Sharing By Rey - Depresi dalam mengasuh anak?
Wow banget dirimu Rey, udah mau ubanan, punya anak dua, tapi kok ya depresi mengasuh anak, hahaha.
Ya gitu deh, jalan hidup memang seringnya tidak bisa ditebak, semua dipengaruhi oleh kondisi terkini, dan tentunya pola asuh terdahulu.
Hal tersebut membuat saya jadi berubah 180 derajat (rasanya).
Bagaimana tidak?
Waktu kecil hingga sebelum nikah, saya suka banget sama anak kecil.
Saya sayang banget sama almarhum adik saya.
Saking sayangnya, bahkan sampai adik saya masuk SD, dan mama saya udah nggak pernah lagi menggendong dia.
Saya masih selalu menggendong adik saya dong.
Padahal dulunya saya tuh kurus kerempeng kek tiang listrik, hahaha.
Bukan hanya adik sendiri, saya juga sayang sama anak kecil lainnya, adik sepupu saya, yang karenanya saya sering dijadikan sebagai nanny penitipan adik sepupu yang kecil-kecil, padahal i hate bersihin pup anak kecil, hahaha.
Dan nggak berhenti di situ saja, saya masih ingat waktu SMP saya sering banget jadi nanny-nya para anaknya guru.
Dan lucunya, anaknya para guru itu dibawa ke sekolah, lalu si anak memilih duduk di kursi dekat saya, meskipun saya sedang menyimak pelajaran, ckckck.
Setelah lulus dan ke Surabaya, saya pertama kalinya tinggal di rumah om saya, dan pas banget waktu itu om saya baru saja punya bayi yang cantik banget.
Saya happy banget nget.
Semacam punya boneka.
Meski lama-lama rada kesal juga, karena saya merasa beneran jadi kayak nanny dong hahaha.
Lalu pacaran dengan si pacar, yang kebetulan punya keponakan cantik dan imut.
Saya sering ke rumah si pacar hanya untuk bermain dengan keponakan cantik tersebut, dan pernah sekali berhasil mengajak si keponakan itu jalan-jalan.
Rasanya happy banget, meski capek gendongnya hahaha.
Saat pertama kali punya si kakak Darrell pun, saya bahagiaaaa banget.
Akhirnya, saya punya bayi yang kayak boneka, kepunyaan sendiri, jadi bebas saya uwel-uwel, hahaha.
Saking senangnya, saya selalu suka banget gendongin si kakak.
Itulah mengapa si kakak tumbuh jadi anak yang kurang tanggap dengan keselamatan dirinya, lah wong dulu sebelum ada adiknya saya rajin menggendongnya.
Bahkan sampai usianya 6 tahun, saya masih kuat menggendongnya keliling mall jika dia ketiduran saat kami keluyuran di mall.
Bahkan papinya nggak kuat gendong selama itu, saya masih tetap semangat menggendongnya, meski akhirnya nyampe rumah saya tepar karena sekujur tubuh sakit semua, kecapekan gendong anak yang udah gede, tanpa gendongan pula hahaha.
Dulu saya secinta itu loh sama anak kecil.
So, jangankan temans yang baca, saya sendiri kadang heran, kok bisa-bisanya sekarang saya jadi semacam alergi banget sama anak kecil, benci banget dengar rengekan, dan kadang nggak kuat gendong si adik yang masih berusia 2,5 tahun.
Keadaan Mengubah Rasa Cinta Pada Anak Kecil
Ya begitulah, saya rasa keadaan telah mengubah saya.
Rasa cinta saya kepada anak kecil menghilang, ketika saya (sepertinya) mengalami baby blues dan berlanjut dengan postpartum depression bahkan terus berlanjut setelah melahirkan anak kedua.
Kalau saya pikir-pikir, semua itu bermula dari perubahan papinya anak-anak yang sudah semacam menyerah dengan komitmen kami.
Hal tersebut membuat saya menyalahkan diri, mengapa saya harus jadi ibu rumah tangga?
Mengapa saya nggak terus bekerja di luar? punya karir?
Karena sepanjang pengalaman saya, selama saya bekerja, papinya anak-anak, dan semua keluarga begitu baik banget sama saya.
Menghormati saya, support dan peduli sama saya.
Meskipun mungkin semua itu hanya perasaan saya saja.
Namun sungguh itulah yang saya rasakan.
Punya gaji itu membawa penghargaan kepada kita.
Membawa cinta kepada saya.
Dan saya sungguh ingin bekerja di luar lagi.
Lalu saya tersadarkan, kalau semua itu tidaklah semudah yang saya bayangkan.
Bagaimana bisa saya kembali bekerja?
Sementara dulu saya memutuskan jadi IRT karena saya merasa kerja hanya untuk bayar daycare dan dokter anak?
Sekarang anak udah dua bookkk, kalaupun mau dititipin ke daycare, kudu mikirin biayanya untuk 2 orang dong.
Belum lagi kudu menyiapkan mental kalau anak sakit-sakitan melulu.
Saya kurang nyaman bekerja dengan tidak fokus.
Di mana saya harus berkali-kali mengorbankan waktu di kantor kalau anak sakit.
Dan yang paling nggak memungkinkan adalah kondisi pandemi begini.
Siapa yang mau mempekerja mamak seusia saya dengan gaji yang memungkinkan buat bayar daycare dan kesehatan si krucil dua orang?
Siapa pula yang bisa menjamin kesehatan si krucils, di tengah pandemi yang entah kapan berakhir ini?
Sementara si sisi lain, keadaan saya tidak berubah, saya merasa stres sampai depresi, dan sering banget menyalahkan anak-anak yang membuat saya jadi seperti ini, huhuhu.
Maafkanlah mami anak-anak tercinta.
Berdamai Dengan Rasa Depresi Mengasuh Anak A La Rey
Saya tidak boleh terus menerus seperti itu!
Anak-anak ini sama sekali nggak pernah meminta saya lahirkan.
Nggak pernah meminta saya jadi ibunya.
Nggak pernah meminta hadir di dunia ini, terutama jika mereka di dunia malah dijadikan bahan penyesalan, huhuhu.
That's why saya harus berubah!
Allah memang tidak pernah memberi sesuatu di luar batas kemampuan kita, dan semua tantangan dari-Nya sudah dilengkapi dengan jalan keluarnya.
Yang perlu kita lakukan adalah berdoa dan berusaha.
Dan demikianlah, perlahan namun pasti saya berusaha memaksa diri untuk berdamai dengan rasa depresi saya mengasuh anak-anak.
Agar anak-anak juga bisa berhenti depresi punya ibu kayak saya, huhuhu.
Dan ini yang saya lakukan:
Membahagiakan Diri Dulu
Duh gimana cara bahagia? sementara saya merasa tidak bahagia karena papinya anak-anak mangkir dari komitmen?
Lalu saya terpikirkan sebuah kalimat yang sering saya baca dan tulis.
"Kebahagiaan saya adalah tanggung jawab saya, bukan orang lain!"
So, mengapa saya meletakan kebahagiaan saya di atas perlakuan suami yang mungkin juga punya alasan sendiri?
Hati ini milik sendiri, bukan milik orang, lalu mengapa saya biarkan orang lain mengontrolnya?
Dan perlahan namun pasti saya alihkan kebahagiaan saya di telapak tangan saya.
Saya bahagia, karena saya yang berusaha bahagia, bukan karena orang lain, siapapun juga!
Demikianlah, perlahan namun pasti, saya belajar mengendalikan reaksi terhadap hal yang tidak saya sukai dari orang lain, termasuk papinya anak-anak.
Selama tidak merugikan saya secara langsung, ya biarin aja sih ya, hahaha.
Demikianlah, perlahan namun pasti, apapun yang dilakukan papinya anak-anak, bisa saya hadapi dengan biasa aja, hahaha.
Meskipun belum sempurna sih, tapi saya sungguh meng-challenge diri saya, untuk bisa menyeragamkan reaksi saya.
I mean, sebenarnya saya tuh termasuk orang yang cuek loh, anti baper-baper club, hahaha.
Saya sangat sulit bisa disuruh bereaksi baper terhadap orang lain.
Satu-satunya yang bisa bikin saya baper ya papinya anak-anak.
Lalu saya berpikir, kalau saya bisa cuek aja, no baper-baper club dengan orang lain,
Kenapa nggak melakukan hal serupa dengan pasangan?
Meskipun mungkin awalnya terasa aneh.
Karena itu sama saja dengan membuat diri saya menganggap pasangan sama aja kayak orang lain, kagak penting.
Namun, saya harus belajar meramu perasaan biar nggak lebay dan baper.
So, saya sedih karena saya membiarkan diri saya merasa sedih.
Mari biarkan diri sendiri merasa bahagia.
Mendahulukan Diri Dulu
Semakin lama belajar memahami diri.
Iyaaaa, daripada sibuk memahami orang, mending pahami diri kita terlebih dahulu hahaha.
Saya jadi tahu penyebab marah-marah, emosian, stres sampai merasa depresi dalam mengasuh anak adalah, karena saya selalu mendahulukan anak-anak.
Waktunya makan, meski saya juga sudah lapar, saya memaksakan diri menyuapi anak dulu, setelah kemudian saya yang makan.
Alhasil, saya ngamuk-ngamuk saat anak makan dengan lambatnyaaahhhhh minta ampun.
Ya iyalah, ini mamak Rey udah lapaaaarr.
Dan si Rey kalau lapar ya sebelas tiga belas sama singa betina yang juga sedang lapar, hahaha.
Karenanya, segala sesuatu saya dahulukan diri sendiri dulu, agar anak-anak mendapatkan waktu saya di saat saya sedang merasa diri berkualitas.
Sudah kenyang, dan nyaman seperti sudah mandi.
Jadi, meski anak lapar, saya juga harus pastikan saya udah kenyang sebelum meladeni anak.
Kalaupun anak juga beneran udah nggak tahan lapar, seringnya saya ambil piring dua, jadi makannya, sekali suap ke anak, suap lainnya ke diri sendiri.
Dan karena piringnya beda, jadi nggak ada resiko anaknya kebagian makanan dikit, karena diembat mamaknya mulu, hahahaha.
Demikian juga dengan waktu mandi.
Saya tuh paling krenki kalau lagi nggak nyaman, seperti merasa lengket dan gerah.
Saya jadi auto bad mood parah.
Jangankan disentuh diajak ngomong aja males.
Padahal kedua krucils ini paling suka berpelukan.
Dikit-dikit minta peluk, terlebih kalau ada maunya hahaha.
Jadi, sekarang saya lebih mendahulukan diri ketimbang anak, meski mereka mungkin krenki menunggu saya, setidaknya saya hanya diam sambil mandi atau makan.
Bukannya malah bentak-bentak si krucils huhuhu.
Menyusun goal dalam mengasuh anak
Salah satu alasan yang bikin ibu rumah tangga atau SAHM atau stay at home mom merasa insecure adalah karena merasa diremehkan banyak orang dengan pikiran.
"Enak ya di rumah saja, lebih santai"
Sebenarnya bukan hanya orang lain yang mikir gitu, kita sebagai ibu rumah tangga juga jadinya sering berpikir gitu.
Tiap hari ngerjain yang itu-itu saja.
Nggak ada duitnya sama sekali, nggak ada hasilnya.
Nggak kayak kerja di kantor, berhasil bikin laporan, berhasil bikin perencanaan, berhasil bikin ini itu.
Padahal ya, sebenarnya di rumah dan mengasuh anak itu juga seharusnya punya goal yang nyata.
Misal, anak usia segini harus bisa jalan, harus bisa bicara, harus bisa kenal baca tulis hitung.
Itu goal yang seharusnya nggak boleh di skip loh.
Kita hanya terpaku pada 'nggak ada duitnya'.
Padahal untuk saya sendiri, selama saya jadi IRT setidaknya saya saving duit banyak post.
Dari dana daycare yang setelah saya di rumah, udah nggak pakai daycare lagi.
Hingga dana kesehatan.
Saya dong baru sadar, sejak saya jadi IRT, saya seolah putus hubungan dengan dokter, khususnya dokter spesialis anak.
Karena saya mengasuh anak-anak dengan seksama, menjaganya sampai nggak boleh sakit.
Ye kan sakit itu mihil!
Nah itu sebenarnya juga goal banget loh.
Lalu mengapa saya merasa di rumah aja nggak ada hasilnya?
Lalu, jika merasa belum apa-apa, saya bisa menyusun goal lainnya, dengan sistem balance tentunya. Maksudnya goal yang ramah, dikejar tapi tidak juga dijadikan beban.
Dan memang terbukti bisa sih, seperti goal menyapih si adik di usianya maksimal 3 tahun, usaha yang saya lakukan padahal cuman sounding, siapa sangka goal tersebut tercapai di usia si adik 2,5 tahun?
Masha Allah.
Jadi kata siapa, saya di rumah nggak ada hasilnya?
Banyak goal yang bisa disusun dan dikerjakan kok.
Memanggil sikap dasar saya yang memang mencintai anak kecil
Saya rasa, kita sulit menghilangkan sikap dasar kita yang telah kita lakukan dan rasakan sejak kecil.
Yaitu mencintai anak kecil.
Perlahan namun pasti saya mulai memanggil dan mengembalikan sikap saya tersebut.
Dimulai dengan rajin bercengkrama dengan anak-anak.
Menggendong si adik, kalau si adik nggak mau saya bisa menggendong si kakak, meski setelahnya saya minta dipijitin si kakak, boyoknya legrek bookkk, hahahaha.
Perlahan tapi pasti rasa cinta itu kembali, terlebih juga memang saya kan masih punya not so baby anymore si gondrong ganteng yang ngegemesin itu.
Pun juga si kakak yang selalu jadi anak yang sabar terhadap maminya (sama maminya doang tapi, hahaha).
Seperti orang dewasa, anak kecil juga lebih mudah dikendalikan kalau kita menganggapnya sahabat.
Menjadikan diri kita sebagai anak kecil yang mau menemani mereka bermain, berinteraksi sepenuhnya dengan mereka.
Pemikiran ini juga saya bawa dan paksa hadir ketika saya stres saat dapat job yang mengharuskan bikin foto dan vidio bareng anak.
Dan Alhamdulillah, dengan bantuan si kakak yang memang lebih kooperatif, saya bisa memaksa pikiran saya sehingga rasa cinta terhadap anak kecil itu muncul kembali.
Demikianlah.
Bagaimanapun, saat kita merasa depresi, bahkan psikolog terkenal pun nggak ada yang bisa menolong diri kita kalau kita tidak mau membiarkan orang menolong kita.
Alias kita sendiri yang memegang kendali atas diri kita.
So, saya akhirnya belajar untuk berdamai dengan rasa depresi saya.
Bukan berarti saya sekarang sudah jadi ibu super bijak dan sabar.
Beloommm sepenuhnya ya temans.
Saya masih sering ngamuk dan ngomel dan kadang membentak anak sih, huhuhu.
Namun saya selalu memaksa diri, untuk lebih bisa berdamai.
Alhamdulillah ada progress untuk itu.
Dan menuliskan ini juga saya rasa bisa membantu progres perbaikan diri saya jadi lebih meningkat.
Dan hingga saatnya saya bisa sepenuhnya berdamai dengan rasa depresi mengasuh anak.
Anak itu lucu, Rey!
Gemesin!
Masa kamu lupa?
Iya kan temans?
Sidoarjo, 10 Juni 2020
Reyne Raea untuk #RabuParenting
Sumber : pengalaman diri
Gambar : Canva edit by Rey
belum punya pengalaman menjadi ibu dan mengasuh anak sendiri. tapi dah biasa dengan anak-anak buah dan pernah mengasuh mereka. tapi semuanya dah besar sekarang. rindu saat mereka masih kecil. punyai anak lebih meriah suasana rumahnya kan.
BalasHapusSemangaattt :)
HapusMbak Rey yang sabar ya, Alhamdulillah sekarang sudah bisa berdamai dengan rasa depresi mengasuh anak.
BalasHapusUntuk masalah pekerjaan memang susah cari zaman sekarang apalagi saat ada pandemi seperti ini. Saya juga masih nganggur dan kerjanya main hape aja.😃
hahahaha selalu semangat :)
HapusKira-kira saya besok kalau jadi ibuk gimana ya...? Apalagi saya juga orangnya suka bad mood. Dulu juga suka anak kecil dan suka momong mereka juga, tapi makin gede saya makin males
BalasHapusHadeh...
Apalagi kalau anak kecilnya agak nakal. Suka syebel banget.
Kayaknya kudu belajar parenting sejak dini nih😁
@Astria.....Kalau besok kamu jadi ibu.....Berarti besoknya lagi kamu jadi wanita paruh baya ..🤣🤣 Dan besoknya lagi kamu jadi nenek2...🤣🤣🤣
HapusYaa gampang itu jika suka Bad mood....Tinggal kamu berkata..
"aku Seorang Ibu Yang Terkadang Baik, Tetapi Bisa Lebih Kejam Dari Ibu Tiri". 🤣🤣🤣🤣
wkwkwkwkw ih Kang Sat ini ngajarin nggak bener :D
HapusSemangaattt :)
Yaa menang mengasuh anak memaksa kita menterbelakangkan emosi dan keinginan diri kita demi kebutuhan anak-anak.😊😊
BalasHapusDemi anak sebaiknya kita sebagi orang tua kesampingkan emosi pribadi dan segala sesuatu yang nggak adil, Karena bagaimana pun kita mungkin nggak akan bisa memperbaiki sebuah kesalahan yang anak kita lakukan saat itu juga, Tetapi tentu saja kita bisa melakukan lebih banyak kerusuhan dan masalah jika harus memarahi anak-anak kita dan mengutamakan emosi.
Sebaiknya, pikirkan anak-anak kita, Karena emosi mereka dan pertimbangkanlah apa yang terbaik untuk anak kita nantinya.... Intinya betapa sulitnya untuk melepaskan hal-hal kecil tapi yang perlu kita ingat semua itu kita lakukan untuk si kecil atau anak kita.
Tidak lupa puka sebagai orang tua cobalah buka diri kita untuk sebuah perubahan. Misalnya cara mengasuh modern dan lain sebagainya yang tentunya para ibu lebih memahami ketimbang seorang ayah.😊😊
hehehe iyaaa, ibu selalu punya cara untuk mengasuh anaknya.
HapusMeskipun kadang cara tersebut malah bikin makin stres :D
Mba Rey semangaat yaaa! Poin 1 itu harus banget. Ibu harus bahagia dulu agar bisa bikin orang lain dan anak2nya bahagia. Lakukan apapun yg bikin Mba Rey bahagia, ajak anak dikegiatan yg menyenangkan hati. Tinggalkan kegiatan (dan orang) yang bikin depresi..
BalasHapusBtw, itu aku banget kalau nyuapin anak tp aku nya lg laper malah stres duluan n jd ga sabaran. Jd aku selalu makan duluan. Hahaha. Bayi nangis pun kadang aku tunda dulu ngasi asinya kalau aku lg laper, aku makan dulu buru2 sambil gendong, baru abis itu nyusuin. 🤣
hahahah iyaaa, pokoknya sebenarnya bukan kitanya yang nggak kuat mengasuh anak, tapi memang keadaan kita yang nggak lagi fit :D
HapusAku malah nggak suka, atau lebih tepatnya, takut sama anak kecil. sekarang sudah menikah, menyiapkan diri kalau punya anak, tapi juga takut bagaimana kalau punya anak. Tentu, karena saya labil, saya juga takut kalau kami nggak dikasih anak hehe.
BalasHapusAllah tahu apa yang paling baik, pokoknya ya.... punya anak bener-bener sekolah seumur hidup, dan rapornya adalah anak-anak sendiri. Mbak Rey, semangat selalu ya, semoga berkahnya selalu mengalir baik lewat mbak Rey maupun anak-anak. Buat anak, apa pun yang terjadi, Ibu mereka tetap yang terbaik, amiin!
Hihihi tenang aja, pada waktunya seorang wanita menjadi ibu, akan muncul perasaan ingin melindungi dan menyayangi anak :)
HapusAamiin ya Allah :)
demi anak seorang ibu rela lakukan apa aja, anak adalah segalanya.
BalasHapusmemberikan keselamatan, rasa nyaman dan pendidikan dari kecil
aku suka anak kecil, tapi kalo anak kecilnya nakal ya jadi gimana gitu hehhe,namanya anak kecil ya gitu ya
semoga nanti bisa jadi ibu yang baik buat anak anakku hehehe
Betul sekali.
Hapusaamiin, semoga Mba Inun akan menjadi ibu yang penuh keibuan, aamiin :)
Sesama emak-emak pasti saling paham
BalasHapus#bighug kak rey hihi
Tapi kelihatan kok kalau kak rey orangnya penyayang, eh beneran terbukti pas baca bagian sejak masih muda kak rey udah seneng anak kecil, apalagi pas baca bagian suka momong anak om yang kayak boneka, terus ponakan paksu pas masi pacaran juga kayak boneka, gumuuush yaaak
Eh di foto dedek dayyan juga gumuuush, lucu, muaaaaaach
Aku malah dulu kurang bisa luwes ama anak kecil pas masih single, eh begitu uda nikah dan punya anak, lambat laun ya bisa juga momong haha, gimana ga gitu, wong dulu aku menantikannya lama, jadi kalau aku berpikir kayak gitu terus yang dalam hal ini ga bisa deket anak kecil ya begimana aku bakal cepet dikasih momongan, e abis membuang jauh2 stigma itu alhamdulilah akhirnya aku tekdung juga, walau sempet mengalami drama-drama kumbara yang penuh air mata karena begadangan dan ga ada yang bantu pas suami uda mulai kerja setelah abis masa cuti, jauh pula dari ortu or mertua jadi ga ada yang bisa dititipin sementara pas mau ke belakang atau apa gitu, ya mirip kayak kak rey gini lah hahaha, apalagi pas uda buntut 2 , wes dah kadang rambutku uda macam brekele aja ahhahaha
Tapi ya bener ding, sekali-kali berpikir kayak imbauan yang ada di situasi pesawat ketika ada moment goncang dan alat bantu pernapasan yang tiba-tiba muncul. Ya itu....sebelum nulung orang lain, dihimbau untuk selamatkan diri terlebih dulu. Jadi, kalau diri sendiri sudah dalam posisi aman, fokus, dan lain-lain, pasti dalam hal menyelamatkan sebelahnya juga tepat. Begitupula dengan ibu dan anak. Ngopenin anak juga lebih enakeun kan kalau kitanya uda oke, bersih, kenyang, dll, jadi ga gampang marah2...eh ini juga masih pe er juga deng buat akooooh hihihi
hahaha betul Mbul, memang kudu nyelamatin diri dulu, gimana coba mau nyelamatin anak sementara kita udah metong duluan hahaha.
HapusItu kenapa saya sering ngamuk-ngamuk, lapaarr soalnya, udah gitu nyuapin anak pula :D
Mba Rey *hugs*
BalasHapusSaya dari dulu suka anak kecil, suka lihatnya, suka mainnya tapi cuma sebentar (nggak sampai berjam-jam) 🙈 dan saya pribadi jaranggg sekali ketemu anak kecil meskipun saya suka anak-anak. Karena di circle saya jarang ada anak kecilnya, mba.
Tetangga rumah ibu saya pun nggak banyak anak kecil karena dulu ibu tinggal di komplek yang isinya kebanyakan sesepuh 😂 jadi bukan komplek baru berisi ibu ibu muda. So saya lebih sering ketemu nenek-nenek daripada anak-anak. Means chance saya ketemu anak-anak cuma saat hari raya (ketemu sepupu yang usianya di bawah saya), atau ketemu cucunya nenek tetangga 😁 gara-gara itu, interaksi saya dengan anak-anak terbilang nggak banyak ehehehe.
Tapi saya setuju dengan yang mba bilang meskipun belum punya pengalaman soal memiliki anak 😄 menurut saya, kebahagiaan kita itu yang utama bahkan di atas kebahagiaan pasangan maupun anak 🙈 makanya ada istilah happy wife happy family, atau happy mom happy family -- karena memang sebegitu pentingnya untuk membuat diri kita bahagia even sekecil makan duluan saat lapar biar otak kita nggak korslet karena perut meraung ingin makan 🤭 *ini saya bangets, kalau lapar jadi nggak bisa diajak kompromi -- apalagi mba yang harus mendengar jeritan anak sepanjang hari* so it's okay mba untuk makan duluan, mandi duluan, bahkan terkadang untuk tidur sejenak. Kids will understand anyways 🤩
Semangat terus mba Rey, semoga mba selalu sehat biar bisa menjaga dan merawat adik dan kakak sampai mereka besar ❤
Kids will understand anyways!
HapusBetul banget say, dan bikin saya selalu tertohok, anak-anak itu hatinya seluas samudera huhuhu