Sharing By Rey - Paperless di sekolah si Kakak amat sangat erat kaitannya dengan kebijakan penggunaan gadget pada anak.
Karena dengan demikian, mau nggak mau semua harus dilakukan melalui gadget.
Zaman sekarang, bumi semakin bersedih karena terluka di mana-mana, hutan yang menjadi jantung bumi semakin menipis, udara semakin panas dan bahaya banjir badang mengintai setiap saat.
Karenanya, menjaga hutan agar tetap lestari itu sangat penting, dan salah satu caranya adalah dengan mengurangi pemakaian kertas yang notabene di buat dengan menebang banyak pohon di hutan.
Di zaman serba modern ini, seharusnya kita bisa lebih menjaga kelestarian hutan, dengan cara mengganti pemakaian kertas dengan teknologi online.
Tapi, bagaimana jika hal tersebut diterapkan pada sekolah dasar?
Ketika Kebijakan Paperless Diadakan
Jadi, sudah beberapa minggu belakangan ini, kakak Darrell pulang tanpa membawa weekly material plan, yaitu sebuah kertas kecil yang berisi jadwal pelajaran untuk seminggu ke depan.
Biasanya, setiap Kamis atau Jumat, setiap anak akan dibagikan kertas tersebut dan dengan kertas tersebut, saya selaku orang tua merasa sangat terbantu karena bisa mendidik atau membiasakan si kakak untuk lebih mandiri terhadap sekolahnya.
Setiap malam, kakak Darrell akan melihat jadwal tersebut, lalu menyiapkan sendiri buku dan perlengkapan yang dibutuhkan, tidak lupa belajar bahan yang akan dipelajari keesokan harinya.
Saya hanya kebagian mengawasi dan mengecek perlengkapannya.
Dan Alhamdulillah, sejak kelas 1 kakak Darrell sudah terbiasa mandiri menyiapkan perlengkapan dan belajar sendiri materi yang bakal dipelajari esoknya.
Sejak ditiadakan Weekly material plan tersebut, ternyata diganti dengan pemberian informasi via WAG orang tua dan wali kelas.
Hasilnya? si kakak jadi punya alasan dong buat menunda-nunda belajar, setelah makan malam, biasanya tanpa disuruh dia akan menuju meja belajar dan mempersiapkan semuanya, tapi sejak semua info ada di WA saya, dia jadi bingung mau belajar apa, atau mau bawa buku apa.
Sebagai emak-emak yang memang idealis gak membolehkan si kakak memegang HP saya, tentunya hal tersebut sangat mengganggu saya.
Terlebih, saya masih rada sensitif jika teringat bagaimana drama saat kakak Darrell pertama kali masuk sekolah, di mana kami berkali-kali diingatkan agar membatasi pemberian gadget pada anak.
Baca juga : Dari Biaya dan Test Masuk SDI Raudlatul Jannah Yang Penuh DramaAwalnya saya belum mau protes, namun setelah berkali-kali lumayan stres melihat si kakak yang pasrah saja menanti saya membacakan jadwalnya.
Padahal saya butuh waktu juga buat ngurus adiknya, dan kadang karena saya pelupa banget, bacanya gak lengkap.
Si kakak jadi lumayan sering kelupaan ini itu untuk di bawa ke sekolah.
Dan akhirnya, kegemasan plus kekesalanpun gak bisa saya bendung, iya kesal saja.
Masa iya, SPP naik terus, tapi fasilitas dikurangi???
Memang berapa sih harga kertas mini tersebut??
Bete deh.
Dan puncaknya, beberapa waktu lalu wali kelas si kakak mengumumkan bahwa pihak manajemen sekolah meminta data titik koordinat alamat rumah siswa, dan dibuatkan list di WAG agar masing-masing menyetor titik koordinatnya.
Makin betelah saya.
Sebelumnya, saya sudah rada kurang nyaman dengan kebijakan sekolah menghapus tugas PAP atau semacam PR di akhir pekan, sewaktu kelas 1, kakak Darrell selalu mengerjakan PAP di kertas setiap minggunya.
Semenjak kelas 2, semuanya berubah, PAP di kertas ditiadakan, berganti dengan orang tua diminta mendokumentasikan kegiatan yang ditugaskan sekolah untuk akhir pekan anak.
Ada yang tema belajar bersama, saling berbagi, dan semacamnya.
Padahal, setiap akhir pekan sudah dipastikan para murid dan orang tuanya bakal punya segudang kegiatan keluarga lainnya.
Hasilnya? WAG jadi bagai ajang pamer kegiatan weekend, lol.
Ada yang liburan ke sana, liburan ke sini, main ke timur, main ke barat.
Sungguh saya merasa risih untuk ikutan seperti itu.
Kembali ke data titik koordinat alamat rumah murid, saya sudah gak bisa nahan kesal lagi, akhirnya memberanikan diri protes di WAG (salahnya, kenapa juga harus melalui grup ya? gak japri hehehe)
"Assalamu'alaikum ustadzah, mohon maaf mau nanya, apa seterusnya tidak diberikan kertas weekly lagi?.
Saya rasa pemberian info weekly melalui WA jadi mengurangi kemandirian anak. Biasanya saya minta anak baca sendiri besok dia belajar apa? Cari sendiri halaman berapa? Tanggung jawab sendiri apa saja yang harus dibawa?.
Saya hanya mengawasi dan mendampingi saja. Sekarang, apa-apa harus saya yang ngasih tau, jadi kurang rasanya kemandirian dan tanggung jawabnya.
Mohon dipertimbangkan lagi pemberian kertas weekly, karena itu sangat bermanfaat bagi anak saya, makasih banyak."Nggak ada jawaban dong sodara, hanya beberapa ortu yang menimpali, ada yang setuju, ada yang menjelaskan kalau sekolah lagi paperless dan juga cost effisiensi and de brei... and de brai..
Ada pula yang berbagi pengalamannya, katanya sangat mengapresiasi positif paperless tersebut, dan untuk weekly, anaknya bisa melihat sendiri jadwal tersebut melalui galeri foto di HP dia.
WOW!
pic : pixabay |
Tentu saja saya tidak bisa mengikuti hal tersebut, karena saya sangat idealis terhadap peraturan pemakaian gadget terhadap anak, pun.... saya INGIN MENGAJARI ANAK UNTUK MENGHARGAI PRIVACY DAN BARANG ORANG LAIN, even itu barang orang tuanya.
Dari curhatan di IG Story, saya dapat masukan dari beberapa teman, katanya di sekolah lain ada yang paperless kayak gitu, tapi diganti dengan media email.
Jadi anak diminta mengakses email untuk melihat weekly plan-nya.
Saya tunggu sampai keesokan harinya, sama sekali tidak ada jawaban dari wali kelasnya, karena semakin kesal saya coba japri si wali kelas, dan Alhamdulillah dibalas.
*atuh maaahhh, apa sulitnya sih menjawab keluhan ortu murid di WAG.
Baca juga : Kisah Di Balik Minggu Pertama dan Kedua Darrell Masuk SDKira-kira seminggu setelah protes saya tersebut, akhirnya muncullah pengumuman.
Alhamdulillah sekolah mau mengembalikan pemberian kertas weekly plan ke para murid.
Dan dilampirkan pula alasan mengapa sekolah mengganti weekly plan melalui WAG.
Ternyata alasannya adalah, karena berdasarkan evaluasi tahun sebelumnya, banyak banget kertas weekly murid yang hilang sebelum sampai di rumah. Entah ketinggalan di mobil, di masjid, di parkiran, toilet dan sebagainya.
Alhasil, sampai di rumah para orang tua tetap nanya lagi via WAG.
Sudah pasti saya sangat girang, dan tidak lupa mengucapkan terimakasih, dengan embel-embel kalau sejak kelas 1 si kakak Darrell Alhamdulillah selalu bertanggung jawab dengan kertas weekly nya, dan selalu sampai di rumah.
Melatih Anak Tentang Tanggung Jawab
Sebenarnya saya agak shock mendengar alasan pihak sekolah meniadakan kertas weekly plan dikarenakan banyaknya anak-anak yang tidak bertanggung jawab terhadap lembar weekly plan-nya.
I mean, serius nih?
Hanya karena beberapa anak, okelah mungkin banyak anak tidak bertanggung jawab terhadap lembar weekly-nya, akibatnya harus dipikul oleh semua anak.
pic : pixabay |
Its so TIDAK ADIL MENURUT SAYA.
Bahkan amat sangat berbahaya ke depannya!.
Hah berbahaya?
Iyalah..
Bayangkan, jika semua anak yang taat peraturan dan sudah terbiasa bertanggung jawab meski sulit tapi selalu berusaha bertanggung jawab, pada akhirnya HARUS MEMIKUL AKIBAT DARI PERBUATAN TEMAN LAINNYA yang tidak bertanggung jawab.
BUKAN TIDAK MUNGKIN, KE DEPANNYA SEMUA ANAK JADI MALAS MENTAATI PERATURAN!
Iya kan?
Ngapain coba harus susah-susah mentaati peraturan, toh juga kalau yang lain gak taat, semua bakalan kena juga akibatnya.
Terlalu negatif ya pemikiran saya?
Tapi thats TRUE kan ya?
Baca juga : Karya Tulis Pertama Darrell Di Kegiatan RJ (Raudlatul Jannah) Menulis.Menurut saya, sudah seharusnya peraturan itu dibuat untuk ditaati, dan jangan takut tegas dalam membuat orang mentaati peraturan.
Kalau memang masalahnya, ada beberapa yang tidak mempertanggung jawabkan kertasnya, berilah 'hukuman' pada yang bersangkutan saja, jangan semua orang kena.
Komunikasikan kepada sang murid dan orang tuanya, jadi tidak merugikan pihak lain.
Ini juga menjadi pelajaran kepada kita sebagai orang tua, mendidik anak dengan beragam metode parenting sih sah-sah saja.
Setiap orang tua pasti tau mana yang terbaik buat anaknya, itu haknya.
TAPI...
APAPUN METODE PARENTINGNYA, PASTIKAN MENCAKUP AJARAN AGAR ANAK TIDAK MERUGIKAN ORANG LAIN.
Menurut saya, TIDAK MERUGIKAN ORANG LAIN adalah tonggak awal penilaian orang terhadap "anak ini pernah diajarin ortunya gak sih?" lol.
Jadi, mengajarkan anak tentang tanggung jawab di sekolah itu juga penting, karena hal itu juga berkaitan dengan nasib orang banyak.
Seperti yang terjadi di sekolah kakak Darrell, gara-gara anak lain selalu menghilangkan kertas weekly-nya, eh si kakak Darrell yang selalu berusaha bertanggung jawab akan semua perlengkapannya termasuk kertas weekly
Dan saya sebagai emaknya, yang setiap hari
Jadi, pastikan kita mengajarkan tanggung jawab itu untuk anak.
Kebijakan Penggunaan Gadget Pada Anak
Masih segar di ingatan, betapa pihak sekolah kakak dulu berkali-kali mengingatkan pentingnya membatasi pemberian gadget pada anak.
Saya sudah mengiyakan dengan tegas, tapi seolah-olah mereka gak percaya akan kata-kata saya.
Do i look like emak yang gak galak?? hmmmm....
Pic : pixabay |
Padahal, rasanya saya adalah salah satu emak dari sedikit emak di dunia ini yang begitu idealis terhadap penggunaan gadget pada anak.
Si kakak, hanya boleh memegang gadget di hari Sabtu dan Minggu saja.
Dulu, saat saya menceritakan hal tersebut, pihak sekolah mengemukakan ketakutannya juga.
"Tapi bu, kalau cuman Sabtu dan Minggu saja, bisa-bisa Darrell seharian main gadget dong, saking gak pernah megang gadget"Saya sebenarnya rada-rada sensi juga dengar ucapan tersebut, kok bisa-bisanya semua ungkapan saya dibalikin kembali dengan pemikiran buruk?
"Tenang ustadzah, Darrell memang bisa megang gadget di Sabtu dan Minggu, tapi ada waktu batasannya kok"Yup, sesungguhnya si kakak Darrell adalah salah satu anak dari segelintir anak yang jarang megang gadget.
Dia sering banget protes karena di antara teman-temannya di sekitaran komplek tempat tinggal kami, hanya dia seorang yang jarang dibolehin pegang gadget.
Parahnya lagi, si kakak pegang gadget cuman bisa ngegame aja, plus main video dan foto, karena saya gak bolehin dia lihat youtube, kecuali saya dampingi, dan itupun amat sangat jarang (kuota mahal cuy! lol)
Sedang teman-temannya, bahkan ke masjid saja bawa gadget, orang ngaji, eh temannya pada nonton youtube atau main game.
Dan saya hanya bisa menasehati si kakak untuk gak ikutan liat youtube temannya agar otaknya gak rusak (adaaa saja alasan emak, lol).
Baca juga : #TuesTechbyRey - Memblokir Konten Porno Di Gadget AnakGemas ya, kalau antara emak-emak gak seirama dalam mendidik anak-anaknya, jadinya sebagai emak yang peduli akan pengaruh buruk gadget ke anak dan menutup celah buruknya gadget pada anak, eh kecolongan juga di luaran sana, hiks.
Nah, dengan kasus paperless sekolah kakak ini, bukankah juga membuka celah agar anak bisa pegang gadget di hari sekolah? dengan alasan mau lihat jadwal weekly??
Gadget Tidak Selamanya Buruk
pic : pixabay |
Iya saya tau, apa isi pemikiran teman-teman.
"Rey, gadget itu gak selamanya buruk!"I know, sangat!
Tapi sisi buruknya juga gak main-main.
Saya masih gak bisa bayangkan kalau si kakak kecolongan liat hal yang belum seharusnya dia liat, dan itu adalah doa saya setiap hari, setiap si kakak berangkat ngaji sore.
Saya selalu membekalinya dengan doa keselamatan, baik keselamatan jiwanya, juga raganya dari hal buruk yang kemungkinan dia lihat di gadget temannya.
Gadget memang sangat baik, bikin si kakak kreatif bahkan mengalahkan emaknya ini yang kata banyak orang emaknya ini miss eh mrs hitech, *tsah!
Tapi, gapapa deh si kakak telat update gadget, daripada otaknya rusak melihat hal-hal yang seharusnya belum boleh dia lihat.
Saya memang separno itu, dan saya heran mengapa para ibu lainnya, begitu santai tentang hal ini.
Padahal, saya sering menemukan ibu-ibu yang gaptek.
Gadgetnya sih keren, harga belasan juta, tapi bahkan email saja minta dibuatin hahaha *ups.
Maksud saya bukannya mau nyinyir, tapi..
Kalau kita gaptek, bagaimana kita bisa mengontrol apa yang dilihat anak dalam gadget? Sedangkan zaman sekarang sadis banget hal-hal buruk mengintai di internet, dari pornografi yang menyamar di segala akses internet.
Misal, di beberapa blog ada iklan
"Suami saya me*****buhi saya 4 jam".Saya gak bisa bayangkan kalau si kakak bertanya hal itu ke saya, apa yang bakal saya jawab, hiks.
Jijay tau gak sih, isi-isi iklan sekarang, pembesar anu, beserta gambarnya, sungguh saya mual!
Bahkan, di aplikasi-aplikasi yang seharusnya biasa saja diinstal dari Google Play, ada banyak iklan yang gambarnya bikin mual.
Gadget memang gak selamanya buruk, bahkan anak harus belajar mengoperasikan hal-hal penting, seperti email, chat ke orang tuanya, atau menelpon orang tuanya.
Tapi sebaiknya, dampingilah anak saat mengoperasikan gadget.
Jadi saya rasa, jika sekolah memberikan kebijakan paperless berganti teknologi, seharusnya diimbangi dengan hal-hal yang berguna, misal penggunaan email.
Well, demikianlah curhatan gaje saya, semoga bisa jadi renungan dan diambil sisi positifnya bagi yang baca, aamiin.
Ada yang juga bermasalah dengan penggunaan gadget pada anak?
Share di komen yuk.
Semoga manfaat :)
Sidoarjo, 12 September 2018
Reyne Raea
Pas keponakaanku masih KB-TK-PAUD tiap hari ku buka paper weeklynya. Eh tapi sekarang saat keponakanku udah SD malah ndak ada paper weekly. Keponakanku juga ku batasi saat main gadget. Kalo lihat aku main gadget dia langsung ikut. Jadi tiap hari harus ku kurangi juga aktivitasku pegang gadget biar keponakan nggak main gadget terus-terusan.
BalasHapusAnak-anak emang peniru ulung ya :)
Hapushehehe jadi inget diskusi soal ini via dm instagram sama mbak Rey
BalasHapusmudah-mudahan ide emailnya dipake ya mbak, malah lebih seru tuh ngajarin anak cara cara berkirim email yang baik dan sopan
Hihihi, makasih idenya ya :)
HapusAnak saya juga punya, tapi cuman seperti pengingat sholat dan lainnya :)
BalasHapusmbak, anak sekarang namanya pr diberitahu guru lewat WA, tpi itu jd binyak anak anak gak mandiri dan gak mendengarkan guru. Jaman anak sy kecil, anak hrs konsetrasi mendengarkan guru agar tahu ada pr atau gak, ada ulangan atau gak. Aku sering lihat ibu2 sibuk ngomongin WA dr guru. Pantesan teman saya yg ngajar anak sd, banyaka anak yang cuek kalau dibilangin ada pr
BalasHapusIya ya mba, gara2 semua disampaikan ke ortu, anak2 jadi ga belajar tanggung jawab
Hapus