Hari di mana, melihat jenazah bapak yang tidak kaku, bahkan hingga akan dimakamkan.
Paginya, saya ketiduran karena ngaji sampai pagi.
Namun mama menemukan satu vital sign yang berfungsi, yang bikin saya agak membaik.
Hari yang sama sekali nggak pernah kami duga, meski sejujurnya saya udah sedikit membayangkan sejak sebelumnya.
Hari ketika bapak meninggal dalam kondisi yang sama sekali nggak saya sangka, bahkan mengira bapak bercanda atau ngerjain saya dan mama (lagi).
Jadi ketika saya akhirnya bisa mudik untuk menjenguk bapak, di pikiran saya udah mulai ada setitik pemikiran, bahwa saya harus menyiapkan hati dengan kondisi bapak.
Sejak mendengar kabar, bahwa bapak nggak bisa makan lagi, saya udah berpikir, akankah bapak akan meninggalkan kami?
Meskipun, ketika masih belum ketemu, saya masih sangat sukar mempercayainya, karena.. plis deh, bapak itu jarang sakit, orangnya juga ceria dan nggak mudah kalah dengan sesuatu yang nggak bikin dia nyaman.
Hanya saja ketika sedang sakit, bapak memang sungguh sangat manja, ngalahin anak kecil.
Nantilah saya melihat kondisi beliau, secara diam-diam saya berdoa pada Allah, meminta agar diberikan yang terbaik buat bapak.
Jika memang bapak masih diberi kesempatan, semoga penyakitnya segera diangkat, namun jika memang sudah waktunya pulang, semoga dipermudah jalannya untuk itu.
Saking saya juga udah nggak tahan lihat kondisi bapak yang selalu kesakitan, sementara mama juga kadang nyebelin karena tak ada satupun yang bisa dia lakukan, lalu sedih juga liat mama kurang istrahat karena jagain bapak terus.
Hari-Hari Terakhir Bapak
Sudah hampir 2 minggu saya di Buton, keadaan bapak sama sekali nggak berubah.
Penyebabnya karena bapak sama sekali nggak bisa makan, tak ada satupun makanan yang bisa masuk ke perutnya, makanan apapun itu.
Alhasil selama itu, keseharian kami ya, siang masak sambil sesekali membujuk bapak mau makan apa, malam nggak bisa tidur nyenyak karena bapak minta dipijatin kakinya untuk mengurangi rasa sakit di bagian perutnya yang katanya menyiksa banget.
Sesekali, saya bangun untuk memijat kaki bapak sambil cemberut, lantaran mengingat keluhan mama yang katanya bapak udahlah sakit, tapi masih suka marahin mama.
Sesekali lagi saya hanya diam, ketika bapak curhat, kalau mama selalu bikin dia kesal, karena seringnya mama pura-pura nggak dengar dipanggil bapak, atau seringnya dimintai tolong ambilin air minum aja, mama muter dulu ngerjain yang lain, sampai setengah jam, air minumnya baru datang, hahaha.
Kasian juga sih Bapak, tapi mama juga nggak bisa disalahkan, karena bisa jadi mama lelah banget mengurus bapak, mengingat bapak sudah sakit selama berbulan-bulan.
Namun, karena mama seperti itu, tak jarang bapak jadi marah tertahan.
Maksudnya, mungkin karena bapak nggak enak marah langsung ke mama sementara ada saya di rumah.
Jadinya bapak mengekspresikan marahnya dalam tindakan yang merugikan dirinya sendiri.
Seperti suatu malam, bapak nggak tahan lagi dengan sakitnya, bapak meminta mama memanggil sahabatnya yang tinggal beberapa rumah dari rumah kami.
Mama yang sungkan membangunkan orang di tengah malam buta, akhirnya pergi juga sambil ngomel dan mengajak saya.
Ternyata sahabatnya itu juga sedang sakit, dan mama hanya pulang mengabari kalau sahabatnya sakit dan nggak bisa datang, lalu udah.
Bapak kesal, akhirnya dia sendiri yang bangun, berjalan terseok-seok ke jalanan, untuk membangunkan orang lain, untung saya terbangun, lalu mengejar bapak, sambil memakaikannya jaket, dan mengikuti maunya ke rumah orang.
Lalu setelahnya, bapak nyaris sesak nafas, saking dia jalan agak jauh sambil marah.
Pernah juga, suatu sore, bapak histeris mengatakan kalau dia sesak nafas.
Karuan saja saya panik nggak tahu diri.
Belum mandi, langsung kabur ke puskesmas yang ternyata nggak ada petugasnya meski bertuliskan 24 jam, petugasnya udah pada rebutan mudik karena mendekati lebaran.
Pada akhirnya, ketemu petugas yang lalu ditugaskan oleh kakak, untuk mengukur vital sign bapak, sebelum memasangkan alat pelega pernafasan.
Kenyataannya, bapak nggak ada masalah, tekanan darah normal, nafas lancar dan bersih, pun juga nadinya teratur.
Kenyataannya, bapak nggak ada masalah, tekanan darah normal, nafas lancar dan bersih, pun juga nadinya teratur.
Hadeh, entahlah bapak udah menderita psikosomatik, atau memang sengaja cari perhatian dengan bikin kami heboh.
Bapak memang selalu manja kalau sedang sakit, dan minta diperhatikan layaknya anak kecil sakit.
Saya rasa, hal ini terjadi karena inner child bapak, di mana ketika kecil bapak nggak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya.
Sehari Sebelum Bapak Berpulang
Sayangnya, akibat dari sikap bapak yang suka caper itu, kami jadi abai terhadap tanda-tanda bapak akan segera pergi.Jadi, ketika sore hari sekitar pukul 3 di tanggal 9 Mei 2021, bapak terbangun sambil ketakutan.
Bapak cerita ke mama, kalau dia kaget dan terbangun, karena ada sosok hitam besar yang menutup wajahnya dengan tangannya yang besar.
Mama juga dengan santainya bilang, mungkin saja itu malaikat yang datang menjemput.
Nggak disangka, jawaban asal mama itu, bikin bapak makin ketakutan dan gelisah minta ampun.
Bapak lalu nggak berani tidur sejak itu, maunya jalan kanan kiri sambil terseok-seok.
Bapak juga mulai mengoceh yang tidak-tidak.
Dari yang semacam iri sama mama, karena kalau bapak beneran pergi, mama bisa hidup dengan santai.
Sampai akhirnya, bapak mau beristigfar.
Saya juga kok ya nggak ngeh, bisa-bisanya bapak istigfar, padahal sebelumnya, kalau mama ingatin istigfar, bapak malah makin marah.
Bapak juga sempat memanggil saya, dan minta dukungan saya, agar dia bisa diobati secara intensif.
Sejujurnya ini ide saya sebelumnya, karena saya juga bingung, kok mama dan kakak nggak bawa bapak ke RS, biar diperiksa secara intensif?
Bahkan, saya nanya mama, mana laporan darah lengkapnya, katanya belum diperiksa darahnya secara lengkap, astagaaa....
Namun juga, ketika saya mengkomunikasikan ke kakak, katanya adalah sebuah resiko kalau bapak dirawat di RS, karena sekarang di RS Palagimata sedang renovasi, dan ruang rawat inap hanya sedikit, sehingga bisa dipastikan akan sekamar dengan pasien lain, dan terutama lagi sekarang lagi musim covid-19.
Saya akhirnya nggak bisa lagi mengargumenkan tentang bapak, karena selain saya juga nggak punya power dan duit, kakak dan mama memang jauh lebih ngerti karena mereka orang kesehatan.
Meski dalam lubuk hati, saya sedih.
Andai saya punya duit, akan saya bawa bapak ke RS swasta, hiks.
Bapak terlihat sangat kecewa, karena kami tidak bisa mengusahakan apapun.
Sementara bapak kayaknya ingin banget sembuh, dan dia takut banget mati, huhuhu.
Malamnya, keadaan bapak semakin parah, semalaman dia nggak membiarkan mama tidur, mama tawarkan agar saya yang pijatin kakinya, bapak menolak.
Dia hanya ingin ditemani mama.
Dan Akhirnya Bapak Pergi Tanpa Pamit
Saya terbangun di pukul 3 subuh, dan bertepatan dengan mama keluar dari kamar bapak dengan wajah yang sangat kuyu karena ngantuk semalaman nggak bisa tidur.
Mama bilang nggak mau ikutan sahur, karena merasa nggak sanggup lagi, pengen istrahat.
Saya akhirnya sahur berdua dengan Darrell, selepas sahur, saya mencoba membaca surat At-Taubah, disuruh mama.
Bapak tetap nggak bisa tidur, sebentar-sebentar memanggil mama.
Dan sedihnya, mama cuek, karena ngantuk.
Paginya, saya ketiduran karena ngaji sampai pagi.
Dan terbangun di pukul 8 pagi kalau nggak salah.
Ketika sedang ngelamun, saya mendengar mama memanggil saya.
Seketika saya cari mama, ternyata mama ada di kamar mandi, bersama bapak yang terduduk.
Saya yang udah terbiasa dengan sikap bapak yang suka caper, sempat berpikir bapak bercanda lagi.
Saya pikir cukup dengan memapahnya, kami bisa mengajak bapak kembali ke kamarnya.
Tapi ternyata bapak sama sekali nggak bisa berdiri, ya ampun.
Saya lalu mencari selimut, dengan harapan kami bisa mengangkat bapak dari kamar mandi, dengan menggunakan selimut tersebut.
Dan ternyata, astagaaaaa... tuh bapak ye, kurusnya minta ampun, tapi beratnyaaaaa minta ampun.
Pinggang saya auto kerasa sakit lagi karena memaksa mengangkat bapak.
Ada momen, ketika keluar dari pintu kamar mandi, mama nggak sanggup memegang selimutnya, sehingga kepala bapak jatuh dan saya udah histeris lihatnya, eh bapak dong masih sempat refleks menahan kepalanya, hingga nggak jatuh kejedot dengan keras.
Seketika saya pengen cubit bapak rasanya.
Karena saya merasa bapak bercanda dan ngerjain kami.
Atuh mah tega amat si bapak, pikir saya.
Kami ini perempuan loh, kalau bapak beneran lemas, kok bisa sempat refleks kayak gitu?
Karena nggak sanggup lagi, dan mengingat sakitnya saraf terjepit yang pernah saya alami, dan saya nggak mau itu kambuh lagi, saya kemudian lari keluar rumah, mencari orang yang bisa membantu angkat bapak.
Melihat saya lari-lari nggak karuan, orang-orang dengar segera datang membantu, Alhamdulillah bapak bisa diangkat dan dibaringkan di tempat tidur bagian luar, biar lebih mudah diperiksa petugas kesehatan.
Para petugas kesehatan termasuk dokter dari puskesmas pun datang, dan ternyata mama meminta mereka untuk memasangkan infus, karena bapak udah lemas banget.
Bapak masih senyum-senyum saja, dan sesekali mengajak ngobrol dan bercanda dengan orang-orang yang datang, meski dia mengeluh karena keadaan jadi gelap.
Lagi-lagi saya pikir bapak bercanda dan mengada-ngada, demikian juga teman-temannya yang ada.
Semua pikir bapak bercanda dan asal ngomong.
Namun mama bercelutuk, bahwa bapak udah mulai aneh ngomongnya.
Semalaman bapak ajak mama ngobrol, bertanya mengapa adik saya yang udah meninggal datang lagi.
Terus, paginya sebelum bapak jatuh lemas di kamar mandi, bapak bangun sendiri, dan meminta mama menyiapkan celana dan bajunya, katanya dia mau pergi kerja.
Meski dalam hati saya mulai ketakutan, tapi rasa itu ketutup dengan sikap bapak yang suka bercanda, suka ngerjain orang pula, hiks.
Setelah petugas puskesmas selesai pasang infus, bapak marah.
Dia nggak suka dipasangin infus, karena tangannya sakit.
Akhirnya kami membujuknya, agar bapak bersabar sampai terisi 2 botol infus, lalu infusnya akan dilepas.
Bapak akhirnya terdiam, meski tetap menggerutu kesal dan mengatakan, bahwa kami orang sehat selalu nggak peduli dengan perasaan orang sakit, nggak pakai nanya langsung masang infus.
Hiks.
Seorang petugas puskesmas akhirnya menemani bapak terus, sekalian menanti 2 botol infus habis dan melepas infus tersebut.
Si petugas tersebut, saya lupa namanya, mengajak bapak ngobrol, dengan mengatakan kalau bapak terpaksa harus diinfus, karena bapak lemas nggak mau makan.
Bapak kayaknya kesal dengar ucapan itu, dan manggil saya minta disuapin bubur yang banyak.
Ya Allah, sungguh saya masih ingat bagaimana bapak membuka mulutnya lebar-lebar, dan memaksa saya menyuapinya bubur, padahal... bapak itu sama kayak saya, kami benci disuapin orang lain.
Bapak terus meminta disuapin, meski bubur itu keluar lagi dan mengotori badannya, karena memang sama sekali nggak bisa melewati tenggorokannya, huhuhu.
Untungnya, petugas puskesmas itu akhirnya pamit untuk pulang, setelah nggak ada orang, bapak minta dipapah untuk bangun.
Saya memanggil mama yang sedang di dapur, untuk menahan bapak yang mau bangun dan mau jalan, padahal kondisinya lemah banget.
Bapak mengeluh, nggak suka tidur di kasur tersebut, karena kasur itu empuk, dan badannya jadi tenggelam.
Akhirnya kami memapahnya, mengikuti maunya.
Ternyata bapak minta duduk di kursi dekat tempat tidur tersebut.
Setelah bapak duduk, mama menyuruh saya menjaga bapak, karena mama ingin mandi.
Tapi, saya khawatir banget, karena melihat mata bapak yang bukan hanya kuning (btw tubuh dan matanya mulai menguning sejak 2 hari sebelum meninggal), tapi sudah hijau.
Bapak terduduk di kursi lalu terdiam.
Posisinya makin lama condong ke depan, seperti hendak jatuh.
Saya yang trauma dengan bapak jatuh lemas di kamar mandi segera memanggil mama.
Kami memanggil-manggil bapak, tapi bapak diam saja, dan air liurnya jatuh ketika condong ke depan.
Itu bukan hal yang biasa, mengingat bapak adalah seorang yang jijikan, sesakit apapun dia, tak akan mau dia jorok-jorok.
Jadi, bapak nggak pernah ngeludah sembarangan, apalagi buang air sembarang.
Saya mulai ketakutan, tapi di sudut hati lain, saya nggak mau dikerjain lagi.
Seketika mengingat perkataan kakak, kalau bapak sesak nafas coba cari dan ukur vital sign-nya.
Segera saya ambil steteskop, dan mulai mencari nadinya.
Tapi, setengah mati saya cari, di tangan, di pergelangan, saya sama sekali nggak bisa menemukan nadinya.
Dalam panik saya bertanya ke mama, apakah orang tua memang susah dicari nadinya?
Bahkan di dadanya saya nggak mendengar ada bunyi detakan kayak biasa di orang normal.
Mama ikutan nyari, dan mamapun nggak menemukannya, sampai mama mengetuk keras permukaan steteskopnya, yang sukses bikin kuping saya nyaris budek.
Alatnya berfungsi, tapi kenapa nggak bisa menemukan denyut apapun di tubuh bapak?
Namun mama menemukan satu vital sign yang berfungsi, yang bikin saya agak membaik.
Yaitu jantung di dada bapak terlihat berdetak, meski jujur saya nggak bisa dengar, tapi gerakan halusnya masih terlihat.
Kami tetap memanggil-manggil bapak.
Tapi bapak nggak ada respon.
Sampai akhirnya saya ingat, kalau ada satu hal yang tak bisa ditahan oleh orang yang berpura-pura mau ngerjain orang kayak bapak.
Yaitu pupil.
Seketika saya mengambil HP dan menyalakan senternya, lalu mengarahkan ke mata bapak.
Deg, ya Allah...
Nggak ada respon sama sekali, ya Allah.
Barulah mama bersuara,
"Ini gawat, cepat panggil dokter!"
Nyaris terbang rasanya saya di tangga, lari sekencangnya ke puskesmas.
Untungnya kok masih ada beberapa petugas di puskesmas, dan mereka pun terkejut, karena sebelumnya bapak terlihat masih baik-baik saja.
Untungnya juga dokter bisa datang, dan mulai memeriksa.
Saya memegang kepala bapak, agar kepalanya tidak kejedot bantalan kursi yang keras dan tajam.
Sambil ketakutan melihat bapak diam aja, dengan nafasnya yang panjang-panjang.
Saat menarik nafas panjang itu, saya harap-harap cemas, agar nafasnya tetap ada.
Sampai akhirnya pengharapan saya sia-sia, tarikan nafas bapak udah nggak lagi terlihat.
Saya bingung, hanya mama yang sempat membisikan syahadat.
Dokter yang saya tanya apakah bapak baik-baik aja atau koma, malah nggak menjawab sama sekali.
Dokter hanya meminta bapak dibaringkan di kasur, dan meminta izin pada saya diadakan tindakan entah apa namanya, yang memompa bagian dadanya.
Saya hanya meneteskan air mata dan berkata lakukan apapun untuk bisa menolong.
Saya nggak hitung, berapa kali dokter memompa dada bapak.
Yang jelas agak lama dan berkali-kali.
Bahkan ketika dokter mengatakan kalau semua vitalnya udah berhenti, dokter tetap berusaha, karena melihat masih ada sedikit tanda kehidupan dari pupilnya.
Ya Allah, teriris banget mengetahui kenyataan tersebut.
Betapa bapak takut nggak mau pergi dulu.
Betapa bapak masih mau berjuang untuk hidup.
Sampai-sampai, ketika semua organ berhenti bekerja, masih ada tanda semangat ingin hidup dari matanya, huhuhu.
Saya pikir, bapak takut pergi, karena dia sadar betapa dia belum punya bekal untuk kembali.
Tapi apa daya, ketika ujung waktu kita habis, tak ada satupun yang bisa membantu kita untuk bertahan di dunia ini.
Bapak meninggal di hari Senin, 10 Mei 2021 pukul 13.20 siang.
Menghembuskan nafas terakhir sambil duduk di kursi, dengan kepalanya berada di tangan saya.
Dan meski sakit dan sedih terasa menyesakan, saya bersyukur, bapak pulang di bulan yang sangat baik, di bulan Ramadan yang penuh dengan pengampunan.
Masha Allah.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa bapak, dan memaafkan semua kesalahannya dan menerangi kuburnya, aamiin.
Kepergian Bapak Yang Lancar dan Jenazah Yang Tidak Kaku Hingga Dimakamkan
Meskipun bapak meninggal di hari masih terbilang siang, tapi bapak baru bisa dimakamkan keesokan harinya.
Berbeda dengan di daerah lain, di Buton memang seringnya agak lama proses pemakamannya, karena banyak banget aturan adatnya, plus juga para petugas gali kubur nggak ada yang kayak di daerah lain.
Bapak baru bisa di makamkan tanggal 11 Mei sekitar pukul 1 siang.
Namun, lagi-lagi saya takjub dan bersyukur dalam sedih, betapa sungguh nasib bapak itu baik menurut saya.
Sudahlah sepanjang hidupnya di mata kami, bapak bukan sosok yang baik, apalagi alim.
Tapi meninggalnya diberikan kesempatan dengan mudah.
Entahlah, mungkin karena bapak udah menebus semua kesalahannya di masa hidup dengan sakit selama berbulan-bulan kali ya.
Sehingga bapak bisa pergi dengan mudah dan prosesnya sangat cepat, hanya dalam beberapa tarikan nafas panjang yang sama sekali nggak kesulitan untuk itu.
Bukan hanya itu, semua hal yang kami lakukan dan persiapkan setelah bapak meninggal, Alhamdulillah diberi kelancaran tanpa drama.
Mulai dari kakak saya bisa sekalian pesan nisan.
Dan semua hal di rumah lancar.
Air yang biasanya sering nggak ngalir di siang hari, ketika itu ngalir dengan lancar, sehingga nggak ada drama kekurangan air sama sekali.
Bukan hanya itu, PLN yang hampir tiap hari doyan banget matiin lampu, selama bapak meninggal, sampai dimakamkan, sama sekali nggak ada yang namanya mati lampu.
Demikian pula cuaca, yang sebelumnya hujaaannn melulu, dari sejak bapak meninggal sampai dimakamkan, cuaca begitu cerah, sehingga kegiatan pemakaman berlangsung lancar, dan para pelayat pun banyak berdatangan.
Alhamdulillah.
Namun, ada sebuah hal yang kurang umum terjadi, yaitu kondisi jenazah bapak, yang sampai dimakamkan pun, sama sekali nggak kaku.
Hal itu kami sadari ketika tengah malam ketika jenazah bapak masih disemayamkan di ruangan tengah.
Tempat tidur yang dijadikan tempat jenazah bapak itu ingin digantikan spreinya oleh kakak.
Saya sebenarnya melarang, membayangkan kami para wanita mengangkat jenazah demi ganti sprei.
Tapi saya lupa, kakak dan mama saya kan perawat, jadi lihat dalam mengganti sprei meski ada orang di tempat tidur.
Setelah sprei diganti, saya agak shock, karena wajah bapak kenapa jadi berubah?
Wajah yang awalnya tenang, mulut tertutup, pipi masih sedikit berisi, entah kenapa pipinya jadi turun?
Barulah mama bilang, kalau jenazah bapak ternyata nggak biasa.
Karena sudah beberapa jam setelah meninggal, dan jelazahnya masih lunak dong, ya Allah, Subhanallah.
Jadinya, wajah bapak bisa diperbaiki dengan mudah, mulutnya bisa dibuat tertutup rapat dengan mimik yang tenang.
Subhanallah, betapa hal yang hanya Allah tahu apa penyebabnya.
Keajaiban itu terus terjadi, sampai akhirnya keesokan harinya, bapak udah harus dimandikan untuk dikafani.
ketika diangkat orang-orang, subhanallah, lagi-lagi kami semua takjub.
Itu bukan kayak jenazah umumnya.
Jenazah bapak, kayak orang tidur ya Allah.
Satu-satunya yang bikin kami sadar kalau bapak udah nggak ada adalah, suhunya yang udah semakin dingin.
Tapi lainnya, bahkan ketika diangkat, tangannya jatuh, kepalanya jadi miring ke kanan ke kiri.
Semua orang yang memandikan pun berkata, bahwa jenazah bapak memang ajaib, karena mereka seperti sedang memandikan orang tidur yang dingin.
Ketika terakhir berpamitan, sebelum wajahnya ditutup kain kafan, wajah bapak jadi menoleh, saking mama terlalu sedih melepaskan bapak dengan menciumnya terakhir kalinya.
Subhannallah...
Ketika saya balik ke Surabaya, saya penasaran dan mencari tahu apakah ada artikel yang bisa menjelaskan kejadian yang nggak umum seperti itu.
Tapi saya tidak menemukan penjelasannya.
Saya hanya menemukan artikel tentang kematian Olga Syahputra, di mana menurut berita tersebut, jenazah Olga juga sama, sampai mau dimakamkan, jenazahnya nggak kaku, tetap lunak bagaikan orang tidur.
Saya sempat mendengar pembicaraan mama, menurut mama, dulu ketika kecil, mama sempat mendengar berita yang sama, ketika salah seorang kerabat bapak meninggal dunia, katanya jenazahnya pun nggak kaku kayak bapak.
Mama beranggapan, mungkin saja itu keturunan dari kerabatnya tersebut.
Namun setelah membaca berita Olga, saya jadi menemukan satu kesamaan antara bapak dan Olga.
Yaitu, keduanya sama-sama humoris, dan paling suka bikin orang lain ketawa.
Iya, tanyalah kepada semua orang yang mengenal bapak, betapa bapak terkenal karena sikapnya yang suka ngelucu, bahkan sampai melakukan hal konyol demi suasana penuh ketawa.
Saya masih ingat ketika masih kecil dulu, bapak bahkan sering pakai baju mama, buat ngelucu di rumah saudaranya, ketika ada acara.
Sampai-sampai, mau ada acara apapun, acara nikahan kek, acara kedukaan kek, kalau udah ada bapak, dijamin nggak bakal ada yang ingat nangis.
Semasa hidupnya pun, biar kata bapak itu galaknya minta ampun, suka mukulin kami waktu kecil dulu, tapi dibalik itu bapak memang sosok yang humoris.
Bapak paling suka kalau kami makan selalu bareng-bareng, harus saling nunggu.
Bapak pernah bilang, kalau makan itu harus bareng, biar terasa kebersamaannya, pun juga menurut orang-orang tua zaman dulu, makan bersama akan membuat kita selalu akan ngumpul di akhir hidup kita.
Saya jadi mikir, mungkin saja itu benar ya, bayangin, saya udah bertahun-tahun nggak pernah ketemu bapak, nggak pernah pulang.
Ternyata, di ujung usia bapak, malah beliau meninggal di tangan saya.
Masih teringat juga, bagaimana bapak selalu bikin acara makan kita jadi hampir keselak karena kelucuannya, di mana kalau lagi makan cumi, setelah kami semua selesai, bapak malah sibuk mainan kuah cumi yang hitam banget, buat bikin mukanya belepotan, lalu kami tertawa terpingkal-pingkal bersama.
Sejujurnya saya masih kangen.
Masih banyak yang ingin saya lakukan buat bapak.
Tapi takdir telah memisahkan kita.
Semoga nanti, kita bisa bertemu kembali di sana ya Pak.
Tungguin ya Pak.
Semoga kita berjumpanya di Surga ya Pak, aamiin.
Sidoarjo, 19 Juni 2021
Mengenang 40 hari bapak berpulang
Al-Fatihah buat Bapak 🙏🏾🙏🏾🙏🏾
BalasHapusInnalilahi wa inailaihi rojiun, turut berdukacita atas meninggalnya bapak mbak Rey, semoga almarhum mendapatkan tempat yang baik di alam kubur, amin.
BalasHapusBerasa banget sedihnya baca ini. Krn biar gimana yg meninggal ortu sendiri ya ... :(. Semoga bapak diampuni semua kesalahan dan ditempatkan yg terbaik ya Rey. Tp dari ceritamu, aku kepikir, apa semua yg mau meninggal bakal melihat hal macam2 yaa? Seperti lihat sodaranya yg sudah duluan meninggal, liat makhluk ntah apa itu. Krn papa mertuaku pas mau meninggal juga begitu. Dia banyak meracau macem2 dan bilang ada orang2 di depannya. Padahal kami ya ga ngeliat apa2. Makanya kalo ada orang sakit yg meracau gitu, apalagi bilang melihat macem2, aku merinding, Krn kok kayak tanda2 mau berpulang :(.
BalasHapussend virtual hug to mba reyyy
BalasHapussemoga Bapak diberikan tempat terbaik disisi-Nya