Setidaknya hal itu yang sepertinya sedang saya alami sekarang.
Tercetus dari membaca komentar di blog pak Anton.
Di mana, di kolom komentar pak Anton mengatakan, kalau seorang sahabat yang baik adalah, yang mau menerima kebahagiaan sahabatnya, bukan memaksakan kehendaknya harus berubah sesuai standarnya.
Tiba-tiba saya berpikir sebuah hal yang lumayan bikin jleb banget.
Yaitu, saya sangat menyadari, betapa saya adalah seorang sahabat yang sangatlah bijak.
Saya rasa kebanyakan teman-teman dekat atau teman dunia maya setuju, kalau saya adalah sosok yang lumayan bijak terhadap teman.
Saya menghargai keputusan teman, saya tak pernah menghakimi teman.
Even teman saya selingkuhpun, saya nggak pernah memusuhi mereka.
Saya hanya sedikit mengingatkan saat dia sedang tenang, selebihnya saya memilih mendoakannya.
Pun juga, saat teman terpuruk karena jalan pilihannya salah, saya tak pernah menyalahkan dan meninggalkan mereka.
Saya bahkan memilih memendam rasa, saat sahabat saya menyosor cowok gebetan saya.
Bahkan saya masih mau membantunya saat dia membutuhkan bantuan saya, tentu saja dengan senyum teramat lebar untuk sahabat-sahabat saya.
Itulah mengapa, saat saya membaca tulisan teman-teman yang curhat tentang kekecewaannya terhadap sahabatnya, saya kadang tanpa sadar seolah meremehkan.
Padahal, kalau dipikir-pikir, kecewa itu hal yang wajar, dan semua orang berhak kecewa saat disakiti atau dikhianati sahabat misalnya.
Sayapun sebenarnya juga merasakan sakit hati tersebut, tapi saya memilih mengabaikan, memilih mengatakan pada diri sendiri bahwa,
"Ya udahlah ya, toh juga dia hanya seorang sahabat, yang nggak mungkin bisa hadir setiap hari dalam hidup saya, ya udah, biarin aja."
Terlihat bijak sekali kadang-kadang, buat orang awam tentunya, namun kalau bagi seorang psikolog, itu pastilah sangatlah salah, karena apa yang dipendam, tentunya sungguh tak baik untuk kondisi mental kita.
Meskipun kalau dipikir-pikir, saya nggak memendam kekecewaan itu sih, atau mungkin saya nggak nyadar kali ya?
Yang jelas, kalau saya kecewa sama teman, ya udah, biarin aja.
Kecuali mungkin ada teman yang selingkuh dengan ayah dari anak-anak saya, baru deh saya mikirin siang dan malam, karena kasian sama anak-anak saya, hahaha.
Akan tetapi, dibalik sikap saya yang terlihat bijak itu...
Coba tanya suami dan anak-anak saya.
Saya yakin mereka akan menjawab, kalau saya itu ANAK KECIL YANG CHILDISH-NYA PARAH!
Apa Itu Inner Child, Bagaimana Efek Dan Apa Penyebabnya?
Beberapa hari lalu, saat hendak tidur namun sebelumnya saya minum kopi Nescafe Clasic yang dicampur es.
Alhasil saya nggak bisa tidur sama sekali, dan untuk memanggil kantuk, saya membuka youtube.
Saya pernah bilang, kalau channel youtube kesukaan saya tuh yang berbau psikolog atau motivasi, salah satunya, channel-nya Analisa Channel.
Dan saya menonton salah satu vidionya dengan tema inner child.
Siapa sangka? belum 5 menit menonton, tanpa adanya apa-apa, tiba-tiba saya menangis tersedu-sedu, sampai saya segera pindah kamar, takut anak-anak kebangun oleh suara tangisan saya.
Namun sebelum meneruskan cerita saya, sebaiknya kita kenali dulu, apa itu inner child?
Inner Child adalah sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari masa kecil.
Inner child adalah memori yang tersimpan menjadi kepribadian seseorang, di mana terekam pada usia sekitar 6-7 tahun, di mana gelombang otaknya berada pada 4-7 Theta.
Di masa tersebut, anak mudah mengingat bahkan menjadi long therm memories bagi anak, dari apa yang dia lihat dan rasakan pada saat itu.
Apa yang anak rasakan di masa tersebut, akan sangat mempengaruhi bagaimana dia bertindak di masa dewasa, jika dia tidak bisa berdamai dengan sisi masa kecilnya tersebut.
Karena itu, inner child sangat penting untuk dipahami, agar kita tidak mudah menjadi orang yang rapuh, baperan dan sensitif, persis kek anak kecil, hehehe.
Kondisi baper dan sensitif memang bukan hanya diakibatkan oleh inner child.
Akan tetapi, jika inner child sudah turut serta mempengaruhi kondisi tersebut maka akan sulit sekali bagi kita untuk merasa sedikit mengerti dan punya empati terhadap kebahagiaan atau kesedihan orang lain.
Hal-hal yang mempengaruhi inner child, adalah:
1. Pola asuh orang tua
Gaya pengasuhan orang tua, khususnya di masa anak berusia 6-7 tahun, amat sangat melekat di ingatan anak.
Kehidupan orang tua, peraturan yang dibuat orang tua, statement orang tua.
Duh saya jadi gemetar mengingat saat si kakak usia 6-7 tahun pas banget ketika saya ditengarai kena baby blues dan postpartum depression, di mana saat itu saya teramat jahat banget sama si kakak, huhuhu.
Semoga saya masih bisa melebur semua kesalahan tersebut, dan si kakak bisa berdamai dengan inner child dia yang mungkin menyedihkan, huhuhu.
Saya ingat banget, saat usia 6-7 tahun juga banyak hal yang justru mulai ketat orang tua perlakukan kepada saya.
Di mana saya mulai sekolah, dan tuntutan harus juara satu terus, harus sempurna, haru membanggakan orang tua, tidak boleh bermain, hanya boleh belajar atau membantu mama di rumah.
Bahkan, tidak boleh sama sekali berhubungan lagi dengan semua permainan yang bapak belikan waktu kami kecil dulu.
Saya pernah nulis, bagaimana bapak begitu marah saat tahu saya dan kakak mengambil boneka merah yang bapak simpan di atas lemari dan sudah mewanti-wanti, agar kami jangan pernah lagi menyentuh mainan.
Belum lagi mama, yang sudah seperti tidak peduli dengan saya, karena di tahun itu mama melahirkan adik saya yang seorang lelaki, otomatis posisi saya sebagai anak bungsu selama hampir 7 tahun, terambil paksa oleh adik saya.
Semua hal itu, ditanggung banget ama suami dan anak-anak saya di zaman sekarang, hiks.
Di mana, saya sama sekali sulit dan tidak bisa menerima (khususnya buat suami) jika beliau tidak sesempurna yang saya lakukan, huwaaaa... mau nangis nggak sih?
2. Lingkungan, keluarga besar dan pertemanan
Bukan hanya pola asuh orang tua, kecenderungan kita bertemu dengan lingkungan, keluarga besar maupun pertemanan amat sangat mempengaruhi inner child kita.
That's why , mengapa saya selalu berpikir bahwa membatasi pergaulan anak saya di masa usianya sekarang itu penting, agar saya bangun dulu pondasinya, biar dia nggak kebawa hal-hal yang mungkin kurang baik dari lingkungannya.
Demikian pula dengan sekolahnya, that's why saya bersyukur karena untuk hal sekolah dasar anak, saya dan suami bisa sepemikiran bahwa anak sebaiknya sekolah di SD Islam, agar bisa lebih melekatkan nilai-nilai agama kepada anak.
Inner child ini akan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang di masa dewasa, dan parahnya lagi ada banyak orang yang tidak sadar bahwa ada luka batin yang dia bawa sejak masa kecil dan terbawa hingga ia dewasa.
Mungkin Saya Dikuasai Inner Child
Sejujurnya saya sudah sering banget mendengar, membaca dan mencari tahu mengenai inner child, bahkan sudah curiga kalau sepertinya saya masih selalu dikuasai oleh inner child saya, dan sedihnya lagi, entah mengapa, saya bisa mengkotak-kotakan perasaan itu.
Entah memang inner child itu seperti itu, atau mungkin ini bukanlah inner child, akan tetapi saya merasa sungguh saya seperti yang dijabarkan oleh para psikolog, meskipun itu hanya berlaku kepada pasangan maupun anak-anak.
Saya merasa apa yang saya lakukan, harus juga dilakukan oleh pasangan.
Saya sulit mengikuti teori give and give, padahal saya butuh hal tersebut karena teori give and take membuat saya menjadi seseorang yang penuh harapan menunggu balasan yang harus sama dengan apa yang saya berikan.
Saya merasa sudah mengorbankan masa depan dan keluarga, karenanya saya menuntut pasangan juga harus melakukan seperti apa yang saya lakukan, atau setidaknya lebih mengerti saya, karena saya melakukan banyak hal untuk hubungan kami.
Lelahnya lagi, inner child yang berlaku pada saya dan pasangan, adalah sosok anak kecil yang cerdas karena tuntutan orang tua saya dulu semasa kecil.
Saya bisa melakukan hal-hal yang baik, bertahan dalam hal kebaikan, tapi saya juga menuntut pasangan harus seperti sesempurna yang saya lakukan.
Saya terbiasa hidup dengan hati-hati, yang membuat kehidupan kami terhindar dari hal-hal yang membuat kami terpuruk.
Dan saya menuntut pasangan juga harus seperti itu.
Itulah mengapa, saya sulit melihat kebaikan pasangan, selalu saja salah di mata saya, karena saya merasa pasangan tidak melakukan sesempurna yang saya lakukan.
So childish bukan?
Meskipun demikian, karena sosok anak kecilnya adalah anak kecil yang terbiasa sempurna, apa yang saya lakukan selalu berusaha bertahan di jalan yang benar.
Misal, sesakit hati apapun saya sama pasangan, even pasangan mencoba untuk menduakan saya, sedikitpun saya sulit untuk balas dendam dengan melakukan hal yang sama, meski jujur banyak godaan untuk itu.
Karena saya udah terbiasa hidup sesuai garis sejak kecil.
Saya hidup dengan penuh kehati-hatian, selalu mempertimbangkan sebab akibat.
Bahkan saya rela menciptakan kisah selingkuh sendiri, demi meminimaliskan kesalahan yang bikin saya merasa tidak hidup karena saya berbuat salah.
Saya jadi ingat kata-kata mertua saya, yang jujur masih juga nggak bisa saya terima, meski terus berusaha menerima hal itu.
Kata mertua saya, seorang lelaki itu juga ingin diberi kepercayaan menjadi pemimpin, bahkan bukan ingin, tapi harus.
Saya harus bisa diam saja menikmati usahanya, berapapun yang bisa dia lakukan, yang jelas dia akan selalu terus berusaha untuk itu.
Seperti, membiayai saya mudik ketemu orang tua, karena dia sadar, saya semakin eror karena terlalu lama nggak ketemu dengan orang tua.
Sementara saya inginnya, tak perlu dia memikirkan hal itu, saya bisa kok usaha sendiri, yang penting dia fokus bertanggung jawab atas kewajibannya, sebagai suami, sebagai ayah.
I mean, maksudnya, dalam pemikiran (mungkin) inner child saya, kami ini bukan orang pacaran lagi, ada anak-anak yang terus tumbuh besar, kebutuhan anak-anak itu nggak bisa menunggu ego seorang lelaki, meski mungkin ego itu perlu, tapi kebutuhan anak-anak itu jauh lebih penting dari sebuah ego.
That's why, berlari kencanglah, lakukan hal-hal di luar hal yang biasa dilakukan, karena hidup nggak akan berubah kalau kita setiap harinya melakukan hal yang itu-itu saja.
Sholat sekenanya, sementara berharap anak kudu rajin sholat dengan sempurna.
Masih merokok, berambut gondrong, sementara berharap anak jadi anak sholeh yang nurut dan berpenampilan rapi layaknya anak sekolah.
Sungguh saya amat sangat tidak bisa mentolerir hal tersebut, dan jujur itulah yang menjadi akar permasalahan saya dengan suami.
Lalu (mungkin) sosok inner child saya berkata,
"Katanya saya sangat kekanak-kanakan, memaksakan kehendak, tapi apa yang saya paksakan ini adalah kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi oleh orang tua, bukan lagi lelaki remaja yang masih mencari jati diri"
Siapa coba yang kekanak-kanakan?
Orang yang memaksa agar jadi ayah yang sempurna buat anak-anaknya (dengan maksud saya memaksakan jadi sempurna, karena saya tahu, tidak ada orang sempurna, namun dengan menggantungkan target setinggi langit, kalaupun nggak kesampaian, kitanya masih bisa jatuh di awan yang lembut).
Lalu, beberapa kutipan di film mengingatkan saya,
"Jika kau mencintainya, dampingilah dia, meski dia adalah suamimu, tapi hidupnya tetaplah hidupnya! dia yang bertanggung jawab terhadap hidupnya, termasuk hubungannya dengan anak-anaknya, setidaknya, dampingilah dia dalam perjalanan menjadi ayah dan suami yang baik, dengan kelembutan bagai seorang sahabat!"
Seketika saya menitikan air mata, iya..
Saya lupa menganggap suami adalah sahabat saya.
Seharusnya, suami adalah sahabat terbaik saya.
Mengapa kepada sahabat lainnya yang hidupnya tidak melulu ada di dalam kehidupan saya, saya bisa sedemikian bijak dan baiknya, tapi terhadap sahabat yang akan menemani saya hingga akhir hayat (insha Allah kalau berjodoh), saya sedemikian kerasnya berlaku.
Lalu kemudian, satu sisi pikiran saya, (yang mungkin) inner child saya berteriak.
"Minta dipahami terus, minta pengorbanan terus, lalu siapa yang akan berkorban untuk saya, yang sejak awal sudah mengorbankan semuanya untuk hubungan kami? Siapa?"
Begitulah, setiap saat pemikiran saya berkecamuk, ada banyak suara dalam hati saya, dan saya bingung harus mengikuti yang mana, yang pada akhirnya saya selalu mengikuti kata hati si inner child tersebut.
Karena dalam pemikiran saya, meskipun keras dan memaksa, tapi sebenarnya itulah kehidupan yang sebenarnya, huhuhu.
Pentingnya Memahami Dan Berdamai Dengan Inner Child Sebelum Menikah
Seperti bagaimana bijaknya saya terhadap sahabat-sahabat, demikian pula saya bisa dengan bijak menilai masalah orang lain.
Seperti masalah curhatan ibu-ibu di grup Komunitas MotherHope Indonesia, dari semua curhatan yang masuk, saya bisa menilai bahwa sebenarnya masalah utama seorang istri yang merasa depresi sendiri hingga mengalami postpartum depression bahkan sampai ke gejala gangguan mental lainnya adalah, karena para istri tidak tahu cara berkomunikasi dengan suami daaannn para istri selalu memaksakan sesuatu kepada suami dengan amarah.
Nah itu tauk Rey! hahaha.
Tapi ya gitu, tau dan sadar, cuman sulit bisa menerapkan kepada pasangan sendiri, hahaha.
Mungkin gara-gara saya dikuasai oleh inner child saya tersebut.
Karenanya, saya rasa memang amat sangat penting buat kita mengenal, memahami dan berdamai dengan inner child kita sebelum kita menikah.
Dan menjadi, salah satu hal penting yang harus kita diskusikan dengan pasangan, sebelum menikah.
Karena, inner child itu bukan hanya ada pada wanita, pada lelaki juga.
Mungkin juga suami saya punya inner child, karena dia dilarang-larang punya rambut gondrong, jadinya udah ubanan masih pengen gondrong, sementara anaknya disuruh tampil rapi, etdaahhh..
Kalau saya ingat-ingat, sejak remaja rasanya saya mulai merasakan bahwa saya tak kunjung menjadi dewasa, dulu saya pikir, sayanya telat dewasa, tapi lama kelamaan saya jadi sadar, saya bukannya telat dewasa, tapi saya nggak mau dewasa, karena ada sisi anak kecil yang punya luka batin, yang bersembunyi dalam batin saya.
Semacam unspoken message.
Sehingga dia terus hadir menuntut perhatian, menganggap dirinya masih ada, karena memang Rey is Rey, belum pernah jadi yang lain.
Saya ingat banget, betapa saya amat sangat manja kepada orang yang membuka celah manja buat saya.
Seperti sahabat-sahabat STM saya, saya selalu berlaku bagai anak kecil.
Setelah punya pacarpun, saya ingin bermanja-manja dengan sang pacar, bahkan sampai sudah menjadi suami sekalipun.
Kadang saya menginginkan suami jadi sebagai kakak atau mama saya, dan kadang saya ingin suami hanya tidur memeluk saya, tanpa perlu grepe-grepe yang bikin nggak nyaman.
Kadang hal itu bikin saya kesal, karena saya lupa, dia adalah lelaki, suami saya, bukan mama saya.
Tapi saya cuman ingin dipeluk, saya paling suka dipeluk, karenanya saya paling suka memeluk anak-anak saya, saat saya marah, segera setelah istigfar saya memeluk dan meminta maaf pada anak-anak.
Iya, saya sangat suka dipeluk dan memeluk.
Dan saya bertanya dan mengingat, mengapa saya sedemikian hausnya akan pelukan.
Seketika saya teringat akan apa yang ingin saya dapatkan dari mama, sejak saya kecil dulu.
Waktu kecil, mama selalu perhatian sama saya, sampai almarhum akhirnya adik saya lahir.
Sejak saat itu mama seolah berhenti memperhatikan saya.
Saya jadi prioritas nomor terakhir.
Setelah adik, kakak, bapak, mama lalu saya.
Saya rindu diperhatikan mama lagi.
Rindu dikuncir rambutnya oleh mama.
Rindu dipeluk oleh mama terutama saat tidur.
Tapi, sampai adik saya meninggal, mama tidak pernah lagi memeluk saya .
Sejak kecil sampai besar, kami tidur seranjang.
Saya, adik dan mama.
Sampai adik saya meninggal.
Tinggallah saya dengan mama seranjang.
Tapi, mama sedikitpun tidak pernah memeluk saya.
Bahkan saat saya sakit sekalipun, mama hanya akan menyentuh dahi saya, dan saya akan sangat terharu menikmati sentuhan mama terhadap saya, meski sebentar.
Sering terjadi, saat tengah malam terbangun, pelan-pelan saya memeluk mama, dan menikmati momen tersebut.
That's why saya nggak berhenti menangis saat menonton adegan drama Korea 'It's Okay Not To Be Okay' dengan adegan saat si Gang Tae kecil sedih melihat ibunya tidur menghadap dan memeluk kakaknya saja, lalu Gang Tae pelan-pelan beringsut di samping ibunya, dan menikmati hangatnya tubuh ibunya meski dari punggungnya saja.
Ya ampun, seperti itulah saya di masa kecil.
Merindukan pelukan mama, yang akhirnya terbawa sampai besar, sampai saya kadang nggak sadar menginginkan suami menjadi mama saya, memeluk saya layaknya seorang ibu, huhuhu.
Hal-hal sekecil itu, ditambah buruknya komunikasi, bukan buruk sih ya, sayanya masih terpengaruh masa kecil yaitu seorang anak yang lebih banyak memilih diam karena nggak pandai mengutarakan maksudnya, berhadapan dengan lelaki yang sama sekali nggak bisa membuka percakapan.
Kelar sudah hubungannya, hahaha.
Demikianlah, kita sudahi saja dulu curhatan yang panjangnya udah lebih dari 2000 kata ini, nanti kita sambung lagi dengan tema lainnya.
Kalau temans, ada yang merasa masih hidup dan dikuasai inner child-nya enggak?
*cari temen nih ya si Rey, hahaha.
Sidoarjo, 7 Agustus 2020
Sumber :
- Youtube (MengAnalisa - Sosok Kecil yang Kadang Kita Tidak Sadari Terbawa Sampai Dewasa)
https://www.youtube.com/watch?v=hfjNAhmhXUg diakses Agustus 2020 - Pengalaman pribadi
Gambar : Canva edit by Rey
Hai mba perdana mampir disini...ceritanya menarik..
BalasHapusSaat belajar tentang innerchild rasanya menarik banget, tahu kenapa dia akan selalu ada. Tinggal belajar mendeteksi kenapa keluar, yang berlebihan di rilis. Cuma aku nggak selamanya selalu fokus setiap permasalahan ke innerchild ini..karena bagaimanapun dia hidup di masa lalu. Sementara aku punya masa depan. Kalau keluar sebisanya di "hadang" oleh diri dewasa...kasih puk puk puk...sampai tenang. Yah namanya juga anak-anak ya...
Semoga bisa selalu sabar menghadapinya..
Salam hangat.
halo juga :)
HapusKalau saya berbeda lagi, justru baru ngeh sekitar setahunan ini.
Udah agak lama sih pernah dengar, cuman saya nggak seberapa menghiraukan :)
Nah setelah berbagai hal saya alami akhir-akhir ini, udah pernah beberapa kali konseling eh curcol deh ama psikolog, dulunya saya pikir saya punya masalah mental yang parah, tapi rata-rata psikolog mengatakan itu cuman karakter saya aja, lalu saya berpikir, iya juga ya.
Saya itu dewasa saat berhadapan dengan orang lain, dan sisi anak kecil childish saya menang kalau lagi sama pasangan hehehe.
Pengennya sih saya mau ikut konseling atau terapi mengenai inner child ini :)
Aku lagi berusaha berubah menjadi lebih baik karena abis stress, tapi sebelum memulai sudah dijodohkan sama orang yang masih keluarga dekat, dan saya mau tidak mau harus menerima, sampai saya sudah tidak tau lagi bagaimana hidup saya dan pergi ke psikolog lalu di pertemukan lah saya dengan inner child saya...tapi 1. masalahnya belum tuntas dan harus balik lagi, 2. Biayanya itu membuat stress juga jadi nya stress dobel mau sembuhin satu harus ngerelain satu (uang) yang buat saya terlalu mahal, walaupun sebenarnya layak hanya saja karena yah...coba bisa di tanggung BPJS kan lebih enak....doain saya dan semua keluarga saya ya...biar selamat...makasih....
HapusAamiin, semoga bisa lebih tenang, dan insha Allah jalan yang dipilihnya adalah yang terbaik :)
HapusAku pun hanya mengingat hal-hal yang pernah dialami saat berusia enam tahun. Aku juga suka memeluk, Mbak. Meluk keponakan yang masih bayi dan anak-anak. Kalau emakku sih udah nggak pernah meluk aku lagi. Kalau dulu pas aku masih kecil ya tiap hari selalu dipeluk emakku saat aku tidur.
BalasHapusWaaahh senangnyaaaa..
HapusIya ya, jarang ada ibu zaman dulu yang mengekpresikan perasaannya dengan tindakan atau sentuhan :D
Panjang banget ceritanya kakakk. Tapi sangat menyentuh. Gw dari sejakkecil itu suka bayi dan anak kecil. Makanya gw suka pas punya keponakan. Y itu tadi, sampe sekarang gw masih suka peluk dan cium-cium mukanya. Lucuk soalnya.
BalasHapusSaya jujur baru tau loh istilah innerchild. Yang gw tau kalo kalo punya sifat kekanak-kanakan.
Eh iya ya, sampai dirimu sayang banget ama Keenan :D
HapusIyaaa, inner child sebenarnya tidak selamanya buruk, kadang juga kenangan indah malah bikin orang jadi lebih humble.
Yang menjadi masalah kalau kenangan buruk, dan menguasai diri orang tesebut dalam berlaku dan mengambil keputusan
Hu..hu... Saya antara terharu dan salut sama mbk rey😭
BalasHapusMenurut saya kejadian yang hadir di masa kecil kita memang berpengaruh besar pada pikiran kita saat dewasa. Karena di masa itu kita bisa mengingat segala sesuatu dengan jelas, termasuk perasaan kita saat sedih dan senang.
Saya nggak tahu sih saya punya inner child juga atau enggak. Tapi saya selalu merasa nggak pernah bisa berpikir dewasa. Dikala teman-teman saya sudah melihat sesuatu dengan cara berbeda, saya merasa sebagian diri saya masih terjebak di masa kecil. Kalau mbk rey karena masa kecilnya yang keras, saya justru sebaliknya. Masa kecil saya terlalu tenang karena saya anak bungsu. Anak cewek yang ditunggu-tunggu. Tapi ternyata terlalu dimanja berdampak buruk sama saya. Kadang saya sebel kenapa dulu saya nggak pernah dimarahi sampai nangis. Kenapa saya dibiarin melakukan apa aja. Jadi ketika tiba-tiba ada kejadian tak terduga yang terjadi, saya langsung drop dan trauma. Kebiasaan dimanja itu bikin saya lemah dan sensitif banget. Dan memperbaiki segala pikiran yang sudah tertancap sejak masa kecil itu susah banget.
Semoga kita bisa sama-sama berdamai dengan masa kecil ya mbk rey😊
Semangat juga untuk mbk rey dalam menjaga anak-anaknya💪
Waahh dirimu mengingatkan saya akan film yang judulnya panjang itu loh, di mana seorang anak yang tidak bisa mengerti jati diri dan kemauannya, hanya karena sejak kecil semua selalu membantunya dalam mengerjakan apapun.
HapusTapi Astria nggak seperti itu kok, mungkin saja karena memang belum saatnya berpikiran dewasa :D
Aamiin, thanks yaaa :*
Wah, mbak Rey ingatannya kuat ya, bahkan kejadian masa kecil masih ingat saja. Kalo aku pelupa, bahkan apakah ibu memelukku saat tidur atau tidak saya sudah ngga ingat. Soalnya yang aku ingat, saat masih kecil itu tidurnya sudah misah sama kakak dan adik saya.
BalasHapusIya ya, kenapa kita kadang sama sahabat yang bahkan cuma kenal di sosial media bisa mengerti dan memahami tapi sama pasangan kok mintanya yang sempurna. Dia harus bisa ini itu. Harus pintar dan bisa semua hal. Padahal tak ada orang yang sempurna ya, karena sempurna itu judul lagunya Andre and the Backbone.😂
Tapi Alhamdulillah aku tidak menuntut pasangan seperti itu sih, karena aku sadar itu tidak baik. Yang penting saling mencintai dan juga memahami agar hubungan jadi baik.😊
hahahaha iya juga ya, harusnya yang disuruh sempurna itu ya si Andra itu :D
HapusMungkin juga karena teman nggak terlalu berpengaruh dengan kehidupan kita kali ya, beda sama pasangan, amat sangat ngaruh :D
Mungkin masa kecil Mas Agus tuh selalu penuh kebahagiaan, bebas tanpa beban, makanya memorable indah-indah konon sulit bertahan :D
Alhamdulillah, sepertinya sih memang masa kecilku bahagia, bisa bermain kelereng atau layangan sepuasnya.
HapusEh, tapi mengapa memorable indah-indah sulit bertahan ya? 🤔
hahahaha karena mungkin sejatinya pikiran manusia itu terus berkembang dan bertambah, ibarat data base, kalau kebanyakan agak sulit mengingat semuanya hahahaha.
HapusKecuali memang yang bikin traumatik :D
Wakss.. Inner child rupanya lagi ngetren yah. Hari ini saja saya sudah baca 3 blog (cewek) yang membahas mengenai istilah yang satu ini.
BalasHapusRupanya pada baca buku teori psikologi yang sama neh, jadi booming deh istilah itu.
Cuma.. yah.. seperti biasa, mungkin karena sudah hidup hampir 50 tahun, saya males banget baca buku teoretis seperti itu.
Saya memandangnya sederhana saja.
Dulu ada iklan yang mengumandangkan "Selalu ada sisi kekanak-kanakan dalam diri manusia".
Hahaha.. kenyataannya, yah memang akan selalu ada. Bagaimanapun semua manusia dewasa itu pernah jadi bayi, balita, remaja, dewasa, dan pada akhirnya tua.
Masing-masing periode akan meninggalkan bekas dan kemudian menjadi bagian dari pembentuk diri kita sekarang ini.
Itulah kita sekarang, terbentuk dari berbagai bagian dari bermacam periode yang berbeda.
Tetapi...
Saya memandangnya secara sederhana saja, itulah saya saat ini. Tidak perlu rasanya memandang terlalu jauh ke belakang, melihat masa lalu dalam konteks teoretis dan menemukan sebab musabab.
Buat saya lebih penting adalah memanage sikap dan karakter kita hari ini.
Apakah karakter saat ini membawa kebaikan atau tidak? Membuat bahagia atau tidak? Membuat kita nyaman atau tidak.
Membahas terlalu ke belakang, acapkali susah terlepas dari "menyalahkan" proses pembentukan kita sebagai manusia dewasa saat ini. Mengkambinghitamkan pola pengasuhan dari dua orangtua.
Padahal, seharusnya kita memandang apa yang dilakukan kedua orangtua dengan cara yang sederhana juga, mereka sudah berbuat yang terbaik untuk menjadikan kita manusia yang bisa bertahan dan berdiri sendiri. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, para orangtua sudah berjuang agar anaknya bisa menjadi orang yang mandiri
Mereka melakukan kesalahan? Banyak, seperti juga kita sebagai orangtua saat ini. Haruskah inner child dibebankan kepada tindakan dan perlakuan mereka? Tidak juga.
Yang seharusnya disalahkan adalah diri sendiri saja. Kita punya pilihan untuk merubah diri kita sendiri ketika menjadi orang dewasa. Merubah sikap dan karakter yang kita anggap kurang berkenan bagi kita, tapi seringkali kita abai melihat ke dalam dan mengoreksi.
Teori inner child, saya pikir seharusnya membantu kita mengoreksi diri sendiri dibandingkan membahas "apa yang pernah terjadi di masa lalu dan membekas pada diri kita?"
Kenapa harus "menyebutkan penyebab", padahal tanpa itupun kita bisa melakukan koreksi pada diri sendiri. Kita tahu segala sesuatu tentang diri sendiri saat ini dan kita bisa melihat dampaknya kepada lingkungan sekitar.
Jelas, tanpa bahas soal adakah sifat kekanakan kita, kita bisa memperbaiki diri sendiri...
Lalu, kenapa kita harus menengok terlalu jauh ke belakang untuk menemukan akar masalah? Padahal, masalahnya sudah ada di depan mata dan dalam kondisi terkini...
Itu juga yang mendasari pemikiran bahwa saya terbiasa menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa perlu merasa perlu mengorek banyak hal. Saya tempatkan saja segala sesuatu pada posisinya, norma yang berlaku, etika, dan kemudian berpikir berdasarkan itu.
Bagi saya tidak ada gunanya menelaah sampai terlalu ke belakang karena sudah terlalu lama lewat. Efeknya juga mungkin sudah tidak begitu terasa...
Bahasan soal inner child menurut saya mah terdengar indah dan masuk akal dalam tataran teori, tapi sebenarnya, saya bingung.. apa gunanya berpikir terlalu jauh ke belakang..
Itu saja..biar bahasan tambah ruwet.. hahahaha
Mas Anton opini yang menarik ...kalau boleh sedikit menambahkan info saja..soal inner child memang trend dlm komunitas parenting karena gejolak emosi yg mengganggu terjadi dari masa lalu org tua akibat wiring/coping mechanism. ��Sebetulnya healing innerchild hanya salah satu metode penyembuhan dan benar...tidak harus mengorek masa lalu yg menyakitkan untuk healing..Apalagi tidak semua org nyaman untuk melihat kembali masa lalu..sebetulnya ada banyak alternatif metode healing lain yg lgs kepada solusi. Namun bila memilih inner child sbg penyembuhan harus ada yang membimbing agar seseorg tdk terjebak di masa lalu...Istilahnya visit sebentar tapi tdk kemudian berputar2 tdk bisa keluar dari sana, karena bagian healingnya malah tdk dapat...
HapusWaaahhh tengkiuuu Bapaaakkk, jadi punya insight lain dari sisi pemikiran yang lain, dan dijabarkan secara panjang lebar.
HapusItulah mengapa saya suka baca-baca opini Pak Anton di Maniak Menulis, karena opininya menarik, nggak perlu mengacu pada mainstream apalagi kebanyakan cuman ikut-ikutan :D
Namun, tulisan saya ini sebenarnya agak nyambung dengan tulisan di hari Kamis sebelum ini, di mana kapan sih kita butuh psikolog?
Jawabannya kalau kita merasa sudah nggak nyaman dengan diri kita sendiri, bahkan bisa merugikan orang lain.
Nah setahunan kemaren itu saya coba keluar dari masalah saya, sepotong demi sepotong saya urai.
Karena saya memang punya masalah yang sama sekali sudah dalam tahap bikin nggak nyaman banget, bahkan saya sampai berpikir apa lebih baik mati aja ya (sayang kok mati itu sakit hahahahaah, belom lagi kalau mati masuk neraka hadehh hahaha).
Nah bukan hanya nggak nyaman dengan diri sendiri, saya juga udah mengakibatkan ketidak nyamanan bahkan merugikan orang lain.
Saya sering marah besar pada anak hanya karena masalah sepele, saya bahkan sulit bisa berkomunikasi dengan pasangan, sulit menerima sedikitpun kekurangan pasangan.
Saya pengen semua sempurna.
Karenanya, sejak tahun lalu, saya akhirnya membuka diri sama Psikolog, coba ngobrol lama sama anak-anak psikolog, mengurai satu persatu, karena masalah psikolog itu sebenarnya sulit loh.
bahkan, banyak yang nggak mau ke psikolog karena mereka nggak tahu, kalau ditanya, apa masalahmu? lah mereka pasti bingung, iya ya, apa masalahku? hahaha.
itu butuh diurai dulu satu persatu, dan semua itu bisa terurai kalau kita mau membuka diri, menceritakan potongan-potongan perasaan kita.
Dan demikianlah, kemaren tuh dari dugaan saya agak depresi karena i hate jadi IRT, saya workaholic, lalu diajari bagaimana menerima keputusan dan mengubah workaholic kantor itu jadi workaholic terhadap peran IRT.
ternyata masih ada lagi yang ganjel.
Masalah sama suami, yang saya akhirnya konseling di Unair serta pernah juga konseling online.
dari situ mulai terurai, apa sih sebenarnya masalah saya?
Salah satunya adalah masalahnya karena saya terlalu keras kepada diri sendiri dan juga menuntut orang di sekitar saya khususnya keluarga saya, untuk bisa melakukan seperti yang saya lakukan, padahal kan pasangan saya amat sangat berbeda dengan saya.
Nah bagaimana menerima perbedaan ini yang sedang ingin saya taklukan, saya bisa melakukan hal itu dengan teman, kenapa sulit sekali saya lakukan dengan pasangan dan anak-anak.
karenanya saya mulai menggali perasaan saya, traumatik saya, harapan saya, dengan ditulis seperti ini, jika memang tidak juga bikin saya lebih membaik, saya akan cari bantuan yang lebih paham atau psikolog, daaannn saya udah punya poin-poinnya yang buat dibahas.
Begitu kira-kira bapak, saya kembali ke masa kecil, bukan untuk menyalahkan masa lalu, tapi untuk mencoba berdamai dengan masa lalu, agar saya bisa lebih ikhlas, dan bisa lebih kalem terhadap kehidupan.
Saya mau mengatakan pada sosok ketakutan traumatik dalam diri saya, bahwa jangan takut, sekarang kita sudah bebas, sudah nggak ada lagi orang tua yang mengancam ini itu untuk saya harus sempurna.
Dengan demikian, saya bisa menerima kalau hidup ini memang nggak ada yang sempurna :D
tapi tengkiu so mucchhh pencerahannya bapaaakk, means alot buat saya :)
@Phebie : betul banget, saya sama sekali nggak menyalahkan masa lalu, justru ingin berdamai, meskipun mungkin masih tahap awal, jika memang belum bisa menentramkan saya rasa saya bisa curcol ama psikolog :D
HapusPuk puk, Mba Rey.. 🤗 Baca tulisan ini saya jadi inget adik-adik saya Mba, yang mana mereka juga akhirnya diabaikan begitu adik saya yg cowok satu-satunya lahir, hanya saja mereka masih lebih beruntung karena kami kakak2 nya menyadari apa yang terjadi, jadi adik-adik yang terabaikan ini sedikit banyak kami yang mengambil alih.
BalasHapusHanya saja, ternyata perasaan dan apa yang membekas di hati mereka bener-bener terbawa sampe dewasa, hingga ada yang mengalami trauma (sebenernya itu salah satu alasan terpenting saya kenapa sering membahas tentang psikologi) sejak sekolah mencari-cari info tentang bagaimana agar adik saya sembuh dari rasa kecewa. Karena Ortu tidak percaya dengan Psikiater, Psikolog dan sejenisnya. Mereka masih menganggap adik saya yang bandel dan bikin masalah sendiri.
Dan soal katanya Mas Anton "Bahasan soal inner child menurut saya mah terdengar indah dan masuk akal dalam tataran teori, tapi sebenarnya, saya bingung.. apa gunanya berpikir terlalu jauh ke belakang."
Mungkin Mba Rey, ingin belajar dari pengalaman masa lalu sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi lagi ke anak-anak Mas, menangkap manfaatnya, lalu disaring kemudian ambil baiknya dan buang buruknya (IMO sih) 😂😁
Kenapa harus melihat ke masa lalu, padahal zaman, generasi, dan polanya sudah berubah.
HapusPengasuhan pun akan berubah juga, lalu kenapa harus melihat ke belakang untuk mencegahnya terulang? 😉😉😉
Kenapa tidak melakukan pengasuhan berdasarkan apa yang ada di depan kita sekarang, tanpa perlu harus membahas ke belakang?
Tetep bingung dengan mengapa harus mempermasalahkan inner child..😁😁😁😁😁
Maklum kalo cowok mah biasa mikir simple dan nggak usah dibuat rudet dengan segala teori..
Masalah hari ini adalah tentang hari ini, bukan masalah masa lalu..
Bereaksi dan mengambil keputusan berdasarkan kondisi dan situasi saat ini lebih akurat daripa mendasarkan pencarian solusi terhadap asumsi tentang apa yg terjadi di masa lalu..
Mungkin itu yang membedakan cewek dan cowok yah...hahaha.. cewek suka bikin ruwet sendiri 😉😉
Betul sekali mas, pikiran cewek emang gitu, muter kemana-mana, ujung2nya yah bakalan gak jauh beda sama hasil logikanya laki2 😂
HapusTapi kalo melakukan pengasuhan berdasarkan apa yang ada di depan kita tanpa punya dasar dan gak punya pengalaman juga, yah susah juga, kelabakan jadinya. Dan juga berhubung situasi dan kondisi saat ini belum banyak yg bisa dijadikan role model, karena mereka yah sama begitu juga, belum pernah ngeliat hasil akhir dari pola asuh yg ada sekarang. Kalopun ada yang hasilnya udah keliatan, yah anak2 nya juga pasti udah dewasa semua, yg berarti mau gak mau kita sedikit banyak harus menengok ke masa lalu agar bisa dijadikan pembelajaran. 😂😁
Maklumlah mas, keruwetan ini emang udah kodratnya perempuan, hihihi.. 😂😅
@Mba Rini : Betul sekali Mba, membekas banget nget kalau saya.
HapusMaklum, saya pernah jadi anak bungsu sampai usia 6 tahun, lalu setelah adik saya lahir, saya terlempar jadi urutan terakhir.
Bertepatan juga, pas adik saya lahir, mama saya kerja.
Makin nggak punya waktu deh beliau sekadar memperhatikan kebutuhan saya pun enggak, meluk saya? udah nggak pernah sama sekali.
Dulu saya pikir, seiring waktu dan saya jadi ibu, saya akan mengerti mengapa beliau seperti itu.
Dan memang, setelah punya anak saya jadi tahu banget bagaimana kedudukan mama dulunya.
Saya bahkan udah memaafkan mama bahkan bapak yang dulunya galaknya minta ampun.
Tapi saya bingung, menurut saya, saya udah maafin mereka.
Tapi entah mengapa kok saya nggak bisa belajar dari masa lalu?
Saya punya masalah terhadap apa yang pasangan dan anak-anak lakukan.
Seolah saya kembali ke masa kecil dan menerapkan semua aturan bapak dan mama waktu dulu.
Padahal, saya sadar betul kalau itu salah.
Nyatanya juga nggak bisa melawan emosi sendiri.
Makanya, pas baca-baca tentang inner child, saya coba menterapi diri sendiri dengan mengingat dan memanggil masa kecil itu datang, berdamai dengan dia, biar saya lebih legowo, bisa menerima masa sekarang, tanpa dibayangi masa kecil.
Sebenarnya pengen sih ikut terapi, ada beberapa orang yang nawarin, cuman belum sreg aja waktunya.
makanya saya coba dengan menulis gini.
@Bapak Anton : hihihi iya Bapaakk, wanita memang kodratnya gitu.
Makanya wanita dipasangin ama pria hahaha.
Saya akhir-akhir ini kadang liat vidionya ibu siapa sih itu, dia sering bahas tentang pola pikir wanita dan pria, memang beda.
Mau setomboy apapun wanita, dia udah lahir dengan kondisi otak berbeda dengan pria, itulah tanda kebesaranNya :D
Habis baca ini aku merasa jangan jangan aku masih berada dalam lingkup inner child dan aku baru tau istilah ini.
BalasHapusAku udah Segede ini kadang merasa sifatku masih kayak anak-anak, nonton film sampe kebawa emosi dan nangis, padahal temen aku biasa aja. Mungkin aku mikirnya, penghayatan cerita ketika nonton film tiap orang berbeda beda.
Dan aku nggak ngerti apa sifat ini disebabkan karena ortu aku pisah ya. Tapi aku merasa bukan itu juga sebabnya.
Mungkin aku perlu ke psikolog nih :D
Sebenarnya ngobrol sama psikolog malah enak loh, karena mereka lebih punya ilmu buat mengarahkan seseorang ke cara yang lebih baik.
HapusKadang orang merasa baik-baik saja, padahal orang di sekitarnya merasa tidak demikian.
Kayak komen Rahul di postingan saya sebelum ini, di mana ada orang yang merasa dirinya baik-baik aja, tapi ternyata orang di sekitarnya nggak nyaman dengan dia semuanya :)
Tapi, kalau nggak nyaman dengan psikolog juga nggak apa-apa kok Mba, dengan menulis dan banyak membaca, semacam healing tersendiri buat kita :)
Kadang orang merasa baik-baik saja, padahal orang di sekitarnya merasa tidak demikian => ini bener mbak. Kadang kalau kita bertemen, ada temen yang nggak berani bilang ke diri kita mengenai hal apa yang dia nggak suka dari kita, atau kita itu orangnya kayak gimana, jadi biar bisa ngeliat diri sendiri dari kacamata orang lain. biasanya yang kayak gini ntar jatuhnya temen temen pada ghibah :D
HapusEtapi ada juga yang udah dikasih tahu tetep ngeyel loh, merasa hepi hidup sesuai dirinya :D
HapusKalau saya jujur memang agak nggak berani nasihatin orang, kecuali teman akrab banget.
Biasanya saya milih menghindari masalah aja deh :D
Baru mau komentar....Taapiii udah banyak orang pinter yang luar biasa seperti diatas. Misi aah..🚶♀️🚶♀️🚶♀️
BalasHapusIh mana komennya? :D
HapusAbis baca ini, aku mikir lama sebelum nulis Rey, apa sebenernya aku memiliki inner child ato ga.. trus langsung keinget, apa ketidaksukaan aku Ama anak2, termasuk dalam inner child ga yaaa. Sebelum hamil kan aku pernah bilang aku ga pengen punya anak. Tp Krn suami mau, akhirnya ngalah. Malah jadi 2 :D. Tp yg Deket Ama aku, cm si adek. Sementara kakanya ga samasekali. Dan aku sendiri susah juga mau mendekatkan diri.
BalasHapusTp itu hanya berlaku utk anak2ku yaa. Dengan anak orang lain aku lebih ga bisa Deket. Makanya temen ada yg lahiran, aku cendrung beliin kado utk ibunya drpd anaknya. Temen lain PD bilang "ohhhh gemeeees si baby nya lucu bangeeet". Aku nengok sekilas, trus komen dalam hati, biasa aja. Segitu ga sukanya aku Ama anak2 sih.
Kalo dipikir2 LG, apa itu Krn orang tua ku dulu yg ga terlalu Deket juga Ama kami anak2nya yaaa. Mama papa baru mulai berusaha Deket Ama aku sejak aku stay di JKT. Sebelum2nya bisa dibilang hub kami jauh. Aku lbh Deket Ama babysitterku drpd mereka. Sikap mereka ke anak2 juga dingin soalnya. Boro2 sering meluk, yg ada aku malah LBH seneng mereka ga ada di rumah , suasan jd LBH nyaman. Ntahlaaah, apa itu yg membuatku sampe ga suka juga dengan anak2 yaaa?
Cuma anehnya itu aku doang. Adek2ku yg lain kayaknya normal. Eh yg nomor 2 juga ga suka anak kayak aku hahahahah.
Tapi lagi2, Krn suamiku suka, aku kdg ngalah, demi dia :) .
Aku pengen berubah sih sbnrnya. Setidaknya berubah utk lebih perhatian ke anak2ku sendiri dulu deh. Ga usah maksa utk menyukai anak2 lain. Krn kamu bilang ini biasanya terbentuk dari pemikiran anak 6-7 THN, berarti di tahap ini aku hrs lebih memperhatikan si Kaka. Ga mau juga kalo dia menyimpan inner child yg ga nyenengin Krn sikapku yg sering keras ke dia :(
pukpuk Mbaaa...
HapusJustru sebenarnya kalau dipikir-pikir, masa kecil anak yang jauh dari ortu itu lebih complicated ya.
Kalau saya meski ortu cuek, tapi mereka selalu ada setiap hari.
Bapak sejak kami kecil masih suka melucu, suka ngajak kami ngobrol.
Hanya saja saya dendam belio suka mukul betis saya sampai biru-biru hiks.
Nah saya malah dulu suka banget anak kecil, anak orangpun saya jaga.
Anehnya, setelah punya anak sendiri, saya kayak alergi gitu sama anak.
Menurut saya mereka tuh annnoying hahahaha.
Etapi, saya masih tetep gemes sama bayi Mba, mungkin karena saya kecapekan kali ya, dan masih terjebak di masa lalu.
Semoga kita bisa jadi ibu yang lebih baik ya Mba, betul banget, setidaknya sama anak-anak kita.
Sayapun kayaknya berlaku sangat salah sama si kakak, karena pas dia 6-7 tahun saya hamil dan melahirkan, di mana saya kena baby blues dan PPD itu, alhasil saya kasaaarr banget sama dia.
Sekarang, saya terus usaha biar si kakak, setidaknya bisa paham dan nggak dendam, kasian kalau dia bawa inenr childnya sampai besar, terlebih dia lelaki :(
Inner child jika tak dikawal atau terlalu ikutkan sangat akan memudaratkan pemikiran dan mempengaruhi kehidupan menjadi teruk. Elakkan berseorangan dan sibukkan diri dengan kerja kerja yang membahagiakan :)
BalasHapusBetul banget tuh, Makasih banyak ya :)
Hapusbaca cerita mbak..jadi ingat istri. akhirnya cerai gara-gara inner child karena sejak kecil fatherless (ada ayah tapi seperti tiada)-lbh fokus pd kerjaannya drpd klgnya. sehingga menuntut sy sebagai suami hrs sempurna.sehingga kesalahan kecil-pun buat dia spt besar sekali. krn sptnya dia butuh sosok ayah yg sempurna dlm bayangan dia krn seringnya dicuekin sm ayahnya dulu. shg begitu sy agak cuek krn sibuk, dia selalu membandingkan dg ayahnya. pdhal sy selalu hadir & ada disamping dia.
BalasHapus