Biarpun, jujur liatnya agak-agak geli, karena adegannya sungguh 21 tahun ke atas, hahaha.
Iya, sebelum saya lanjutin review dan kasih sinopsis film Jepang 37 Seconds ini, saya mau warning ke para orang dewasa yang nonton, sebijaknya jangan nonton ini dekat-dekat anak di bawah usia, hehehe.
Duh, saya tulis demikian, keknya malah bikin yang baca jadi semakin kepo ya? hahaha.
Sebenarnya nggak ekstrim sih, tapi memang ada beberapa adegan vulgar, ya meski cuman tampil boehgeilllhh aja, hahaha.
Tauk deh, mengapa saya jadi nonton film Jepang, padahal jujur saya nggak punya idola aktor Jepang.
Secara keseluruhan, film ini memang bertujuan mengedukasi dunia akan kehidupan orang-orang penyandang disabilitas, khususnya cerebral palsy.
Sinopsis Lengkap Film Jepang, 37 Seconds
Seperti biasa, setiap kali saya nulis sinopsis film, selalunya penuh dengan spoiler.
So, bagi yang pengen nonton dengan penuh kejutan, mending skip sinopsis ini, lanjut ke reviewnya aja, hahaha.
Film 37 Seconds (2020) ini, menceritakan seorang anak dengan kondisi cerebral palsy, yang meskipun ke mana-mana harus menggunakan kursi roda, tapi dia selalu bisa mencoba banyak hal seorang diri.
Yuma Takada (diperankan oleh Mei Kayama, yang juga memang dalam dunia nyata adalah sorang penyandang disabilitas karena cerebral palsy), adalah seorang gadis berkebutuhan khusus berusia 23 tahun, yang punya bakat menciptakan komik Manga.
Sewaktu dilahirkan, dia punya kembaran, yang mana karena masalah dalam persalinan, membuat Yuma bayi sempat tidak bernafas selama 37 detik.
Beruntung dia bisa selamat, namun sayang karena hal tersebut, Yuma mengalami kelumpuhan otak, dan hal tersebut membuatnya harus duduk di kursi roda, yang membuat kehidupannya jadi terasa menyedihkan karena kenyataan yang harus ia terima dan hadapi.
Karena beberapa keterbatasan itu, dia hanya bisa bekerja sama dengan Sayaka (Minori Hagiwara).
Sayaka adalah seorang influencer dengan follower yang banyak, karenanya mereka bekerja sama, agar komik buatan Yuma bisa laku dijual.
Akan tetapi, karena keterbatasannya, Yuma menerima saja, ketika Sayaka mengatakan, kalau komik tersebut adalah karyanya seorang diri.
Karena harus bekerja sama dengan Sayaka, setiap hari Yuma harus meninggalkan rumahnya untuk pergi ke rumah Sayaka, demi menyelesaikan komik-komiknya.
Beruntungnya, Yuma hidup di Jepang yang segala fasilitasnya sudah ramah disabilitas, jadi Yuma berani pulang pergi naik bus seorang diri tanpa diantar ibunya.
Yuma mempunyai seorang ibu (Misuzu Kanno) yang amat sangat mencintainya.
Saking cintanya, tanpa sadar ibunya udah kayak terlalu protektif, dan semua itu mengganggu bagi Yuma.
Bagaimana tidak, ibunya masih selalu membantu Yuma untuk semua hal, termasuk memandikannya, membuka pakaiannya, menyabuninya, hingga memakaikan pakaiannya.
Nah adegan-adegan mandi bareng ini nih yang bikin geli aja, hahaha.
Hidup Yuma sebenarnya berjalan dengan baik, dia punya pekerjaan, meski harus mengorbankan karyanya diakui punya orang.
Ibu yang amat sangat baik dan peduli, dan keahliannya sebagai komikus manga.
Akan tetapi, semua itu terasa membosankan, dia merasa ada yang kurang ketika karyanya malah diakui karya orang lain, terlebih Sayaka mulai semakin cuek padanya, seperti biasa... seorang influencer menikmati masa jayanya.
Puncaknya, ketika Sayaka mengadakan jumpa fans sekaligus penandatanganan komik Manga mereka.
Saat itu Yuma datang ke acara tersebut, namun entah karena malu, atau takut katahuan itu bukan karya Sayaka.
Sayakan bahkan tidak mau meliriknya sama sekali, sehingga Yuma tidak bisa masuk ke acara tersebut.
Sejak saat itu, Yuma bertekat ingin bisa menjual karyanya sendiri, dia coba menawarkan karyanya pada agency yang sering menangani komiknya bersama Sayaka, namun karena agency hanya peduli pada Sayaka, mereka malah menolak karya Yuma, dengan alasan karya tersebut terlalu mirip karya Sayaka.
(Ya iyalah, orang itu memang karyanya)
Tidak kenal menyerah, dia mencari kontak editor komik manga, dan akhirnya berhasil membuat janji bertemu dengan sebuah editor.
Sayangnya, editor itu menangani komik dewasa.
Karenanya, si editor wanita tersebut menanyakan tentang pengalamannya terhadap kegiatan seksual.
Bahkan sang editor menyarankan, agar Yuma segera melepas keperawanannya, sehingga bisa merasakan sendiri pengalaman seksual yang bisa ditorehkan jadi gambar manga yang vulgar.
Karena tekatnya sudah kuat, Yuma ingin bisa terkenal akan karyanya sendiri.
Sampai-sampai dia keliling kota Tokyo, dan berakhir dengan memakai jasa gigolo dengan tarif yang paling murah.
Namun yang terjadi, Yuma malah mengalami hal yang memalukan ketika sedang bersama sang gigolo.
Selain sang gigolo yang kaget melihat pelanggannya seorang cerebral palsy.
Yuma akhirnya memutuskan untuk pulang, namun ketika sampai di lift, dia bertemu dengan Mai (Makiko Watanabe), seorang pekerja seks komersial yang sangat ramah dan baik hati.
Mai akhirnya mengantar Yuma pulang, disambut oleh ibunya yang amat sangat khawatir karena Yuma pulang larut malam.
Yuma kesal dengan semua protektif ibunya, dan menolak ibunya membantunya mandi, dia membuktikan pada ibunya kalau bisa mandi sendiri, meski harus merangkak ke kamar mandi, membuka pakaiannya sendiri.
Setelah kejadian itu Yuma jadi sering bertemu dengan Mai, dan Mai juga begitu baik mengajaknya berjalan-jalan, menikmati hal-hal menyenangkan layaknya wanita cukup usia.
Di ajak ke bar, diajak berbelanja baju-baju modis, hingga diajak membeli alat pemuas seksual wanita (dildo).
Mai berharap, dengan itu Yuma bisa membayangkan gambar-gambar manga yang vulgar namun lebih natural.
Tentu saja Yuma tidak mengatakan pada ibunya tentang persahabatannya dengan Mai, namun suatu hari ibunya akhirnya tahu, karena Sayaka menelpon menanyakannya, sementara Yuma sedang bersama May.
Ibunya marah besar, terlebih setelah mengecek kamarnya dan menemukan alat-alat pemuas seks, serta gambar-gambar seksual.
Seketika ibunya menguncinya di dalam rumah, dan tidak memperbolehkan Yuma keluar.
Namun, ternyata semakin Yuma dikekang, semakin ia ingin merasakan kebebasan.
Hingga, Yuma kabur dari klinik yang membuat ibunya panik dan melaporkan pada polisi bahwa ia hilang.
Ibunya panik luar biasa, kesal pada polisi yang meremehkan laporannya, karena memang Yuma terkesan melarikan diri, bukan diculik, maka polisi tidak bisa melakukan apapun.
Sementara itu, Yuma malah pergi menemui Mai, dan oleh Mai dia dititipkan pada orang kepercayaannya.
Bersama orang tersebut, Yuma malah sibuk mencari saudara kembarnya.
Ibunya Yuma memang sudah lama bercerai, ayahnya tak sanggup hidup dengan ibunya yang terlalu memproteksi Yuma, hingga mengabaikan kembaran Yuma.
Karenanya, ayahnya pergi membawa kembaran Yuma tersebut, dan begitulah, Yuma telah terpisah dengan kembarannya bahkan sejak kecil.
Dengan semua hal yang dilakukan Yuma, berhasilkah dia menemukan saudara kembarnya?
Apakah dia bisa berbaikan lagi dengan ibunya?
Dan bagaimana nasib cita-citanya yang ingin menjadi seniman manga?
Nonton sendiri aja deh di Netflix, hahaha.
Kan masih baru nih, film tahun 2020 ini, jadi nggak asyik juga kalau saya spoiler semuanya hahaha.
Review Film Jepang, 37 Seconds
Tapi sejujurnya saya nggak nyesal menghabiskan waktu 1 jam lebih sambil terkantuk-kantuk karena saya nontonnya pas mau bobok, hahaha.
Sejujurnya, film ini beneran bikin ngantuk, saking datarnya.
Eh bentar, memangnya ada film drama yang nggak datar?
Tapi, seperti biasa, hanya dalam menit ke 15 kayaknya deh, saya udah mulai menikmatinya, karena memang ini film yang nggak biasa, jarang-jarang saya nonton film dengan lakonnya cerebral palsy, diperankan oleh yang cerebral palsy beneran.
Yang nggak terlihat natural hanyalah suaranya, maklum saya belum pernah mendengar suara orang dengan cerebral palsy, di mana awalnya saya pikir, si Yuma ini anak usia belasan tahun, minimal SMP deh, secara suaranya kek anak kecil dong.
Film 37 Seconds ini ditulis maupun dibuat oleh Hikari, seorang penulis, sutradara, dan produser pemenang penghargaan dari Osaka, Jepang.
Keberhasilan film 37 Seconds ini juga tidak lepas dari piawai akting Mei Kayama, di mana dia terlahir prematur dan mengakibatkan cerebral palsy bawaan dan menjadi cacat fisik.
Oh ya, selain Mei Kayama, di film 37 Seconds ini juga berperan Yoshihiko Kumashino sebagai Mr. Kuma, pelanggan kesayangan Mai.
Btw, Mr Kuma juga seorang cerebral palsy, di mana pernah menemukan dan mengalami, bahwa kebutuhan dan hasrat seksual penyandang disabilitas ditolak dan diabaikan oleh dokter, pengasuh, dan bahkan pekerja industri seks.
Sejak saat itu, ia telah mengerahkan dirinya untuk meningkatkan kesadaran akan seksualitas penyandang disabilitas.
Iya juga ya, biar bagaimanapun penyandang disabilitas itu kan bertumbuh, dan juga bisa merasakan layaknya orang lainnya.
Dan untuk film yang meski datar tapi mengharukan ini, saya memberinya rating 4 dari 5 untuk film Jepang, 37 Seconds ini.
Makna Dan Pesan Film Jepang, 37 Seconds
Dan juga tentang semangat mengejar impian, di mana lebih terasa ngena banget, karena yang berjuang adalah orang-orang yang terlahir dengan kebutuhan khusus.
Di sisi lain juga ada sisi parenting, which is hal tersebut bermanfaat banget buat saya.
Dan beberapa makna dan pesan dari film 37 Seconds ini adalah:
1. Para penyandang disabilitas juga bertumbuh baik jasmani maupun rohani
Seperti yang dialami Yoshihiko Kumashino, di mana hasrat seksualnya diabaikan oleh semua orang, bahkan dokter.
Padahal ya para penyandang disabilitas juga terus bertumbuh, meskipun tidak sesempurna orang normal lainnya, baik tubuh maupun kondisi psikisnya pun ikutan bertumbuh, termasuk seksual.
Karenanya, hal-hal seperti ini sewajibnya menjadi sebuah edukasi menarik buat keluarga penderita disabilitas, maupun orang-orang umum, setidaknya mengerti, kalau penyandang disabilitas juga bisa dibilang normal secara seksual maupun kondisi lainnya.
2. Jepang paling ramah penyandang disabilitas
Saya pernah baca tulisannya Grace Melia, btw Grace punya Ubii yang juga menderita disabilitas.
Bahwa dia pengen tinggal di luar negeri, karena di Indonesia masih sangat sulit untuk membuat penyandang disabilitas bisa dengan aman dan nyaman bepergian sendirian.
Sangat berbeda dengan Jepang, di mana Yuma bahkan bisa keliling kota sendiri.
Baik kendaraan umum, maupun trotoar, bangunan dan segalanya sangat ramah disabilitas.
Kalau di Surabaya sendiri, saya sering liat kalau kotanya mulai memperhatikan keadaan tersebut, jadi baik bus maupun fasilitas-fasilitas yang diadakan, selalu memikirkan penyandang disabilitas juga.
3. Seperti apapun keadaan anak, mereka bukan milik ibunya sepenuhnya
Ini yang paling nampar nih buat saya.
Di mana, kadang saya terlalu keras memastikan anak-anak saya untuk selalu baik-baik saja, seolah tidak mau sedikitpun mereka mengalami sesuatu yang salah.
Saya lupa, kalau anak-anak itu bukan milik saya, mereka titipan, dan mereka memiliki dirinya sendiri.
Demikian juga dengan anak yang terlahir dengan kondisi berkebutuhan khusus.
Meski ibu melihat anak-anak disabilitas itu nggak bisa melakukan apapun sendirian, tapi sesungguhnya anak-anak disabilitas juga titipan-Nya, dan yakin Allah akan melindungi mereka juga.
Pun juga, seorang ibu sebijaknya lebih percaya akan kemampuan anak.
Percaya, seperti apapun tantangannya, anak-anak akan selalu bisa terus bertumbuh menikmati hidupnya dan mengejar asanya.
4. Jangan menyerah dan melupakan impian, apapun tantangannya
Yang paling berbekas di benak saya adalah, betapa perjuangan Yuma dalam menjadi seniman Manga tersebut adalah luar biasa.
Bukan hanya piawai menghasilkan manga terbaik, tapi juga semangatnya untuk bisa menerbitkan karyanya sendiri juga luar biasa.
Kita-kita yang lebih beruntung punya segala hal yang tidak dimiliki mereka kan harusnya lebih semangat, iya nggak?
Demikianlah, sinopsis lengkap, review serta makna dan pesan dari film Jepang, 37 Seconds.
Ada yang udah nonton?
Sidoarjo, 22 November 2020
Sumber : Film 37 Seconds
Gambar : 37secondsfilm.com
BalasHapusHallo mbak Rey, saya sangat senang membaca (opini) mbay Rey dalam tulisan ini. Terutama di bagian pesan refleksinya.
Ada dua hal yang menurut saya sangat menarik untuk saya komentari (di bagian pesan).
Pertama tentang semangat dalam mengejar impian (baca: cita - cita).
Sub judul "jangan menyerah dan melupakan impian, apapun tantangannya"
dan pada bagian kedua soal keistimewaan anak sebagai titipan ilahi. Dalam tulisan di atas, mbak Rey menyebutnya "seperti apapun keadaan anak, mereka bukan milik ibunya sepenuhnya. Bagian kedua ini ada dua hal penting yang bisa dijadikan bahan permenungan orang tua dan guru, yakni pada;
-Mereka memiliki dirinya sendiri.
-Percaya akan kemampuan anak.
Qonklusi:
Untuk kami yang di timur sana, bicara semangat dalam mengejar impian, apapun kondisinya; jadi semacam tuntutan wajib yang mesti dilaksanakan. Sebut saja George saa (Si penemu rumus Fisika tingkat dunia asal Papua). Sewaktu saya PPL di sekolahnya, dia tidak termasuk anak yang cerdas (pendapat pribadi saya sebagai guru PPL yang tidak memiliki banyak pengalaman *waktu itu), namun satu keistimewaan anak itu (George saa) adalah rajin membaca dan bertanya pada guru. Dia bukan berasal dari keluarga yang mampu, tetapi cita - citanya dulu, hanya ingin menjadi orang yang berguna untuk tanah Papua.
Berkat semangatnya yang luar biasa, kini ia 'duduk manis' di Amerika. Mendapat nobel dan terkenal karena fisika. Apakah dia memiliki semua hal hebat yang dimiliki oleh mereka yang kita sebut mampu? jawabannya tidak. Dia hanya memiliki semangat dan memiliki keinginan untuk menjadi berarti bagi tanah Papua. Jadi poinnya, sama seperti yang disampaikan oleh mbak Rey, jangan pernah menyerah untuk menggapai cita - cita. Hal yang tidak mungkin menjadi mungkin hanya dengan semangat, kerja keras dan doa.
Bagian kedua tentang
--Mereka memiliki dirinya sendiri--
Inilah yang saya pegang dalam profesi saya sebagai guru. Jangan paksakan anak menjadi apa pun. Biarkan dia berkembang dengan sendirinya. Tugas kita (guru dan orang tua) hanya mengarahkan anak untuk memilih jalannya sendiri dan menjelaskan untung ruginya (termasuk resiko dari memilih A atau B). Hidup, pengalaman, dan tingkat pendidikan yang dia (baca: anak) lalui akan membuat si anak mampu menentukan pilihan berdasarkan kata hatinya sendiri. Tugas kita hanya membimbing, mengarahkan dan mendoakan, bukan memaksa apalagi mengintimidasi anak hehehe..
--Percaya akan kemampuan anak--
Yes saya pernah lakukan ini dan saya pernah menjuarai lomba debat tingkat DKI (walau hanya juara dua) dengan cara mempercayai anak yang paling nakal di sekolah untuk mengikuti lomba debat. Bagian ini saya hanya mau bilang, setiap anak itu berharga, percaya kepada anak dan memberikan sugesti positif maka percayalah hal baik bisa terjadi. Saya sudah menulisnya dengan sangat manis hehe, tentang percaya pada anak.
Mbak Rey sorry panjang bangat komennya tapi topik ini (khususnya di bagian refleksi sangat menarik untuk dikomentari).
Tetap semnagat dan terus berkarya, jadi inspirasi buat anak - anak di rumah. salam @
Woowwwwww... Bapak Guru!
HapusMakasih banyak insight kerennya.
Jujur saya banyak dapat masukan dari sharing Bapak Guru nih.
Yang pertama tentang George Saa, wowwww, sungguh membanggakan, dan sungguh saya kudet baru tahu dong.
Juga mengenai modal semangat.
Jujur, biar kata sering menyuarakan semangat, kadang saya berpikir tentang privilege yang hanya dimiliki orang-orang tertentu yang jadi tiket kesuksesannya, misal si Maudy Ayunda :)
Dan keren banget Pak, jarang banget loh ada guru yang melihat kalau semua anak itu punya potensi, hanya saja semua berpedoman di angka :)
Semoga semakin banyak guru, yang punya pola pikir seperti Bapak Guru Martin :)
Berat Kak. 🤣
BalasHapusFilmnya berapa durasi Kak. Aku jadi pengen nonton ah. Tapi genrenya serius. 😢
Hiks, liat preview nya bagus banget.
hihihi ayo nonton, normal kok durasinya :D
HapusHalo Mba Reey~ akhirnya resmi main ke rumah Mba Rey setelah ketemu di rumahnya Mba Eno 😆
BalasHapusKali ini ga ragu baca sinopsis penuh spoiler karena aku udah nonton hehehe..
Ini bagus banget sih pesan filmnya, sepanjang nonton aku salut dan kagum banget sama keteguhan hatinya Yuma. Dari yang dia kabur dari rumah, nemuin ayahnya sampai nyari saudara kembarnya jauh-jauh ðŸ˜ðŸ˜
Dan aku setujuuu sama poin-poin yang Mba Rey ambil dari film ini. Terutama bagian anak adalah titipan. Duh walaupun aku sendiri ga ngalamin dikekang, tapi sering denger cerita teman-teman yang bahkan sampai urusan cita-cita pun diatur orang tuanya. Sedih dengernya.
Btw buat yang ga terbiasa nonton film/serial Jepang mungkin akan mudah bosan yaa karena alur yang lambat dan kadang memang film Jepang tuh suka ada aja adegan vulgar atau yang triggering jadi memang ga gampang dinikmati semua orang. Tapi aku seneeeng Mba Rey suka film ini huhu
Halo juga, :D
HapusHahaha, Eya udah sering nonton film Jepang ya? saya jarang sih, dulu pernah nonton dorama, dan memang iya ya, alurnya terlalu datar sih kalau menurut saya.
Nah iyaaa, adegan vulgarnya pun bikin risih minta ampun, hahaha
aku belum nonton
BalasHapusjadi inget film yang direview mba rey, yang cerita tentang nenek dan cucu itu, bukannya si nenek adalah tokoh masyarakat setempat yang diajak main film.
biasanya kalau "orang asli" nya yang main, filmnya terliat natural sekali
aku kok gregeten toh sama sayaka, teganya sikap dia kayak gitu, maunya menang sendiri ini mahh
nah iyaaa, si pemainnya ini hanya belajar akting hafalin dialog aja ya, karena mengenai keadaannya udah bisa dia sesuaikan :D
HapusOalaah di Netflix yaaa. Pantesan td nyari2 di viu tak ada. Aku beneran hrs install lagi nih Netflix. Filmnya jadi bagus2 hahahaha.
BalasHapusMenarik Rey... Jarang2 nonton ttg disabilitas gini. Td aku nonton trailernya lgs tertarik bgt mau nonton. Feel nya pasti dapet bgt secara pemainnya beneran cerebral palsy.
Tp memang sih Jepang itu bangeeet merhatiin semua kebutuhan warganya baik yg normal atopun spesial. Salut lah Ama mereka :). Ga takut utk ngelepas adik/anak kita yg spesial utk bisa mandiri kalo di Jepang.
Instaalll Mbaaa, buanyak banget film-film bagus.
HapusSelama pandemi ini, rasanya Netflix memborong banyak film bagus :D