Tapi jujur ya, kadang saya merasa, ritual adat istiadat, terutama yang bercampur dengan agama, terasa merepotkan bahkan memberatkan.
Seperti ritual adat istiadat di Buton, pada saat ada kematian.
Saya rasa, adat istiadat tersebut malah memalingkan kita dari hal yang wajib kita lakukan ketika ada kedukaan, misal shalawat, mengaji, berdoa dan sebagainya.
Seperti ketika bapak meninggal bulan lalu.
Alhamdulillahnya, semuanya lancar dan minim drama.
Orang-orang berbondong datang membantu ini itu, sehingga hal-hal yang diwajibkan dalam adat, belum terasa memberatkan kami yang sedang berduka.
Misal, harus ada kain khusus yang dibentangkan di dinding, yang melambangkan bahwa sedang berduka.
Kain tersebut, tanpa sibuk saya cari buat minjam (ye kan, manalah kami punya benda seperti itu), datang dibawa tetangga, dan langsung dipasang di dinding, dan sukses menutup akses ke pintu beberapa kamar, hahaha.
Itu, hanyalah sebagian kecil hal yang diwajibkan dalam adat istiadat Buton.
Yang sebenarnya menurut saya, nggak ada dalam ajaran Islam.
Saya hanya membayangkan, bagaimana jika yang meninggal orang nggak berpunya, atau mampu secara ekonomi, dan mereka diharuskan menyewa kain itu?
Duh pastinya memberatkan banget jadinya kan?
Dan masih banyak hal lain, sebagai ritual adat istiadat yang memberatkan dalam suasana kedukaan, menurut saya, antara lain:
1. Harus punya stock sarung Buton yang banyak
Saya nggak tahu ya di daerah lain, tapi di Buton, jenazah harus ditutupi sarung Buton. Jenazah dimandikan pertama kalinya harus pake sarung Buton.
Yang mandiin wajib pake sarung Buton, yang ngaji sebisa mungkin pakai sarung Buton.
Kayak gini sarung Butonnya, sarungnya ya, ga usah gagal fokus Ama si mamak 😅 |
Waktu bapak meninggal, semua stock sarung Buton mama di semua lemari, habis keluar dan menyisakan segunung sarung kotor, hahaha.
Beruntung, mama punya banyak sarung Buton, hal itu sebenarnya didasari mama untuk bekalnya jika berpulang, katanya.
Siapa nyana, malah bapak yang pergunakan duluan.
Mama berkaca dari repotnya saat adik saya meninggal 20 tahunan lalu, di mana waktu itu kami belum punya sarung Buton, jadilah kami harus ke sana ke mari buat minjam ke tetangga maupun keluarga.
2. Prosesi pemakaman yang lumayan ribet
Selepas bapak dimakamkan, kakak ipar saya, yang merupakan wakil keluarga kami. Karena bapak cuman punya 2 anak perempuan, bercerita bahwa betapa pusingnya dia mengawasi penggalian makam dikarenakan syarat-syarat yang lumayan memusingkan.
Bahkan untuk sekadar membuat tandu buat mengangkat jenazah.
Karena daerah ortu memang nggak ada fasilitas tandu jenazah, jadi setiap jenazah dibuatin tandu dari bambu.
Masalahnya adalah, para petuah daerah melarang untuk pakai bambu sembarangan, yang harus di ambil dari arah mata angin yang berlawanan lah.
Kakak ipar saya stres dengarnya, hahaha.
Karena kesal, takut jenazah telat dimakamkan, akhirnya kakak ipar minta ambilpin bambu sembarang aja, nanti salahnya kena dia aja, hahaha.
Selain ribet, pun juga terasa aneh dan lucu buat saya khususnya.
Misalnya, ketika jenazah diangkat ke makam.
Saya sering melihat di Jawa, orang-orang yang mengangkat jenazah, berjalan bagai dikejar setan, alias cepat banget.
Dan yang mengantar jenazah akan mengiringi dengan berbagai shalawat.
Di sana?
Saya dong disuruh jalan di belakang orang yang angkat jenazah, sambil bawa beras di piring, bersama telur.
Beras itu wajib saya lemparin ke keranda jenazah sepanjang perjalanan sampai ke makam.
Awalnya saya khawatir nggak bisa mengejar langkah orang-orang yang mengusung keranda jenazah.
Eh nyatanya mereka jalan dengan santai, hahaha.
Beras tersebut harus saya lemparkan bahkan sampai jenazah dimasukan ke liang lahat, lalu kemudian piring dan telurnya disimpan di atas gundukan tanah makam.
2 hari kemudian, mama kesal liat telur tersebut,langsung dibuang deh, hahaha.
3. Prosesi Tahlilan yang merepotkan
Saya nggak tahu juga kalau di tempat lain, tapi kalau di Buton, selepas jenazah dimakamkan, maka selama 7 hari wajib diadain tahlilan.
Tahlilannya sih saya nggak masalah, meski banyak yang masih berdebat masalah itu.
Cuman yang bikin masalah adalah....
Setiap tahlilan itu, kita wajib menyediakan makanan dalam talang yang isinya khusus.
Harus ada onde-onde (yang jenis Klepon, kebayang kan tiap hari wajib bikin klepon).
Harus ada Wajik (ini sih masih bisa bikin banyak lalu bisa digunakan selama 3 harian).
Harus ada pisang goreng yang digoreng utuh (wajib goreng pisang tiap hari dong).
Harus ada ubi goreng.
Harus ada kue baruasa dan bolu (kue ini sih awet, bisa tahan lama dan bisa beli aja)
Harus ada lauk ayam yang dimasak khas Buton, yaitu ayam kampung yang potongannya pun harus khusus, dimasak pakai daun yang kecut plus dikasih santan, duh ya ribet amat, hahaha.
Dan beberapa jenis makanan yang saya udah lupa jenisnya, hahaha.
Semua jenis makanan itu, wajib ditaruh dalam sebuah piring kecil, di mana satu macam harus pakai 1 piring, dan juga ditata letak dan jumlahnya.
Lalu piring-piring kecil itu, diletakan di sebuah talang atau nampan yang bulat dan terbuat dari besi.
Astagaaaa, hal ini nih yang bikin kakak saya kesal sama saya, karena saya memilih kabur ketimbang mengurus hal itu.
Ya gimana ye.
Saya udah ngasih ide, agar nggak perlu tiap hari menyediakan hal itu, terlebih saat itu orang yang datang membacakan tahlilan adalah orang Jawa, jadi dia nggak terlalu masalah dengan semua adat istiadat Buton.
Itu baru tiap malamnya sampai malam ke-7nya.
Nah di malam tahlilan khusus, seperti 3 malam, 7 malam, 40 malam dan lainnya itu, lebih heboh lagi rempongnya.
Tantangan banget buat saya yang nggak suka kegiatan dapur.
Ritual tahlilan yang wajib ada ini itunya tersebut, bukan hanya berlaku untuk malam tahlilan saja, di Buton juga diberlakukan untuk ritual keagamaan, seperti Maulid, Ramadan, Lebaran.
Kalau di Jawa namanya banca'an, tapi setidaknya di Jawa nggak terlalu ribet kayak itu, hahaha.
4. Ada larangan maupun ritual yang merepotkan lainnya
Salah satu ritual larangan yang sama sekali nggak masuk akal buat saya, dan sama sekali nggak kami ikuti lagi ketika bapak meninggal kemaren adalah, adanya larangan untuk bebersih selama 7 hari kematian.
Ini pernah kami ikuti ketika adik saya meninggal dulu.
Selama 7 hari, kami nggak boleh mandi, nggak boleh menyapu dan membuang kotoran dalam rumah ke luar.
Semuanya hanya boleh dilakukan setelah pelepasan 7 harinya.
Ya ampooonn, masih ingat banget deh, dulu ketika adik meninggal, saya hanya bisa cuci muka aja.
Trus menyapu dalam rumah, tapi sampahnya ditaruh di pinggiran dinding aja.
Tapi hal itu nggak kami lakukan ketika bapak meninggal, off course saya mandi, bahkan sebelum mengantar bapak ke makam.
Ya kali saya nggak mandi, orang gerahnya minta ampun, mana lagi musim Covid-19, sementara banyak orang yang datang ke rumah.
Bahkan selepas bapak dimakamkan, malamnya kami langsung gotong royong bertiga membersihkan segalanya.
Saya cuci piring segunung, kakak cuci pakaian kotor segunung.
Meskipun demikian, mama terpaksa menuruti perkataan para tetuah adat, yang mengatakan harus ada ritual mandi dan menggunting rambut serta menghanyutkan salah satu pakaian almarhum di sungai.
Begitulah, saya dan mama aja yang pergi ke sungai, lalu terkikik-kikik disiram air sungai yang dingin, hahahaha.
Setelah semua prosesi yang melelahkan itu, saya bertanya kepada mama.
Bagaimana seandainya ada orang yang meninggal, tapi dia bukan orang yang mampu.
Jangankan mau nyiapin segala perlengkapan tetek bengek itu, bahkan untuk membeli kain kafan aja mungkin sulit?
Mama juga bingung menjawabnya, hahaha.
Demikianlah, sebenarnya ritual-ritual itu bagus juga buat dilestarikan, terlepas dari jangan sampai bertentangan dengan agama Islam (bagi muslim).
Namun, jika ritual itu memberatkan banget, saya rasa sangat tidak bijak harus diikuti dengan sempurna.
Karena sejatinya, saat ada kedukaan, yang dibutuhkan almarhum/ah adalah doa orang yang masih hidup.
Sementara yang dibutuhkan keluarga yang ditinggalkan adalah penghiburan untuk diringankan bebannya.
Bukannya nambah beban dengan segala macam ritual adat yang kadang merepotkan itu.
How about you, Temans?
Sidoarjo, 20 Juni 2021
Sepertinya agak sama dengan dengan di Jawa yaitu harus ada tahlilan selama 7 hari, nanti hari ke 40, ke 100 dan juga satu tahun meninggalnya.
BalasHapusMemang yang jadi pikiran itu bagaimana kalo orang yang tidak punya, apakah ia bisa bikin makanan untuk orang yang tahlilan. Memang sih kadang kalo ada orang meninggal, tetangga pada berbondong-bondong datang bawa beras, kopi, mie, dan lainnya. Kadang ada juga uang dari warga yang dikumpulkan.
Ini yang kadang jadi perdebatan di sosmed, ada orang yang meninggal tapi kenapa malah disusahkan. Yang ini mengaku benar, yang ini juga benar.
Iya, yang jadi masalah itu kalau ngerepotin, bahkan sampai ga fokus berdoa buat almarhum, sibuk masak terooosss hahahaha
HapusWah baru tahu ada adat seperti ini, semoga terus lestari bagi yg mampu. Namun bila belum mampu, mending apa adanya saja ya mba tidak usah dipaksakan apalagi jika sampe memberatkan keluarga
BalasHapusBener banget, di sisi lain memang sejujurnya udah jarang anak muda yang ingat aturan adatnya, tapi di sisi lain juga ngerepotin juga :D
Hapuskalau disini, alhamdulilah, nggak aneh aneh sih mbak.
BalasHapusBagus gitu ya, nggak merepotkan keluarga yang berduka
HapusKalan ditempat ku gak terlalu ribet tapi yang ribet malah acara adat waktu pernikahan
BalasHapuslebih bagus nikah sederhana di KUA, kayak Suhay Salim..
HapusHahaha, di Buton juga ribet pas nikah :D
HapusAku bersyukur keluargaku lumayan fanatik Ama agama, sehingga segala sesuatu yg tidak ada dlm ajaran Islam, papa anti utk ikutin. Dia ngelarang kami utk tabur bunga, takjiah sampe 7 hari ga perlu, ga ush acara 7 harian, 40 harian 100 harian dan 1000 harian. Papa bilang ga perlu lakuin itu Krn dlm Islam ga ada. Ga perlu juga ninggiin kuburan. Cukup pake nisan sederhana.papa cuma minta, anak2nya tlg doakan selesai solat Krn cuma doa dr anak yg masih akan tetep sampai. Aku sih happy, Krn JD simple :).
BalasHapusTapi suamiku yg orang Jawa, masih sangat memegang adat. Acara 7,40,100,1000 harian selalu ada. Aku mau protes juga ga bisa, Krn itu udh kebiasaan mereka. Ya sudahlaah. Tp yg pasti, aku sendiri ga akan mau nyusahin gitu sih. Sama kayak cara papa ku, ga perlu adat2 yg bukan dlm ajaran Islam dilakuin. Cukup anakku mendoakan selesai solat ya.
Nah iya Mba, emang harusnya gitu ya, biar nggak ngerepotin
Hapusdi Buton masih kental banget ya mba rey, ada sarung khususnya juga
BalasHapusdi keluargaku sendiri ada 2 "aliran", ada yang menggelar tahlilan selama 7 hari terus ada juga selamatan yang 40 hari, 100 hari dsb
kalau aku sendiri, nggak pernah ada yang begituan, jadi waktu almarhum bapakku nggak ada acara selamatan selamatan
sama kayak yang dibilang mbak Fanny, doa anak yang terus dikirimkan untuk orangtua
Benerrrr, yang paling penting itu, doa buat almarhum :(
HapusKalau di agamaku sebenarnya ga wajib sih ada 7, 40, 100, 1000 gitu, cuma karna itu tradisi orang Jawa yang sudah turun menurun, jadi kalau ga dilaksanakan rasanya aneh aja, jadi kaya udah jadi suatu keharusan.
BalasHapusKalau ritual pas meninggal sih Puji Tuhan bgt keluargaku ga ngikutin adat yg aneh, jadi ya dimakamkan sewajarnya tanpa adat, yg penting didoakan sesuai tata acara agama kami aja.
Wah, yang bukan Islam juga ada ya say? kirain cuman Islam dan adat
HapusMba Rey, semoga Mba Rey dan keluarga selalu diberikan ketabahan atas berpulangnya bapak yaaa..
BalasHapusKlo masalah adat istiadat ini, memang susah sih buat diubah. Apalagi kalau orang2 disekeliling masih sangat menganut keras adat2 itu. Padahal klo dipikir2, ga semuanya juga sejalan dg agama yaa..
Aamiin, tengkiu say
Hapus