah itu ada dalam kehidupan kita sehari - hari, yang juga saya alami semasa dulu bekerja kantoran.
1. Sering Tidak Konsen Saat Bekerja
Menjadi seorang ibu itu bukanlah hal mudah, apalagi jika punya bayi atau balita.
Kurang tidur berakibat ngantuk di siang hari sudah menjadi hal yang biasa, belum lagi kalau anak ada masalah seperti jatuh, atau tiba - tiba demam yang mengakibatkan sang ibu panik lalu sibuk telepon sana sini dan gak konsen bekerja.
Kalau melihat dari sisi kemanusiaan sih, memberikan pengertian kepada ibu bekerja itu yang terbaik.
Namun pernahkah kita memikirkan hal lain dari segi rekan kerjanya maupun perusahaan?
Bekerja sama secara team dalam sebuah perusahaan itu adalah hal yang sangat wajib, agar pekerjaan lancar, semua orang dalam team seharusnya bekerja dengan baik.
Lalu bagaimana perasaan dan kondisi psikolog pekerja lainnya jika terus menerus bekerja dengan orang yang tidak konsen dalam bekerja?
Bisa dipastikan lama - kelamaan keadaan itu bisa mempengaruhi banyak rekannya dan membuat jalannya roda perusahaan menjadi tersendat.
Manusiawi banget jika banyak yang jadi terpengaruh, mengingat semua pekerja dalam sebuah perusahaan punya hak dan kewajiban masing - masing.
Atau dengan kata lain, sama - sama terima gaji.
2. Sering Absen Tanpa Pemberitahuan Terlebih Dahulu
Memang sih, meski tidak berstatus sebagai ibu, kadang beberapa orang tiba - tiba absen jika sakit.
Namun, peluang hal ini terjadi pada ibu bekerja lebih besar, mengingat bayi atau balita lebih sering terserang sakit tiba - tiba.
Jika sudah begini, bisa di tebak deh pekerjaan di kantor jadi terbengkalai dan pastinya akan berpengaruh pada pekerjaan beberapa rekan kerja.
Apalagi jika yang absen memegang jabatan sebagai kepala, misal kepala keuangan.
Di jamin rentetan penundaan kerjaan bahkan panjaaaanggg dan berakibat merugikan banyak orang.
3. Sering Menolak Lembur Bahkan Melemparkan Pada Rekan Kerja Lainnya
Yang ini paling sering bikin saya gregetan saat belum menikah.
Karena background pendidikan saya Tehnik Sipil, mau gak mau saya selalu berakhir di perusahaan kontraktor maupun konsultan tehnik.
Dan di perusahaan tersebut yang namanya lembur, sudah menjadi hal biasa, apalagi menjelang ada tender atau di kejar - kejar progress proyek, fiuuhh...
Hal tersebut sangatlah mengganggu bagi para ibu bekerja, karena yang namanya seorang ibu jam bekerja, jam pulang adalah surga, karena anak sudah menanti di rumah.
Terlebih kalau harus menitipkan anak di daycare.
Lembur berarti biaya daycare semakin besar.
Padahal, lembur di perusahaan kontraktor atau konsultan tehnik itu tak berbayar alias all in sama gaji hiks -__-
Jadilah biasanya para ibu bekerja melemparkan tugas lembur itu kepada rekan - rekan yang masih bujang atau single, dengan alasan yang single gak punya tanggungan.
Bete gak sih? yang nyuruh punya anak siapa coba??
Kenapa yang punya anak situ, yang menderita yang single? hiks!!
4. Dan Masih Banyak Hal - Hal Yang merugikan Rekan Kerja bahkan perusahaan serta klien perusahaan
Selain rekan kerja, perusahaan bahkan klien perusahaan juga kadang di rugikan oleh ketidak profesionalan ibu bekerja.
Yang paling sering berakibat langsung adalah hal - hal yang menyangkut keuangan..
Di perusahaan kontraktor misalnya, setiap minggu ada pembayaran mingguan untuk pekerja harian di proyek serta juga beberapa klien atau subkon yang harus di bayar.
Di sinilah profesionalisme ibu bekerja di tuntut lebih.
Seharusnya tidak boleh ada alasan yang mengakibatkan pembayaran tersebut tertunda hanya karena si ibu bekerja gak bisa masuk kerja.
Karena apa?
Sedikit bercerita saja, pengalaman saya saat bekerja di kontraktor rumah mewah setahun lalu.
Saat itu saya selalu terjun langsung ke proyek, memeriksa para pekerja dan tak jarang mendengarkan curhat para pekerja.
Ternyata para pekerja itu berasal dari luar kota, dari desa tepatnya.
Mereka datang ke kota menjadi kuli / tukang bangunan tanpa membawa uang sepeserpun, bahkan untuk ongkos perjalanan mereka dari desa ke kota di biayai dengan hasil berhutang dulu pada tetangga bahkan tak jarang pada rentenir.
Di kota, mereka bahkan kadang hanya bisa makan sehari sekali, itupun jika mendapat mandor yang baik yang mau menanggung makan mereka berupa beras dan kadang cuman berlaukan kecap.
Jadi..
Bagi mereka... Upah mereka di akhir pekan adalah surga yang sangat mereka nantikan.
Untuk membayar hutang mereka..
Untuk di kirimkan ke keluarga mereka di desa..
Untuk biaya makan mereka selama bekerja..
Bahkan tidak jarang, upah mingguan itu sangat di nantikan karena anak mereka harus segera membayar uang sekolah bahkan harus di bawa berobat ke dokter.
Untuk klien atau subkon perusahaan juga sama..
Tidak jarang uang tersebut sangat di nanti oleh sang subkon karena untuk membayar ini itu juga bahkan mungkin juga untuk membayar pekerja harian mereka.
Jadi bisa kebayang kan, betapa panjang rentetan kerugian jika posisi - posisi tersebut di tempati oleh seorang Ibu bekerja yang tidak profesional?
Hidup memang pilihan..
Namun alangkah bijaknya, jika pilihan kita tidak merugikan orang lain.
Apapun alasannya
Salam Happy Mom
Sidoarjo, 23 Mei 2017
@reyneraea
Menurutku semua tergantung pribadi ya. Dan memang tak harus tergantung dengan orang lain. Kita harus sama2 paham dalam satu team
BalasHapusIya mba, memang gak semuanya, banyak kok ibu bekerja yang bertanggung jawab.
HapusYang jadi masalah di sini adalah ibu-ibu yang bekerja tapi kurang profesional .
Dan tentu saja yang merugikan banyak orang 😊
Dulu di Jepang pemikirannya sama, punya anak atau tidak dituntut profesionalisme yang sama, akibatnya terjadi yang namanya maternity harrassment, yang mengakibatkan ibu bekerja merasa stress dan berbondong2 berhenti bekerja. Kini banyak program perusahaan untuk menumbuhkan empati terhadap ibu bekerja, misalnya pekerja lajang homestay di rumah ibu bekerja supaya dapat merasakan kesulitan mereka. Menurut saya keseimbangan adalah segalanya.Mari jadikan ibu lebih bahagia, working mom maupun stay stay at home mom. Btw saya juga stay at home mom yang berusaha profesional, tapi tetap sulit dan membutuhkan bantuan banyak pihak. salam.
BalasHapusWah makasih sharingnya mba, sebenarnya di sini saya lebih menekankan pada profesional dan tanggung jawab mba.
HapusKhususnya bagi ibu bekerja di bagian2 penting seperti keuangan, dll.
Seperti masalah yang saya tulis di atas.
Ketidak profesionalan seseorang khususnya ibu bekerja karena kondisinya, membuat banyak orang jadi mendapatkan dampak yang kurang baik.
Seperti gaji ditunda dll.
Saya sering banget melihat hal tsb terjadi, ada yang gaji tertunda hanya karena penanggung jawab belum ttd atau sebagainya 😊
Iya ya Bun suka galau kalau ada di posisi tersebut. Nggak bermaksud untuk merugikan dan nggak profesional tapi keadaan yang berbicara tapi memang jadinya merugikan orang lain dan tempat kita bekerja. Semoga ibu-ibu bekerja dari luar rumah dimudahkan ya
BalasHapusIya bun, dulu saya suka galau karena masalah begini.
HapusKerjaan saya memeriksa dan ACC kerjaan orang.
Kalau belum saya periksa, orang2 gak bisa di bayar.
Nah betapa galaunya saya saat anak sakit, terlebih posisi tersebut gak bisa di handle orang lain hiks.