Jleb banget deh saya memikirkan pertanyaan tersebut, yang sejujurnya nggak berani saya jawab dengan jujur.
Takut diserang, hahaha.
Padahal mah, sesungguhnya saya (mungkin) bukan satu-satunya orang tua, khususnya ibu, yang jawabannya juga minta diserang.
Disclaimer :
"Btw, tulisan ini berdasarkan opini saya semata, means sama sekali tidak mutlak benar dan wajib buat semua orang, ini hanyalah sebuah pemikiran mamak Rey yang agak error. Dan saya tidak bertanggung jawab dengan rasa emosi dari ketidak setujuan pembaca!"
Iya, entah lagi kejedot di mana gitu ya, tiba-tiba saya berpikir, sebenarnya apa sih tujuan orang berlomba-lomba punya anak?
Karena pada kenyataannya, banyak banget yang masih berpikir, bahwa setelah punya anak, apa-apa yang bikin kita bahagia itu masih wajib kita lakukan, demi kewarasan ibu.
Karena anak tak butuh ibu yang sempurna, anak butuh ibu yang bahagia.
Demikian banyak slogan zaman now yang beredar.
Lalu, saya yang agak kesulitan berbahagia sesuai standar diri, merasa kok slogan tersebut kurang memdunia ya.
Lalu, saya yang agak kesulitan berbahagia sesuai standar diri, merasa kok slogan tersebut kurang memdunia ya.
Ini sama dengan slogan yang diyakini banyak orang, bahwa menikah dan punya anak, bukan berarti membatasi diri karena status tersebut.
Benarkah?
Ketika Keterbatasan Melingkupi Kebahagiaan Seorang Ibu
Ibu harus bahagia, bagaimana kalau kebahagiaan ibu seperti saya, yang workaholic, yang merasa bekerja sibuk cari duit itu adalah sebuah ukuran kebahagiaan saya?
Yang terjadi, adalah bekerja di luar itu tidak memungkinkan buat kondisi saya.
Lalu, apa yang harus saya lakukan?
Memaksakan kondisi demi kebahagiaan saya?
Karena anak-anak saya butuh ibu yang bahagia?
Atau, kebahagiaan saya adalah, ketika suami harus begini begitu.
Tapi ternyata suami nggak bisa begini begitu lagi.
Lalu, apakah saya harus terus bersedih dan menjauhi bahagia?
Sementara anak-anak butuh ibu yang bahagia?
Saya rasa, saya bukanlah satu-satunya ibu yang berada di kondisi seperti itu.
Saya sering banget baca curhatan beberapa teman facebook, yang mengeluhkan mereka jadi punya masalah mental karena suaminya.
Atau juga di grup MotherHope Indonesia.
Di mana, banyak banget ibu-ibu yang curhat, dengan masalah yang sama seperti saya.
Bahkan, mungkin juga teman-teman pembaca di sini, yang meskipun selalu menutupinya, tapi mungkin juga punya masalah ketidakbahagiaan dengan sebab-sebab seperti itu.
Dengan sebab keterbatasan.
Ibu Harus Bahagia Di Atas Kebahagiaan Anak
Pada akhirnya, dari semua pengalaman, renungan dan melihat/membaca kisah lainnya, saya akhirnya sampai di sebuah penilaian, bahwasanya menjadi ibu itu ya kudu berkorban.
Menjadi ibu adalah, semacam membawa sesuatu seumur hidup, setidaknya sampai anak-anak dewasa dan mandiri, meskipun dalam praktiknya beberapa orang tua khususnya ibu, tidak bisa benar-benar membiarkan anaknya kesulitan, sampai dia nggak sanggup lagi untuk membantu anaknya.
Saya juga sampai di pemikiran, bahwa sesungguhnya surga di kaki ibu, bukan karena sulitnya ibu mengandung dan melahirkan anak-anaknya.
Saya juga sampai di pemikiran, bahwa sesungguhnya surga di kaki ibu, bukan karena sulitnya ibu mengandung dan melahirkan anak-anaknya.
Tapi bagaimana ibu memilih mengorbankan kebahagiaannya, dengan memalingkan kebahagiaannya, di atas kebahagiaan anaknya.
Oh tentu saja!
Ibu hamil dan melahirkan itu sungguh mulia, dan itu adalah sebuah ibadah yang langsung Allah bayarkan nanti.
Bahkan Allah berjanji, ibu yang meninggal karena melahirkan adalah seseorang yang mati syahid (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Tapi, bukankah anak tak pernah meminta dilahirkan oleh orang tuanya?
Bahkan, terlebih kalau tahu hidupnya menderita, mungkin anak akan memohon untuk tidak dilahirkan saja?
Hamil dan melahirkan adalah kodrat seorang wanita, tak bisa diganti oleh ilmu pengetahuan manapun.
Tapi, memilih prioritas kebahagiaan anak-anak, bukanlah takdir siapapun, melainkan karena kekuatan hati ibu dalam menentukan pilihannya.
Karenanya, bahkan jika ibu masih punya pilihan, kadang yang dipilih sesuatu yang bukan merupakan kebahagiaan dan kemauan anak, melainkan ego sebagai orang tua.
Lalu, dengan kondisi ibu yang tak punya pilihan, akankah dia menyerah dan terus tidak berbahagia, meski dia tahu anak butuh ibu yang bahagia?
Yang bisa dilakukan, setidaknya buat saya adalah, dengan mengganti kebahagiaan saya.
Memang tak mudah, terutama untuk seseorang yang sejak awal tidak punya pikiran, apalagi planning sama sekali tentang 'apa sih tujuan punya anak?'.
Tapi, naluri ibu pasti akan menuntun kita sebagai ibu yang terbaik.
Sehingga mampu mengganti kebahagiaan awal adalah hal lain, jadi kebahagiaan sekarang adalah kebahagiaan anak.
Apa Alasan Punya Anak
Karenanya, saya rasa, penting buat pasangan, khususnya ibu.
Untuk memahami terlebih dahulu pertanyaan,
"Apa sih alasan harus punya anak?"
Kalau saya dulu jujur, punya anak itu kayaknya sama dengan alasan harus menikah.
Biar terlihat normal, hahaha.
Kasian banget ya anak-anak, yang terlahir hanya untuk melengkapi orang tuanya, agar terlihat normal, agar orang-orang berhenti bertanya,
"Kapan punya anak?"
Oh tapi saya masih belum terlampau ekstrim sih ya, ketimbang alasan lain, misal,
Punya anak biar ada yang ngerawat di masa tua.
Waduh!
Merawat anak dengan baik, agar nanti di masa tua kita anak juga bisa merawat kita dengan baik.
Wadoohhhh!
Sebagai anak yang tinggal jauh dari orang tua.
Sebagai wanita yang akhirnya kudu memilih ikut suami ketimbang orang tua.
Saya bisa dengan bangga mengatakan dengan sadar.
Kalau saya tidak sependapat dengan alasan tersebut.
Saya ingin menjadi ibu yang baik buat anak-anak, bukan agar anak-anak baik ke saya di masa tua nanti.
Tapi karena memang itulah yang anak-anak butuhkan.
Seorang ibu yang menjadi pengganti malaikat buat mereka.
Lalu saya tertampar, betapa saya mirip setan ketimbang malaikat buat anak-anak saya, huhuhu.
Sejujurnya, saya tidak membesarkan dan mengasuh anak-anak buat hari tua saya, kalau buat akhirat, tentu saja, sangat berharap, tapi hari tua, kayaknya enggak.
Ya karena berkaca dari pengalaman sendiri, bagaimana saya tidak bisa merawat anak-anak saya.
Dan saya yakin semua ini juga bagian dari perjalanan hidup.
Terlebih saya adalah anak perempuan.
Ini sangat bertolak belakang dengan ibu-ibu zaman now, yang begitu keukeuh pengen punya anak cewek, dengan harapan agar setelah tua nanti bisa dirawat anak perempuannya.
Wow.
Bagaimana kalau memang anaknya berjodoh dengan lelaki yang harus berjauhan dengannya?
Akankan anak harus memilih ibu atau suaminya?
Meski semua orang tua berharap bisa dirawat oleh anaknya, tapi sebaiknya juga menyiapkan mental, jika memang kondisi tidak memungkinkan.
Begitulah.
Mungkin ke depannya, kita harus setidaknya memikirkan alasan, saat kita benar-benar menginginkan sesuatu.
Sama dengan menginginkan anak.
Karena anak tidak sama dengan barang.
Mempunyai anak adalah pengorbanan seumur hidup.
Itulah mengapa, doa orang tua selalu mujarab buat anaknya.
So, apa alasan temans ingin punya anak?
Apapun alasannya, jangan lupakan kalau anak juga manusia.
Mereka bukan lahir untuk melengkapi gaya sempurna kita.
Seperti yang dulu menjadi alasan saya punya anak.
Akhirnya, pas punya anak dua, ngehek deh.
Ternyata mengurus anak seorang diri itu berad!
Tapi harus diurus dengan bahagia!
Sidoarjo, 28 Oktober 2020
Sumber : opini pribadi
Gambar : dokumen pribadi
Aku kalo jujur bakal di bully jg ga Rey ? :D.
BalasHapusAku g pengen punya anak sbnrnya. Dulu sblm nikah Ama suami, aku sempet pacaran, dan kami sama2 ga mau punya anak wkt itu. Dia ga suka anak kecil, akupun juga. Buatku, baru denger suara tangisan mereka aja udh pusing dibuat.
Tapi EMG ga jodoh, aku putus Ama yg itu. Ketemu deh Ama pak suami. Kebalikannya, dia penyayang anak hahahahaha. Tp akhirnya dia tau kalo aku ga pengen punya anak samasekali. Krn tiap diajak ngeliat temen2nya ato sodaranya yg udh baru lahiran, aku kliatan bgt ogah2an . Pas udh sampe pun, aku emoh tuh megang2 si bayi, apalagi bilang, "aduuuuh lucu banget bayinya" bla BLA BLA... :P. Yg ada aku cuma lirik bentar, senyum basa basi, trus ngobrol Ama ibunya tanpa nanya si anak hahahahah
Awalnya pak suami masih maklum. Mungkin dia berharap aku bisa berubah. Tapi kemudian kami berantem Krn suatu hal lah waktu itu, dan sampe putus. Ntah kenapa salah satu alasan yg dia pake, Krn aku ga mau punya anak :p. Di situ sih aku mikir Rey. Krn deep inside aku sayang bgt Ama suami, aku hrs akuin dia tuh bener2 amat sabar ngadepin aku yg super egois ini. Mungkin Krn udh mikir lamaaa, akhirnya aku minta maaf sih, dan di situ aku ngalah, kalo aku bakal berubah pikiran, mau punya anak :). Tapi ttp ga mau banyak. Kalo bisa 1 ajapun. Cuma Tuhan ngasih 2, ya sudahlah :D.
Sekarang sih ketidaksukaan aku Ama anak2 udh berkurang. Udh ga terlalu pusing dgr tangisan mereka, tapi ttp blm bisa terlalu suka. Ama anak sendiri okelah, aku udh sayang, tp Ama anak org lain hrs liat2 dulu. Kalo terlalu aktif jujurnya, aku masih jaga jarak. Kecuali anaknya anteng :D.
Tapi sampe skr, aku ga pernah berfikir anak itu utk menjaga ortunya di saat tua. Akupun ga mau kyk gitu. Aku hrs bis mandiri saat mereka dewasa. Ga mau tergantung dr mereka dalam soal financial ato apapun. Mereka udh punya kehidupan masing2, Krn itu juga yg ortuku ajarin ke kami. Papa mama bahkan msh bisa mengurus bisnisnya hingga ga hrs tergantung Ama anak2nya . Itu yg mau aku contoh.
Mbaaaa... tengkiu sudah mau berbagi :*
HapusMba Fanny adalah salah satu terbaik yang selalu saya nantikan komennya, karena kisah hidup Mba Fanny itu luar biasa buat saya, dan Mba fan selalu berbaik hati mau membagikan secara jujur di kolom komentar saya.
Kalau saya kebalikan kayaknya Mba, saya suka banget anak kecil dulunya, bahkan pas anak pertama saya lahir, saya gemesss banget, sampai kayak dapat boneka :D
Mungkin itu juga mengapa saya nggak baby blues waktu itu, nah pas anak kedua mulai aneh, bukan hanya kena baby blues dan PPD, tapi akhirnya mengubah saya jadi kayak alergi ama anak kecil dong hahaha.
Btw betul sekali Mba, kasian juga anak-anak kalau harus menanggung ortunya, iya kalau dia mampu, kalau enggak?
Setidaknya sebagai ortu juga berusaha untuk mandiri, terlepas anak-anak mau mengurusi ortunya, itu bukan lagi semacam kewajiban penuh buatnya :)
Saya kalau ditanya alasan ingin punya anak kayaknya belum bisa jawab mba, soalnya sampai saat ini keinginan itu belum jelas ada :"""D
BalasHapusTapi one day, saya pastinya ada keinginan punya anak (entah kapan) jadi saya nggak semerta-merta menutup diri saya dari hal satu itu dan sometimes masih suka menulis, if one day saya punya anak, bla bla bla hahahahahaha :))
Setiap orang pasti punya alasan berbeda kenapa ingin punya anak, apapun itu, semoga harapan yang dimiliki orang tua terhadap anaknya nggak membebankan langkah anaknya dalam menjalani kehidupan <3 hehehe.
Aamiin, betul sekali say, kasian kan belom juga anak lahir udah dikasih tugas, saya mau punya anak biar nanti kalau tua ada yang ngurusin, huhuhu.
HapusPadahal kalau anak kayak saya misalnya, dengan harapan ortu kayaknya ga bisa nyambung.
Semangat say, setiap orang punya alasannya masing-masing :*
aku belum berkeluarga dan belum bisa cerita banyak soal pengalaman seperti ini
BalasHapussama pasangan pun hampir nggak pernah ngobrolin soal anak
yang jelas dari aku sendiri, kalau ngebayangin dari mereka mereka yang bahagia dengan anak dan keluarganya, pastinya nantinya juga berharap demikian
Semangat Mba Inun :D
HapusApa ya alasan aku punya anak? Aku ingin saat tua nanti ada yang merawat mbak Rey, egois sekali ya hahaha..🤣
BalasHapusKalo sudah berkeluarga tapi belum punya anak rasanya ada yang kurang begitu. Jadi begitu menikah istri tidak ikut kabe karena ingin punya anak.
Memang punya anak kadang butuh pengorbanan, misalnya anak rewel minta main atau jalan jalan ya terpaksa berhenti main hapenya lalu jalan jalan padahal lagi asyik-asyiknya main hape.🤣
hahaha, itu alasan hampir semua orang Mas, kalau saya melihat dari diri sendiri sih, setekah menikah nggak bisa mendampingi ortu, dan untungnya ortu nggak memaksa mengenai itu :D
HapusTetiba ngerasa tergelitik pengen komen kak. wkwkwkwk.
BalasHapusPertama-tama aku belum bersuami tentunya dan ngerasa udah pengen punya anak karena hampir setiap hari even tiap hari deh ngeliatin kebahagiaan teman yang punya anak kok lucu gitu dipikiran ku. Tapi setelah ku pikir-pikir pakai akal sehat gak mungkin selalu bahagia sih pasti ada lelahnya juga tapi gak di nampakin aja.
Kedua akhirnya ngobrol ama pacar wkwkwkwk, bukan maksud ngode sih yak tapi cuma sekedar sharing aja gimana tanggapin dia melihat aku yang selalu berinteraksi sama dia udah cukup pantas apa gimana gitu
ahahahaha, itulah mengapa saya di blog itu blak-blakan, nggak cuman hepi-hepinya, yang susah dan galaupun saya tulis dengan jujur, maksudnya ya biar orang-orang yang belum ada di tahap menikah jadi tahu, kalau menikah dan punyaanak itu nggakmelulu indah kayak feed IG.
HapusKeren banget tuh, minimal jadi mengenal karakter dari komunikasi :)
Banyak org setelah menikah pasti mendambakan punya anak. Seperti diriku. Mengapa aku ingin cpt punya anak?
BalasHapus1. Biar gak ketuaan gitu. Krn menurut medis, klo punya anak di usia kepala 3 ke atas, agak beresiko. Begitu katanya.
2. Setelah menikah, banyak yg nanya setiap ketemu, kapaaaaan? Paksu merasa risih, takut disangka gak bisa punya anak.
3. Gak ada anak sepi banget!!
Setelah punya anak yg agak lama dirindukan, ternyata kerepotan juga, saat kami hampir seharian sibuk di luar rumah...
Skrg anak udah gede rasanya seneng, bahagia. Tapi skrg aku jd gak suka anak kecil yg terlalu rewel, dan aktif.
Begitulah 🤗
hahahahaha, people change ya Mba :D
HapusTapi dengan kita bisa berani mengakui semua itu, sama aja kita bsia menerima, dan ke depannya jadi lebih mudah, insha Allah :)
Hi Kak Rey, apa kabar? 😁.
BalasHapusPembahasan kali ini, akupun nggak bisa menemukan jawabannya. Sama seperti pertanyaan "kenapa harus menikah?". Dua hal ini yang selalu aku pertanyakan kenapa harus 😅.
Apalagi setelah dipikir-pikir, mempunyai anak itu benar-benar tidak semudah dan se-simple kelihatannya. Tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak menjadi "orang" itu, kalau dibayangkan rasanya aku belum siap 😂. That's why menurutku, kelak ketika memutuskan untuk punya anak, aku ingin mental aku dan pasangan udah benar-benar siap menghadapi apa yang akan terjadi di depan.
Pengorbanan seorang ibu tidak pernah berhenti, bahkan sampai titik darah penghabisan, ibu akan selalu khawatir akan anaknya 😭. Inilah kenapa dikatakan surga ada di bawah telapak kaki ibu ya huhuhu.
Anyway, Kak Rey, semangat ya untuk menjadi ibu yang baik untuk anak-anak 💪🏻
P.s: foto si adik waktu masih kecil lucu sekali. Gemass 😆
Betul sekali Lia, banyak yang bilang, setelah anak besar akan lebih longgar, kalau saya belom, anak saya udah SD, dia lebih mandiri sih, tapi tetep saja tugas dan tanggung jawab saya jadi makin gede :D
HapusPertanyaan ini pernah jadi refleksi saat aku konseling dengan Psikolog sehabis menikah, Mba. Habis menikah beberapa bulan sering mendengar pertanyaan kapan punya anak dan di bandingin sama kenalan yang habis menikah ga lama langsung hamil.
BalasHapusSampai saat ini pun aku merasa belum siap untuk punya anak. Merasa khawatir tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kehidupannya. Karena sepertinya sekarang ini pemikiran punya anak ya untuk melengkapi keluarga. Padahal menurut aku jauh lebih kompleks daripada sekedar melengkapi keluarga.
Saat akhirnya hamil Baby E pun masih merasa tidak siap. Serasa apakah peran tsb bisa di jalani dengan kondisi anak itu masih ketergantungan dengan kita sebagai orangtua. Makin kesini dan menjalani hidup married yang tentunya tidak mudah, semakin mempertanyakan apakah harus punya anak dan seberapa siap punya anak?
Peluuukkkkkk....
HapusMaaf ya kalau jadi berpikir lagi lebih dalam :*