Aturan zonasi sekolah masih menjadi perdebatan yang hangat di mana-mana.
Nggak kenal siapapun, baik yang berdampak langsung, karena anaknya harus masuk sekolah baik SMP maupun SMU. Juga yang tidak berdampak langsung, semacam saya yang anaknya tidak sedang akan masuk sekolah baru.
Tapi juga ikutan ngecripis *atuh mah, apaan tuh artinya? lol.
Nggak kenal siapapun, baik yang berdampak langsung, karena anaknya harus masuk sekolah baik SMP maupun SMU. Juga yang tidak berdampak langsung, semacam saya yang anaknya tidak sedang akan masuk sekolah baru.
Tapi juga ikutan ngecripis *atuh mah, apaan tuh artinya? lol.
Bermacam reaksi masyarakat akan aturan zonasi sekolah tersebut. Dari yang pasrah, marah, kesal, mendukung, sok tahu. Hingga bertebaran tulisan yang membandingkan dengan sekolah di luar negeri, seperti Jepang atau Jerman.
Atuh mah, kagak level kali Markonah!
Bagaimana tidak?
Indonesia, negara kita dengan hutang yang nolnya panjang ini.
Yang meskipun demikian, masih juga sibuk berusaha nambah hutang lagi demi ini itu.
Lalu, mau disamakan dengan negara, yang memang sudah lama terbentuk dengan baik, dengan tingkat kesadaran masyarakat sangatlah tinggi?
Sementara negara kita tercinta ini, kesadaran masyarakatnya di medsos doang, lol.
Ada 2 tulisan yang lewat di beranda akun facebook saya, satu tulisan tentang sekolah di Jepang, satunya tentang sekolah di Jerman (CMIIW).
Tulisan tersebut, sukses di-share oleh banyak orang, dengan caption yang intinya, menyarankan pemerintah untuk meniru sekolah di luar negeri tersebut.
Saya dong, hanya bisa ternganga.
Ya iya Markonah!
Pemerintah ini sedang menuju ke sana. Tapi bisa nggak sih, kita bantuin pemerintah dengan berpikiran positif dikit, biar pemerintah bisa kerja dengan tenang dan fokus.
Banyak banget yang seolah menganggap, para petugas pemerintahan yang menyusun aturan zonasi sekolah itu b*go.
Saking b*go-nya, sampai ramai-ramai pada mau ngajarin mereka.
Seolah, pemerintah menetapkan sebuah aturan itu, secara asal.
Semacam Rey kalau nulis, apa yang terbersit, langsung disahkan.
Ih, betapa picik pemikiran kita jika harus semacam itu.
Tahu nggak sih!
Pemerintah sudah melewati masa yang panjang sebelum akhirnya memutuskan hal tersebut, semua hal efeknya, manfaatnya, kekurangannya, kelebihannya.
Semua sudah dipertimbangkan.
Masalah kurang sosialisasi, saya rasa mungkin juga karena demi meredam kepanikan masyarakat sebelum hari H penetapan aturan zonasi tersebut.
Masih segar di ingatan kita, betapa tahun lalu, pada geger masalah fullday school.
Kala itu, mendikbud hanya sebatas wacana saja, yang ada masyarakat sudah over thinking bahkan over lebay meresponnya.
unsplash |
That's why, sekarang pemerintah terkesan diam-diam dalam menetapkan sebuah aturan.
Ya, biar anak-anak sekolah maupun orang tuanya nggak shock duluan.
Toh, juga semua hal, aturan zonasi sekolah yang dilakukan oleh pemerintah ini, sesungguhnya demi mencapai pemerataan pendidikan di semua wilayah Indonesia.
Biar anak cerdas nggak perlu menempuh jarak jauh demi sekolah di sekolah yang bagus.
Agar anak kurang cerdas akademiknya nggak perlu makin nggak cerdas. Karena support pemerintah kurang, akibat pemerintah selalu saja mengutamakan sekolah yang isinya anak-anak cerdas semua.
Intinya, semuanya bertujuan agar pendidikan di negara kita tercinta ini bisa lebih merata. Biar kayak di Jepang atau di mana saja yang orang-orang banggakan itu.
Sedih deh, suka banget bandingin negara sendiri dengan negara maju.
Kan beda jauh Markonah!
Aturan Zonasi Sekolah Tempo Dulu Mengubah Cita-Cita
Sebenarnya, masalah aturan zonasi sekolah ini sudah saya rasakan sejak saya lulus SMP puluhan tahun lalu (ya ampuuunn, tuwahnya, lol).
Iya, sebagai anak yang sekolah di pelosok, karena orang tua memang kerja di pelosok. Saya sungguh bimbang sewaktu lulus SMP.
Padahal, nilai saya nggak jelek-jelek amat.
Masih bisa bersaing lah untuk masuk ke SMU favorit yang ada di pusat kota.
Oh ya, sebelumnya..
Sejak kecil kami sudah diarahkan di dunia kesehatan, maklum mama saya beserta sebagian besar keluarga kami background-nya dalam dunia kesehatan.
Meskipun demikian, dalam hati saya ingin kuliah di kedokteran, bukan hanya perawat seperti keinginan keluarga dari mama.
Dan saya rasa, dengan kecintaan saya dalam dunia Biologi, meskipun saya bisa pingsan kalau lihat darah, lol. Saya sudah bisa lah bersaing masuk ke kedokteran.
(Se polos itu pemikiran saya, lol).
Karena cita-cita di bidang kesehatan tersebut, atau sayanya di bagian kedokteran, harusnya saya meneruskan sekolah di SMU kan ya.
Tapi, alangkah sedihnya saya.
Saya nggak bisa masuk di SMU favorit di tengah kota dong.
Alasannya, rayon SMP saya nggak masuk ke dalam rayon SMU tersebut.
Meski sedih, saya bersiap masuk ke SMU lain saja, meski lokasinya lebih jauh dari pusat kota.
Eh, ternyata tante saya, kakak dari mama yang memang paling suka mengatur mama saya, termasuk kami anak-anak mama.
Menyarankan untuk menunggu sejenak, alasannya bakal dicarikan koneksi 'orang dalam' biar bisa keterima masuk SMU favorit tersebut.
Ternyata eh ternyata, entah mungkin si orang dalam minta duit dan mama nggak nyiapin duitnya, atuh mah masuk SMU aja pakai nyogok segala.
Sampai akhir batas waktu penerimaan siswa baru, saya belum juga bisa diterima di SMU tersebut, dan ujung-ujungnya si tante mengusulkan saya untuk masuk STM.
Saya yang nggak berani membantah, mau saja mendaftar ke sekolah yang disuruh tante tersebut. Berangkatlah saya ditemani kakak.
Eh sampai di sana, disambut dengan ramah, meski batas akhir penerimaan siswa baru sudah lewat, tapi murid STM masih sedikit, jadi tentu saja diterima dengan baik.
Begitulah, setelah hampir saja saya mendaftar di jurusan Listrik, saya akhirnya menjadi murid STM jurusan bangunan, yang setelah sekolah saya ternganga-nganga, karena pelajarannya?
Mengasah pahat sampai bener-bener tajam, ditandai dengan bisa memotong bulu tangan pakai mata pahat.
Mengikir gergaji sampai tajam.
Mengasah mata ketam.
Semester 2?
Waktunya gali tanah buat pondasi pakai cangkul.
Ambil pasir dan semen pakai ember kecil, ditakar di tanah, terus dicampur pakai sekop.
Pasang kloset.
Gergaji kayu.
Kelas 2?
Amplas kayu.
Susun bata.
Buat pembesian
Kelas 3?
Praktek di luar sekolah, manjat atap buat bikin plafon, terus saya nggak bisa turunnya, lolololol.
Ujiannya?
Bikin kursi, yang sukses kursinya pincang karena kakinya panjang sebelah, lololol.
Pokoknya, dadah babay dah sama bau-bau pelajaran kedokteran.
Ucapkan salam persahabatan sama baju praktek katelpak, mirip bajunya tukang sampah, hahahahaha.
Dulu saya tiap minggu pakai baju gini, tapi yang warna coklat, terus rambut saya disuruh tante potong pendek banget, saya jadi ganteng dong, untung nggak ditaksir cewek, lololol source : tokopedia |
Untungnya sih, masih ada pelajaran yang keren, misal gambar tehnik.
Gambarnya kayak arsitek gitu, pakai meja gambar yang luas, pakai pena gambar merk Rotring.
Ya lumayan berkelas lah, ketimbang praktek mingguan naik truck lalu manjat-manjat atapnya orang, lolololol.
Iya, semua itu penyebabnya ya gara-gara aturan zonasi sekolah, ditambah tante saya yang suka ngatur, ditambah mama yang nggak berani bantah, huhuhu.
Begitulah, cita-cita jadi dokter, jadi gagal karena sekolahnya bukan tentang menyembuhkan orang, tapi menciptakan bangunan, atau lebih tepatnya tukang, plus mandor, plus arsitek junior :D
Kalau dipikir-pikir, apa saya menyesali mengapa akhirnya nggak bisa masuk kedokteran, jadinya malah masuk STM?
Sejujurnya sih enggak terlalu mikirin, hahaha.
Hanya mama saya yang terlihat sedikit sedih, terlebih setiap liburan saya merengek ke bapak. Minta dibuatin tugas dari sekolah, yaitu bikin kayu yang dibentuk sebagai pengikat.
Itu loh, kayu yang di sudut kalau dibuatin meja atau kursi, kan selalu disambung dengan macam-macam sambungan, ada sambungan lidah apaaa gitu, lupa saya.
Ya kali saya bisa mahat-mahat gitu, meski di rumah bapak punya alat pahat, gergaji dan lainnya.
Tapi sumpah, saya selalu dapat 6 atau 7 kalau pelajaran praktek konstruksi kayu atau batu.
Saya kan bukan tukang, huhuhu.
Mama kayaknya sedih lihat anaknya yang katanya pinter, tapi kok sekolahnya buat jadi tukang batu atau tukang kayu, hahaha.
Salah sendiri, mengapa nggak mau sesekali membantah kakaknya, terlebih ini kan masa depan anaknya mama, bukan mama sendiri.
Tapi, setelah dipikir-pikir.
Seandainya saya beneran bisa lolos di kedokteran, orang tua pastinya bakalan lebih habis-habisan dalam membiayai kuliah saya.
Secara... kuliah di kedokteran itu kan lumayan mahal.
Terus, setelah lulus, saya nikah, dan jadi ibu rumah tangga.
Apa nggak melas banget tuh orang tua lihat anaknya yang sudah jadi dokter malah milih jadi IRT, muahahaha.
Saya rasa, masa depan seseorang tidak disetir oleh aturan zonasi sekolah.
Semua sudah berjalan sesuai rencana Allah.
Jadi, bukan berarti gara-gara aturan zonasi sekolah, sehingga akhirnya anak tidak masuk ke sekolah favorit, masa depannya bakal buruk.
Sama sekali tidak ya.
Justru, dengan adanya aturan zonasi sekolah ini, pemerataan pendidikan jadi lebih cepat, karena sifatnya jadi URGENT.
Bayangkan, ada anak cerdas di sekolah yang dulunya berisikan anak-anak buangan.
Anak cerdas, tentunya bisa mengharumkan nama sekolahnya dengan prestasinya.
Maka otomatis sekolahnya bakalan dilirik pemerintah lebih dulu.
Seperti, kata siapa ya, saya kutip dari artikel di E100 kemarin,
Saya setuju banget.
Dengan aturan zonasi sekolah, laporan jadi berdasarkan zonasi, jadinya lebih detail dan terperinci.
Pertanggung jawabannya pun jadi lebih transparan.
Itu sih pemikiran saya.
Semoga dengan adanya aturan zonasi sekolah ini, pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia jadi segera tercapai.
Iya, semua itu penyebabnya ya gara-gara aturan zonasi sekolah, ditambah tante saya yang suka ngatur, ditambah mama yang nggak berani bantah, huhuhu.
Begitulah, cita-cita jadi dokter, jadi gagal karena sekolahnya bukan tentang menyembuhkan orang, tapi menciptakan bangunan, atau lebih tepatnya tukang, plus mandor, plus arsitek junior :D
Hikmah Aturan Zonasi Sekolah, Serta Pemerataan Pendidikan
Kalau dipikir-pikir, apa saya menyesali mengapa akhirnya nggak bisa masuk kedokteran, jadinya malah masuk STM?
Sejujurnya sih enggak terlalu mikirin, hahaha.
Hanya mama saya yang terlihat sedikit sedih, terlebih setiap liburan saya merengek ke bapak. Minta dibuatin tugas dari sekolah, yaitu bikin kayu yang dibentuk sebagai pengikat.
Itu loh, kayu yang di sudut kalau dibuatin meja atau kursi, kan selalu disambung dengan macam-macam sambungan, ada sambungan lidah apaaa gitu, lupa saya.
Ya kali saya bisa mahat-mahat gitu, meski di rumah bapak punya alat pahat, gergaji dan lainnya.
Tapi sumpah, saya selalu dapat 6 atau 7 kalau pelajaran praktek konstruksi kayu atau batu.
Saya kan bukan tukang, huhuhu.
Mama kayaknya sedih lihat anaknya yang katanya pinter, tapi kok sekolahnya buat jadi tukang batu atau tukang kayu, hahaha.
Salah sendiri, mengapa nggak mau sesekali membantah kakaknya, terlebih ini kan masa depan anaknya mama, bukan mama sendiri.
Tapi, setelah dipikir-pikir.
Seandainya saya beneran bisa lolos di kedokteran, orang tua pastinya bakalan lebih habis-habisan dalam membiayai kuliah saya.
Secara... kuliah di kedokteran itu kan lumayan mahal.
Terus, setelah lulus, saya nikah, dan jadi ibu rumah tangga.
Apa nggak melas banget tuh orang tua lihat anaknya yang sudah jadi dokter malah milih jadi IRT, muahahaha.
Saya rasa, masa depan seseorang tidak disetir oleh aturan zonasi sekolah.
Semua sudah berjalan sesuai rencana Allah.
Jadi, bukan berarti gara-gara aturan zonasi sekolah, sehingga akhirnya anak tidak masuk ke sekolah favorit, masa depannya bakal buruk.
sekolah di Jepang, source : niindo.com |
Sama sekali tidak ya.
Justru, dengan adanya aturan zonasi sekolah ini, pemerataan pendidikan jadi lebih cepat, karena sifatnya jadi URGENT.
Bayangkan, ada anak cerdas di sekolah yang dulunya berisikan anak-anak buangan.
Anak cerdas, tentunya bisa mengharumkan nama sekolahnya dengan prestasinya.
Maka otomatis sekolahnya bakalan dilirik pemerintah lebih dulu.
Seperti, kata siapa ya, saya kutip dari artikel di E100 kemarin,
"Justru aturan Zonasi Sekolah itu, untuk segera menyelesaikan masalah infrastruktur dan ketidakmerataan guru, karena zonasi ini untuk memperkecil atau mau close up masalah. Karena kalau petanya itu nasional, itu buram . Tapi kalau kita pecah-pecah ke dalam zona-zona itu menjadi lebih tajam atau luas,"
Saya setuju banget.
Dengan aturan zonasi sekolah, laporan jadi berdasarkan zonasi, jadinya lebih detail dan terperinci.
Pertanggung jawabannya pun jadi lebih transparan.
Itu sih pemikiran saya.
Semoga dengan adanya aturan zonasi sekolah ini, pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia jadi segera tercapai.
Bukan hanya di pulau Jawa yang notabene dekat ibu kota negara, sehingga lebih sering diperhatikan, tapi juga untuk daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Kalau menurut teman-teman, gimana?
Share yuk :)
Semoga bermanfaat
Sidoarjo, 26 Juni 2019
Reyne Raea
Saya awalnya speechless sih mbak dengar keponakan yang se pintar itu tidak bisa masuk SMP negeri dan harus ke MTS karena masalah zonasi. Dan sudah mengait-ngaitkan mengenai kementrian pendidikan yang dari dulu tidak pernah bagus (sementara kementrian yang lain sudah sering menampakkan peningkatan kebagusannya). Tapi memang kembali lagi ya, semua memang jalannya Allah dan rejeki dari Allah. Semoga dari peraturan zonasi sekolah ini membuat dampak yang positif bagi dunia pendidikan di Indonesia...
BalasHapusJangan khawatir.. kalau anaknya pintar, sekolah dimanapun ia akan bisa tetap menjadi orang pintar. Jenis sekolah bukan masalah karena pada dasarnya sudah ada.
HapusYang sekolah di desa sekalipun kalau dia mau terus berjuang dan belajar, sudah banyak buktinya, bisa menjadi orang sukses juga.
Sekolah negeri atau bukan tidak berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang
Bener mba Lisa, masa depan anak tidak melulu ditentukan oleh sekolah favorit, bahkan insha Allah lebih bagus di MTS :)
HapusAamiin, semoga jadi lebih baik mba :)
Setuju pak Anton :)
kemaren saya ikutan pusing pas keponakan ternyata gak masuk SMP favorit gara-gara lokasi rumah yang berada di zona paling ujung di SMP tersebut. Pusing nyari sekolah yang masih mau nerima pas pendaftaran udah ditutup. Akhirnya minta tolong orang dalem deh...
BalasHapusSaya sih ngeliatnya sistem zonasi ini bagus. Tujuannya untuk pemerataan jumlah peserta didik, memudahkan mobilisasi siswa dan menghapuskan image sekolah bagus dan kurang bagus lewat prestasi-prestasi dari siswanya.
Tapi menurut saya alangkah baiknya dimulai dari pemerataan sarana prasarana dan kualitas gurunya dulu. Baru pemerataan dari sisi peserta didik lewat zonasi ini. Kan sayang nanti anak yang cerdas jadi kurang berkembang karena tidak ada dukungan sarana prasaran yang memadai dari sekolahnya.
Sebuah perjalanan yang panjangggggg untuk sistem pendidikan kita sih...
Kalau nunggu semua siap.. maka tidak akan pernah siap... Inti pembangunan dan pembuatan kebijakan, tidak selalu harus menunggu masyaakat siap.. Justru disanalah peran pemerintah untuk menarik rakyat keluar dari zona nyaman dan melangkah maju..
HapusMenunggu prasarana dan sarana cukup, maka sampai kiamat juga nggak akan pernah cukup...:-D karena sifat manusia dan masyarakat ya akan seperti itu, kalo ga sesuai dengan kemauan, dianggap ga cukup..
Saya setuju banget sama pak Anton, akan sangat sulit mencapai pemerataan prasarana pendidikan terlebih dahulu, mengapa?
HapusKarena Indonesia negara berkembang dengan hutang seabrek hehehe.
Ibarat kalau rumah tangga, uang hanya akan kita gelontorkan pada hal YANG URGENT terlebih dahulu.
Dalam dunia pendidikan, URGENT tersebut bisa diartikan yang amat sangat menguntungkan, yaitu sekolah favorit, karena di dalamnya berkumpul para anak-anak cerdas yang bakal mengharumkan nama bangsa.
Alhasil, tahun demi tahun berlalu, dana pendidikan segitu-segitu saja, selalu diutamakan sekolah favorit.
Yang nggak favorit? dapat ampasnya doang, belum lagi kalau dana ampas itu diperas lagi ama yang KKN hehehe.
Sekarang, caranya dibalik, yaitu dengan diratakan semuanya, sehingga anak-anak cerdas bakalan tersebar mungkin juga di sekolah yang sebelumnya jadi sekolah buangan.
Nah, kalau anak cerdas itu bisa survive dan malah mengharumkan nama sekolah, peluang sekolahnya diperhatikan jadi semakin besar.
Jadi, sekolah buangan tersebut masuk dalam kategori URGENT juga.
Selain itu, dengan pemerataan tersebut, semua sekolah jadinya sama.
Kualitas harus sama, tiap penanggung jawab zonasi bakalan punya kewajiban untuk memajukan semua sekolah yang ada di wilayahnya, tanpa ada lagi alasan
"maklum, sekolah buangan"
Daannn, kelebihan lain lagi, dengan adanya zonasi seperti ini, bakalan terlihat jelas, bahwa memang sekolah negeri belum merata di tiap kecamatan, atau zonasi.
Baru Mampir nih salam kenal semua
BalasHapusSalam kenal juga :)
HapusSya baca perjalanan hudup mbak kok sedih campur kudu nguyu (ingin ketawa) cita2 ingin jadi dokter malah masuk stm yg muridnya kebanyakan cowok jurusan bangunan lagi, manjat2 lagi, klo saya pastinya sedih banget.
BalasHapusKarena masuk sekolah yg bukan bidang kita itu artinya harus mulai dari awal, alias mbubak alas, heemmm tu terkadang kesalahan orang tua yg terlalu memaksakan anaknya tidak di lihat, bakat anak itu apa? Semoga mak mak muda lebih peka terhadap anaknya biar tidak ada korban berikutnya.
Masalah yonasi sekolah kyaknya baik2 saja cuma klo sya perhatikan hanya di surabaya aja yg ribut, khususnya di media sosial sumpah serapah bertebaran, padahal tujuan pemerintah kan baik :)
Semoga suatu saat nanti masarakat kita sadar :)
hahaha iya, aslinya dulu mungkin sedih, tapi sebentar saja sih, soalnya setelah itu ada cowok ganteng kakak kelas, jadinya semangat masuk sekolah tiap hari muahahahahahahaha.
HapusIya ya, Surabaya sampai kacau dan dihentikan sementara tuh, :D
Yup, memang banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa pemerintah bego, padahal sebenarnya, yang mengatakan itu sendiri yang "tidak pintar" sama sekali. Pengetahuan mereka terbatas, jadi mereka memandang secara sempit dalam satu masalah.
BalasHapusPemerintah pasti punya landasan berpikir dan melaksanakan sebuah kebijakan.
Contoh, kenapa pada sistem zonasi, saya menyebutkan masyarakat kurang pengetahuan.. bukan bandingkan dengan di luar negeri. Sistem zonasi sudah diamanatkan oleh Undang-Undang yang dibuat antara pemerintah dan DPR, alias yang memegang amanat rakyat juga. Tentunya, mereka sudah mempertimbangkan baik dan buruknya.
Tidak ada kebijakan yang sempurna. Tidak akan semua masyarakat puas dengan kebijakan itu dan memang bukan tugas pemeirntah untuk memuaskan semua orang. Mereka bertugas memastikan negara dan bangsa ini maju di masa depan.
Dari situ saja terlihat kebanyakan orang yang menentang hanya berdasarkan pengetahuan yang kurang dan mulut yang lebar saja.
Soal kurangnya sosialisasi, sebenarnya tidak juga. Pemerintah melakukannya secara bertahap, seperti 2 tahun lalu, saat si kribo masuk SMA, sudah ada 1/3 sistem zonasi di dalamnya, yaitu dimana lokasi dekat sekolah akan diberi tambahan nilai. Tahun kemaren, PPDB meningkat dimana persentase nilai berdasarkan lokasi menjadi 30%. Tahun ini hampir 100%.
Cuma memang masyarakatnya, banyak yang masih tenggelam dalam dunia masa lalu, yang meninabobokan mereka. Susah yang kayk gini karena seperti menarik mereka keluar dari zona nyaman. Apalagi mereka terbiasa dengan sistem sekolah favorit
Celetukan-celetukan : "percuma saja dong anak-anak belajar mati-matian kalau kalah sama jarak" , atau "Kasian, masa anak pandai harus sekolah di swats" keluar.
Ya, kalao saya sih cuma bisa bilang, emang sekolah itu cuma buat supaya bisa masuk sekolah favorit yah. Bukannya sekolah itu agar anak-anak itu bisa survive di masa depang dan mandiri. Emang, sekolah swasta isinya orang bodoh semua yah..
Saya pikir masih sangat banyak sekali anggota masyarakat yang berpikiran sempit dalam hal ini. Sesuatu yang sebenarnya mencerminkan kebodohan mereka.
Ah, kenapa saya jadi nulis panjang-panjang yah.. habis bete denger ibu-ibu tetangga yang ngomong kayak gitu. Pengen #getok sambil bilang, elu aja yang bego dan berpikiran sempit..:-D
hahahhahaha, senang banget akhirnya ada yang sependapat sama saya pak.
HapusMiris aja rasanya, sibuk ribut di mana-mana, sibuk ngajarin pemerintah, harusnya begini, harusnya begitu.
Seolah-olah orang-orang di pemerintahan itu pada gak punya ilmu semua.
PAdahal mah, semua sudah dipertimbangkan dan nggak sehari dua hari mereka merencanakan hal seperti ini.
Apalagi benar kata pak Anton, sudah sejak beberapa tahun sebelumnya.
Beberapa orang bilang sih di facebook, katanya beberapa daerah sudah mulai diberlakukan sistem tersebut, tapi entah mengapa masih banyak juga yang protes.
bahkan di Surabaya kisruh berat sampai dehentikan sementara.
Sebenarnya, kisruh seperti itu dikarenakan banyaknya KKN di sekolah itu sendiri, terus orang-orang nyalahkan pemerintah, harusnya mereka protes oknum KKN itu, sekalian laporin jika memang punya bukti nyata :)
wah kalo sekolah jurusan membuat bangunan mungkin cocok buat saya mbak :D
BalasHapusWidih mau jadi arsitek nih 😀
HapusHahahha, bener, cowok mah cocok STM :)
HapusKalau menurut saya sih selama masih positif dan bisa mendatangkan manfaat untuk siswanya kenapa tidak dan kalaupun ternyata tidak efektif dan tidak bermanfaat ada baiknya di kaji lebih ulang, kasihan pelajarnya nanti
BalasHapusSeharusnya bermanfaat sih, soalnya ternyata sudah diterapkan secara bertahap :)
HapusSaya mendukung dgn adanya zonasi sekolah. kalau ini tdk diterapkan tdk mungkin ada pemerataan pendidikan. krn pada kenyataannya guru lebih mudah mengajar anak2 yg pintar, tentu saja kasihan dgn guru2 di sekolah2 yg dianggap tdk favorit atau maaf dikatakan sebagai tempat penampungan murid2 "buangan" yg tak diterima disekolah favorit. Jadi dengan adanya zonasi, sekolah2 yg biasanya hanya mau menampung siswa2 pilihan yg tingkat kecerdasannya tinggi, akan juga memperoleh tantangan baru bagaimana menghadapi murid yg mungkin tdk secerdas biasanya. Jadi kreatifitas guru untuk menemukan metode yg terbaik agar siswa bisa memahami pelajaran akan sangat menentukan keberhasilan belajar mengajar. Sebelum ada zonasi, ada kecemburuan dari guru2 diluar sekolah favorit, bahkan ada seorang guru yg pernah bilang begini : Coba sekali-kali merasakan mengajar anak yg "kurang pandai" susah nggak. Selain itu sistem zonasi akan memeratakan siswa2 cerdas sehingga diharapkan kecerdasan tersebut bisa ditularkan untuk membantu teman2nya yg belum memahami pelajaran. Mari kita dukung kementrian pendidikan agar semua sekolah di Indonesia menjadi sekolah favorit.
BalasHapusBetul banget, terlebih lagi, aturan zonasi sekolah ini dibarengi dengan rotasi para guru, dengan begitu, meskipun mungkin prasarana sekolah masih belum merata, minimal gurunya sudah mulai merata :)
Hapusinget sekolah aduh aku jadi malu mulai dari sd sampai tamat STM nggak pernah punya prestasi ke sekolah juga harus di uber sama ayah dengan rotan baru mau sekolah, sekarang baru terasa kekurangan diri nggak bersungguh- sungguh menuntut ilmu
BalasHapuswakakakakak, upsss.... jadi ingat, saya juga dulu sering dipukul pakai rotan di betis, bukan diuber lagi mah, tapi dipukul beneran huhuhu :D
HapusSedih sama zonasi karena SMP negeri di kecamatan sini cuma ada 3. Padahal ada 19 desa di kecamatan. Lha nanti murid SD mau pd sekolah ke mn kl zonasi sdgkn swastanya ga ada. MTs pun tak ada.
BalasHapusSemoga dengana danya paksaan zonasi ini, bakal segera ditambah ya SMP negerinya, jadi ketahuan kan berapa kurangnya karena zonasi :)
HapusIya, iya, saya setuju dengan pemikiran Mbak Rey. Dua tahun lalu anakku masuk SMP pun sudah pakai zonasi. Tapi seingatku tak semata-mata anak dekat sekolah yang diterima. Ada porsi untuk zonasi murni (tanpa liat NUN, pertimbangan jarak Saja), Ada yang jalur prestasi (pakai piagam penghargaan yang dimiliki dan NUN), dan ada yang jalur regular kayak anakku (bersaing di NUN Saja).
BalasHapusSemoga dengan ini ke depannya bakal lebih baik lagi ya mba :)
HapusSaya usul nih,kalau seandainya ada rekan rekan blogger yg bakal Menjadi Presiden dimasa akan datang , Mohon dong Sekolah Negeri Diperbanyak biar para emak emak Gampang nyekolahkan anaknya masuk sekolah negeri.
BalasHapussoalnya kalau masuk sekolah Swasta ,mihil....!!! bikin dompet menjerittt...!!! bikin rambut cepat ubanan.✌😆.
hahaha, insha ALlah kang, dengan adanya zonasi kayak gini, sekolah negeri di lokasi yang masih kurang sekolahnya bakalan jadi hal yang urgent untuk dibangun :)
HapusSistem zonasi memang sangat memusingkan khususnya buat orang tua yang ingin menyekolahkan anak di sekolah favorit, tapi sebenarnya kalau anak berprestasi tidak masalah karena tetap ada quota walaupun cuma sedikit
BalasHapusBetul banget, semoga nantinya semua sekolah negeri jadi favorit dengan pemerataan seperti ini dan orang cerdasnyapun merata :)
Hapuswah aturan zonasi ini lagi heboh di media ya kak, kasihan ya anak anak yang nggak bisa masuk ke sekolah idaman, semoga aja regulasi ppdb bisa diperbaiki lagi agar bisa lebih bagus sistem nya dan bisa diterima semua lapisan masyarakat ya ;)
BalasHapusBener, tapi insha Allah semua bakal jadi lebih baik ke depannya :)
HapusKalau saya sih sebagai seorang yang pernah bergelut di dunia pendidikan karena menyandang gelar S.Pd walau ujung2nya lebih milih jadi IRT😅 iyes dengn aturan zonasi dari pemerintah ini. Apalagi tujuannya jelas ya Mbak untuk pemerataan dam plusnya lagi anak2 bisa bersekolah di sekolah yang masih berada dalam jangkauan tempat tinggalnya. Selain itu tidak perlu lagi ada sekolah yang dibeda2kan, mana yang favorit mana yang unggul hanya karena semua anak2 berprestasi berkumpul di sekolah tersebut.
BalasHapusbenar mba, kasian banget dulunya, yang pinter makin pinter, yang kurang makin kurang hahaha
Hapusaku sepakat dengan sistem zonasi. Hasilnya belum terasa sekarang sih
BalasHapusmaka dari itu, cepat atau lambat, kurikulumnya harus dizonasi juga. soalnya, yang lebih tahu karakter dan kemampuan siswa di daerah terssebut ya diknas setempat
kalau ingin dapat pemerataan pendidikan, gurunya jangan dizonasi, soalnya gurunya tambah seneng.
kalau pemerataan pendidikan, ya gurunya harus dirotasi. guru pintar, boleh ditempatkan ke sekolah yang lebih membutuhkan
kalaupun guru dizonasi, fungsinya bukan untuk pemerataan pendidikan, melainkan memperkuat penanaman nilai karakter siswa (yang berasal dari lingkungan sekitar)
Bener mba, muridnya aja yang di zonasi, kalau guru mah resiko pengabdian, harus mau di rotasi, biar semua sekolah mendapatkan kemampuan guru yang sama :)
Hapus