Sharing by Rey - Kota Surabaya.
Sudah 19 tahun lebih, setelah pertama kali saya berkunjung di kota pahlawan, kota Surabaya.
Iya, saya dulu datang pada bulan Mei tahun 2000, lupa tanggalnya, padahal dulu selama bertahun-tahun saya ingat loh.
Sesungguhnya, tidak pernah terbersit di pikiran saya, bakal berkunjung ke kota Surabaya, apalagi sampai kuliah di Surabaya, pun juga kuliahnya swasta.
Ye kan, orang tua saya bukan orang dengan ekonomi kelas atas.
Sejak SD, SMP dan STM saya selalu sekolah di sekolah negeri, yang bayaran SPPnya paling mahal ribuan deh per bulan, entah seribu rupiah atau tiga ribu rupiah ya SPP saya waktu STM dulu perbulan.
Lalu tiba-tiba, saya kuliah di perguruan tinggi swasta, ambil jurusan Tehnik Sipil dan di kota Surabaya pula.
Sungguh saya takjub dengan semangat orang tua dalam menyekolahkan kami, anak-anaknya.
Alkisah, setelah saya lulus STM, saya bingung mau nerusin kuliah di mana dan jurusan apa.
Ya ampun...
Bukan hanya masuk STM yang ngasal tanpa tahu jurusan yang diambil, lulus STM juga gitu, ckckck.
Bapak amat sangat mengharapkan kami bisa sekolah hingga setinggi-tingginya, dan memberikan kebebasan pada saya memilih sendiri sekolah yang ingin saya tempuh selanjutnya.
Dan dasarnya saya nggak punya bayangan mengenai kelanjutan STM jurusan bangunan gedung, maklum zaman dahulu, belum ada internet.
Jadi info masih jarang bisa didapatkan, termasuk info sekolah lanjutan dan nantinya bakalan kerja di mana.
Kota Surabaya, pelabuhan tanjung perak |
Dan yang terjadi adalah, saya hanya ikut-ikutan teman saya yang berangkat ke Kendari, untuk test UMPTN di Universitas Halu Oleo alias Unhalu, dan juga ikut-ikutan teman-teman, ambil jurusan Arsitektur, yang mana dulunya cuman ada jurusan D3 Arsitektur di Unhalu tersebut.
Hasilnya?
Saya nggak lulus dong.
Dan itu membuat orang sekampung terbelalak.
Ye kan, dulunya saya terkenal sebagai anak yang pandai, lebih pandai dari kakak saya.
Kedua orang tua saya malah berharap banyak di saya karena menurut mereka saya yang bakalan sukses nantinya, karena saya pandai, *eaaaa..
Tapi ternyata bukanlah jalan yang dituliskan Allah saya kuliah di Kendari.
Jalannya harus kuliah di kota Surabaya, agar bertemu dengan jodoh saya yang ada di kota tersebut.
Dan benar saja, pulang dari test UMPTN di Kendari, adik saya meninggal dunia.
Iya, saya dulu punya adik laki-laki, yang saat usia 11 tahun berpulang padaNya.
Mama amat sangat terpukul dengan kepergian adik laki-laki saya.
Secara, mama amat sangat menyayangi adik saya itu.
Dan karena hal itu, saya nggak tega buat ninggalin mama untuk kuliah tahun itu.
Jadilah, setelah gagal lulus UMPTN di Unhalu tersebut, saya memilih menganggur setahun dengan harapan akan mencoba lagi di tahun berikutnya.
Beruntung saya masuk SD di usia 5 tahun, jadi meski nganggur setahun, usia saya masih bisa sepantaran dengan teman-teman saat akhirnya kuliah setahun kemudian.
Menganggur Setahun Dan Mulai Terlihat Gila
Begitulah, saya akhirnya menganggur setahun di rumah, menemani mama biar nggak kesepian.
Kakak saya, memang sejak kelas 6 SD sudah tidak tinggal bersama kami, dia diajak oleh tante saya tinggal di rumahnya.
Sehingga praktis saya jadi semacam anak tunggal selama menganggur tersebut.
Awal-awal saya menganggur memang masih terasa biasa, apalagi saat merasakan perubahan besar pada mama.
Di Kota Surabaya , SNQ |
Beliau yang sangat terpukul dengan kepergian adik saya, sedikit demi sedikit sudah mulai bisa menerima kenyataan, sudah mulai melirik saya, dan tiba-tiba saya merasa, kalau saya akhirnya punya mama lagi.
Iya, setelah bertahun-tahun saya tersisihkan dengan kehadiran adik saya, padahal sebelumnya saya adalah anak kesayangan mama maupun bapak.
Mama mulai kembali seperti dulu, perhatian, selalu memberikan banyak hal, membelikan apa saja yang saya inginkan, dan seperti biasa, saya mah sama sekali tidak pernah berpikir untuk minta macam-macam, selain jajan, lol.
Hari berganti hari, mama sudah semakin membaik. Dan saya bahagia banget karena akhirnya beliau mulai belajar rajin sholat dan berpuasa penuh.
Sebelumnya, boro-boro sholat, bahkan mukena beliau sama sekali nggak pernah terpakai.
Setelah mama membaik, tiba-tiba saya mulai dilanda kebosanan.
Beruntung saya masih suka baca.
Suatu hari, saya membaca sebuah buku, aslinya sih semacam buku pelajaran atau pengetahuan gitu deh, judulnya beternak bebek.
Saya jadi tahu kalau telur bebek itu harus dierami selama 4 minggu, sedang telur ayam dierami selama 3 minggu saja.
Otak saya yang bosan tiba-tiba semacam melihat 'mainan' baru, kebetulan ada beberapa ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.
Ayam-ayam tersebut dikasih orang-orang yang datang ke peringatan malam meninggalnya adik saya, kebanyakan dari pasien mama.
Daaann keesokan harinya, saya merengek ke mama untuk membelikan telur bebek di pasar.
Begitulah, setelah telur bebek tersedia, sambil mengendap-endap, saya mengganti telur ayam yang siap dierami tersebut dengan 4 biji telur bebek.
Si induk ayam sangat terkejut. saat dia balik mengerami telurnya yang menemukan telurnya sisa 4, padahal sebelumnya ada 9 biji.
Tapi apalah dayanya, si ayam terpaksa lanjut mengeraminya.
Seminggu kemudian, saya kembali menambahkan telur yang bakal dierami si induk ayam dengan 4 biji telur ayam.
Jika perhitungan saya tepat, harusnya ke 8 biji telur berbeda jenis itu bakalan sama-sama menetas 3 minggu setelahnya.
Sedang 5 biji telur ayam lainnya ke mana?
Sudah jadi teman indomie kuah rasa kaldu ayam yang saya santap hampir setiap pagi lah!, lol.
Long story short, percobaan iseng pertama saya berhasil.
Telur-telur tersebut menetas secara bersamaan.
Dan si induk ayam menghabiskan waktu lama melihat wajah anaknya yang berbeda-beda, lolololol.
Mungkin dia sedang berpikir,
"setahu saya, meskipun saya banyak kawin dengan berbagai jantan, tapi kayaknya semua berhidung mancung deh, nggak ada yang mulutnya ceper gini"Begitu kira-kira pikir si induk ayam, lololololol.
Hari demi hari berlalu, induk ayam tersebut makin terheran-heran, saat hujan tiba, 4 anaknya dengan mulut ceper malah gembira menyambut hujan, sedang 4 lainnya sembunyi di bawah sayapnya, hahaha.
Seiring dengan ayam bebek tersebut makin besar, saya semakin intens bermain dengan mereka, bahkan sering mengajak mereka ngobrol.
Mama saya sedih melihat saya, dipikir saya sudah mulai gila, sampai-sampai berbicara dengan ayam bebek, lolololololol.
Hingga suatu hari, selepas beliau pulang kerja, saat kami santai dan saya seperti biasanya mencabuti beberapa uban beliau, mama lalu iseng berkata,
"Kamu mau tidak, jalan-jalan ke rumah om Agus di Surabaya?"Saya terpaku, ke Surabaya?
Wowwwww...
"Maulah!" jawab saya bersorak.
"Baiklah, nanti mama telpon om Agus, kalau dia setuju bisa jemput dan bolehin kamu ke sana, boleh lah kamu jalan-jalan sambil ikut bimbel di sana sebagai persiapan UMPTN nanti"Langsung deh saya bersorak.
Surabaya?
Kota besar?
Impia banget!
Meski mungkin hanya sebentar, saya pengen banget bisa mengunjungi kota yang jauh lebih besar dari sekadar kota BauBau atau Kendari.
Hari berlalu, om Agus sulit dihubungi, hingga akhirnya saya ngambek, pakai acara demo nggak mau makan.
Akhirnya mama usaha banget dan long story short, saya akhirnya bisa juga berangkat ke Surabaya, dan tentunya di anter oleh bapak naik kapal, sayang saya lupa kapal apa ya dulu, hahahaha.
Kota Surabaya, Awal Berjumpa Dengannya
Dan begitulah, siang hari bulan Mei tahun 2000, kapal PELNI yang saya tumpangi akhirnya bersandar di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Di Kembang Jepun, kota Surabaya |
Kamipun bergegas turun, saat itu, om Agus (btw, om Agus ini adalah adik kandung bungsu mama saya yang sudah bertahun-tahun hidup dan menjadi warga Surabaya, om menjadi tentara angkatan Laut di Surabaya) saat itu sedang sekolah Provost di Malang, jadi sama sekali nggak bisa menjemput kami.
Berbekalkan seribu satu panduan dari tante kakak mama yang super cerewet tapi perhatian itu, serta keterangan kakak sepupu saya yang pernah kursus dan tinggal di Surabaya, kami akhirnya mencari taksi dan kemudian dibawa oleh taksi tersebut ke rumah om saya, di perumahan angkatan laut di daerah Wonosari Surabaya.
Saat taksi mulai meninggalkan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, yang amat sangat kumuh plus panas plus carut marut dengan para porter barang rebutan mau angkut barang.
Saya sangat excited memperhatikan berbagai pemandangan kota Surabaya.
Bagaikan mimpi, akhirnya bisa melihat kota besar seperti Surabaya.
Tapi...
Semakin berjalan, saya semakin mengernyitkan kening.
Karena rumah om berada di wilayah Ujung Surabaya, yang mana bersebelahan dengan kompleks penduduk yang super kumuh karena rata-rata suka menampung barang bekas di mana-mana.
Plus kami melewati kali yang amat sangat hitam, berbau tajam plus nggak keliatan airnya saking penuh dengan sampah.
Iyaaa, Surabaya khususnya di bagian pinggiran dekat Kenjeran di tahun 2000 dulu amat sanngat memprihatinkan, berbalik 180 derajat dibandingkan saat ini.
Setelah melewati daerah kumuh, kali yang kotornya ampun-ampun, sampai jugalah kami di rumah om saya.
Rumah beliau sangat sederhana, termasuk tipe RSSS, daaan karena letaknya dekat Kenjeran.
Ampuuuunnnnn panasnya, hahaha.
Sungguh, kesan pertama saya akan kota Surabaya dulu, sangat jauh dari ekspektasi awal sebelum berangkat ke kota Surabaya.
Melihat perkembangannya saat ini, saya hanya ingin berkata,
"Bersyukurlah kalian para generasi muda, Surabaya saat ini amat sangat cantik dan asri!"Demikianlah kisah pertama kali saya berkunjung di kota Surabaya, kota pahlawan yang ternyata menyimpan jodoh saya, dan akhirnya menahan saya hingga saat ini.
Kalau teman-teman, kapan pertama kali berkunjung di kota Surabaya?
Share yuk :)
Semoga bermanfaat
Sidoarjo, 23 Juni 2019
@reyneraea
saya pertama kali ke sby tahun 2016, waktu itu ada studi banding di kampus airlangga. dan sejak tahun 2018 saya pindah domisili di surabaya heheh ayo mampir ke tempatku mba di surabaya. btw, salam kenal ya...
BalasHapusWaaahhh di Surabaya di mananya mba, boleh nih kapan-kapan ketemuan :)
Hapusmabk rey main ke surabaya ga berkabar. kan bisa tak ajak maen. hihi
BalasHapusehehehehe, saya tinggal di dekat Surabaya kok :)
Hapus