Hari raya Idul Adha 1443H kali ini, insha Allah kami lewati bertiga dengan bahagia dan penuh syukur, karena Alhamdulillah kami bertiga sehat, dan mau berbagi cerita dalam Sharing By Rey.
Kalau ngomongin lebaran Idul Adha di masa kecil, yang masih teringat tuh ketika sudah tinggal di Buton, karena kami pulang ke Buton dari Minahasa, ketika usia saya sudah 5 tahun.
Biar lebih mudah ingatnya, saya tuliskan satu persatu, kenangan indah masa kecil tentang lebaran Idul Adha, seperti ini:
1. Persiapan Lebaran Idul Adha Sama Hectic-nya Dengan Lebaran Idul Fitri
Bagi masyarakat Buton, Lebaran Idul Adha tuh sama meriahnya dengan lebaran Idul Fitri, jadi persiapan masyarakat dalam menyambutnya, juga nggak kalah ramai dan meriah layaknya Idul Fitri.
Persiapan-persiapan yang seperti bikin kue lebaran (orang Buton dulu nyebutnya kue kering), kayak semprit, nastar dan lainnya, juga sudah dilakukan banyak orang menjelang 5-3 hari sebelum lebaran.
Waktu saya kecil, sangat jarang menemukan orang Buton lebaran nyediain kue kaleng toko, rata-rata pasti bikin kue sendiri, atau beli kue bikinan.
Kuenya sendiri, terdiri dari kue jenis cookies, sampai kue tolban (bolu panggang).
Tidak ketinggalan kacang sembunyi (kacang yang dibungkus adonan kue lalu digoreng dan disangrai pakai gula), kacang telur hingga kalo-kalo (sejenis adonan terigu yang di cetak tipis dan kotak kecil, lalu dibentuk kayak bungkus kacang sembunyi, dan digoreng).
Tak lupa juga bikin tape beras merah atau hitam, saya lupa sih berapa hari tuh dibuat duluan, agar pas lebaran udah bisa dimakan.
Menjelang 3-2 hari sebelum lebaran, orang-orang akan ramai mencari janur (daun kelapa muda) untuk bikin bungkus lapa-lapa (di Jawa sebutnya lepet, tapi di Buton isinya beras ketan putih atau merah, atau juga hitam).
Oh ya di Buton, amat sangat jarang ada yang bikin ketupat, karena udah diganti lapa-lapa.
Tak lupa juga daun pisang muda, buat bungkusan dalam lapa-lapa serta buat bungkus buras (kayak lontong, tapi isinya beras yang dicetak agak pipih, dibungkus daun pisang dan diikat agar bungkusan nggak terbuka ketika direbus.
Untuk lauk, orang-orang kebanyakan potong ayam kampung, dulu tuh di Buton, belum ada yang jual ayam potong, lauk keseharian ya ikan laut.
Ayam kampung, hanya dinikmati ketika lebaran atau ada acara, saking jarang dan mahal.
Gara-gara itu, awal ke Surabaya saya menderita.
Karena saya kurang suka ayam potong, dan saya nggak suka tahu dan tempe, sementara ikan laut, naudzubillah mihilnya (bagi orang Buton, hahaha).
Menjelang lebaran Idul Adha, para bapak-bapak juga membersihkan rumah dibantu ibu-ibu dan anak gadisnya.
Kalau bapak saya dulu lebih suka beberes di luar rumah, seluruh halaman bersih sampai kinclong, dari depan pagar sampai belakang (you know kan sekarang, daripada bakat beberes di jiwa saya berasal, wakakakaka)
Sementara dalam rumah, saya yang beresin, mama mah paling malas beberes, jadi milih urusan dapur kayak bikin lapa-lapa dan buras, mama saya paling jago bikin keduanya.
Source : reyneraea.com |
Btw, biasanya kami tuh cuman ikutan hectic persiapan beberes sama bikin lapa-lapa dan buras dan menu lauk lebaran (biasanya ayam kecap dan sup, hahaha), mama nggak pinter dan nyaris nggak pernah bikin kue sendiri, biasanya sih beli atau dikasih kakaknya (tante saya).
Oh ya, selain itu, persiapan lebarang juga meliputi beli baju baru, di sana tuh kalau lebaran, nggak peduli lebaran Idul Fitri atau Idul Adha, semua berlomba pakai baju baru, biar kata sebagian belinya dicicil, hahaha.
Kalau saya mah, harus puas dengan baju lebaran yang kadang udah 3 lebaran belum ganti-ganti, bahkan sampai bajunya kependekan, hahaha.
2. Tradisi Ziarah Makam, Bakar Lilin dan Siram Kubur
Ini juga sama dengan Idul Fitri, jadi kami dulu ikut tradisi masyarakat Buton, which is setiap sore menjelang malam takbiran, kami pasti ke makam keluarga, entah nenek atau kakek atau saudara.
Di sana, kami membersihkan makam, terus bakar lilin di pinggiran makam, dan ditinggal.
Waktu kecil saya penasaran dan nanya mama, mengapa sih harus bakar lilin di makam?
Mama asal aja jawabnya, katanya biar yang di makam tahu kalau besok lebaran, wakakakak.
Setelah besar saya baru ngeh, kalau ternyata itu tradisi.
Bukan hanya itu, besoknya setelah lebaran, selepas sholat Idul Adha, semua orang akan berbondong-bondong ke makam sambil membawa sebuah cerek air (kendi), di dalamnya ada air yang dikasih potongan daun jeruk dan pandan.
Air tersebut, sebelumnya udah dibacain doa, sama orang-orang yang dituakan, dulu kami kadang-kadang minta air begitu di kakek yang memang di'tua'kan banyak masyarakat di sana.
Tapi nggak jarang juga, bapak sendiri yang baca.
Sayangnya saya nggak pernah nanya, bapak baca apa sih di air itu? hahaha.
Nah air itu dibawa ke makam, buat disiramin ke nisan dan kuburan keluarga meninggal di sana.
Waktu kecil saya ingat pernah nanya mama, buat apa sih makam disiram?
Kata mama, biar orang meninggalnya mandi wakakakaka.
Oh ya, ketika malam takbiran, selain bakar lilin di makam, di rumahmu wajib dibakarin lilin, di taruh di semua pintu bahkan pagar, kata mama biar orang meninggal nggak nyasar pas pulang sejenak ambil makanan haroa (sejenis bancakan kalau di Jawa) di rumah, wakakakak.
3. Haroa, Main Kembang Api dan Menikmati Takbir yang Gempita
Lagi-lagi sama dengan malam takbiran Idul Fitri, di malam takbiran Idul Adha juga dirayakan dengan meriah.
Source: zona sultra |
Kalau kami, biasanya memulai dengan haroa yang khusus kami saja.
Haroa itu kayak bancakan kalau di Jawa, di mana mama menyusun makanan mulai dari nasi (biasanya nasi ketan), telur rebus, ayam masak Buton, kue-kue tradisional kayak baruasa, onde-onde (di Jawa nyebutnya klepon), ubi dan pisang goreng dan lainnya.
Makanan itu, ditaruh dalam sebuah nampan bundar yang lebar, lalu kami semua akan menghadap nampan dan makanan itu, lalu dipimpin bapak yang berdoa sambil menghadapi bara api yang dikasih gula, sekarang udah diganti sama dupa.
Karena kami masih kecil, ya ikutan saja tradisi yang kayak gitu, meskipun jujur saya nggak percaya bapak itu serius baca doa, hahaha.
Kadang juga saya dan almarhum adik ketika masih hidup, malah ngakak karena bapak berdoanya sambil mengangkat tangan, abis itu tangannya dibalik.
Saya merasa kami sedang menari, wakakkaka.
Meski bapak seringnya ikutan ngakak juga, tapi bapak bersedia menjelaskan kalau itu tradisi di Buton turun temurun, di mana kita berdoa kalau tangan menghadap ke atas berarti meminta rezeki dan kesehatan dan apapun yang baik-baik.
Kalau tangan dibalik ke bawah berarti menolak bala atau musibah.
Setelah makanan itu dibacain doa, kami disuruh menunggu sekitar 30 menit, sampai akhirnya makanan tersebut boleh kami makan.
Kata mama, biarin aja dulu sumanga (roh) keluarga yang meninggal makan makanannya, setelah itu kami boleh makan.
Entah karena percaya hal itu, karena kami masih kecil kan ye, makanan yang ada di nampan itu terasa jadi nggak enak dong, setelah kami makan, tapi makanan di panci tetap enak, hahaha.
Setelah haroa, biasanya kami keluar di halaman untuk main kembang api, kami hanya boleh puas main kembang api yang dipegang gitu loh, apa ya namanya itu.
Dan mainnya hanya boleh di halaman, nggak boleh keluar pagar.
Sambil main biasanya ada pawai takbir yang lewat, dan kami cuman boleh nonton dari dalam pagar.
Nasib anak-anak pingitan, hahaha.
4. Sholat Idul Adha di Lapangan dan Anak-Anak Menonton sambil Rebutan Nyetor Infak
Saya jarang ikut sholat ied, tapi kalaupun ikut, biasanya saya dipinjamin sarung Buton oleh bibi (kakak bapak), dulu orang Buton jarang yang sholat pakai sarung mukena langsung, jadi pakai sarung biasa.
Nah kalau lebaran, pakainya sarung Buton yang coraknya memang beda, mama dulu belum punya, jadinya pinjam.
Kalaupun nggak ikut sholat, biasanya kami anak-anak, menonton orang sholat di lapangan.
Pagi-pagi udah mandi, pakai baju baru (yang ada), lalu dikasih uang sekadarnya sama mama, dan kamipun berangkat menonton orang sholat.
Di sana, sebenarnya tujuan kami bukan cuman nonton doang, tapi nungguin orang yang mendekat ke kami di luar batas sholat.
Orang tersebut biasanya membawa sajadah yang dipakai buat menampung infak.
Dan kami anak-anak yang nonton akan berebut menyetor uang di situ buat infak.
Sungguh sebuah potret positif anak-anak zaman dulu di daerah Buton, which is, boro-boro keliling minta angpao, yang ada kami malah rebutan setor infak dari uang pemberian orang tua.
Sayang, zaman sekarang di Buton udah nggak ada lagi tradisi kayak gitu, bahkan pada ngikutin orang di Jawa, which is kalau lebaran bagi-bagi angpao, padahal mah dulu, boro-boro.
5. Daging Kurban
Masa kecil saya dihabiskan di daerah kecil yang juga menjadi tempat tugas mama.
Di sana, tingkat ekonomi masyarakat masih rendah (tapi kalau masalah makanan tetep, hahaha).
Karenanya, setiap Idul Adha tuh jarang banget dapat daging kurban.
Source: kompas |
Alasannya, yang pertama karena yang kurban jarang, kalaupun ada palingan cuman kambing beberapa ekor, untuk sapi jarang banget, biar kata di sana juga banyak yang punya sapi (potret kehidupan zaman dulu, memang masih jarang pemahaman agama).
Nah, karena mama saya PNS, biar kata keluarga kami sebenarnya masuk kategori kekurangan, tapi nggak pernah dapat daging.
Dulunya, meski pemahaman orang tentang Islam kurang, tapi mereka sangat meyakini, kalau daging kurban itu, ya buat fakir miskin.
Dan begitulah ketika saya tinggal di Jawa, dan dapat daging kurban, awalnya shock, berasa fakir miskin, ya biarpun nggak kaya, tapi saya merasa nggak pantas aja dapat daging kurban, hahaha.
Sekarang, zaman sudah berubah, dengan adanya sosial media, dan juga banyak orang Buton yang kuliah di Jawa, mereka pulang membawa paham orang Jawa, salah satunya tentang daging kurban, jadi sepertinya daging kurban di sana ya sama kayak di Jawa, orang mampupun dapat hehehe.
6. Salam-Salaman dan Saling Berkunjung
Dan lagi-lagi sama dengan lebaran Idul Fitri, di Idul Adha pun orang-orang akan saling berkunjung dan salam-salaman.
Biasanya dilakukan setelah selesai sholat ied dan setelah balik dari ziarah alias siram kubur, hehehe.
Pulang dari kubur, sambil jalan, mereka akan mampir di semua rumah, dan yang punya rumah akan sibuk menyajikan makanan serta kue-kue dan minuman.
Yang ini-ini paling jarang di kami, karena mama memang kadang aneh, jadi nurun ke anaknya ini, which is kurang suka terima tamu, karena repot, hehehe.
Nah biasanya tuh yang mampir cuman keluarga dekat dan kenalan, dan cuman beberapa orang yang mau diajak makan, selebihnya cuman makan kue aja.
Saya pun sangat jarang berkunjung, kecuali ada kakak yang kebetulan nggak lebaran di rumah tante, itupun palingan cuman ke rumah kakek, dan rumah bibi saudara bapak (kakak dan adik bapak lebih suka dipanggil bibi, dan yang laki, dipanggil paman, tapi untuk saudara mama tetep dipanggil tante (tanta) dan om).
Jadi, biasanya selepas sholat ied kalau memang saya ikutan sholat, saya pulang, makan lapa-lapa/buras dan lauk yang dimasak mama, bantuin mama layanin tamu (kalau ada), makan tape (i looooveeee tape buatan mama, biarpun abis makan tape itu, saya teler dan tertidur, hahaha).
Sorenya biasanya kami ke makam kakek dan nenek, buat siram kubur.
Dan hari ke-2 serta ke-3 lebaran, biasanya saudara mama banyak yang berkunjung, karena mereka mau ziarah makam dan kebetulan kami yang paling dekat makam kakek dan nenek dari mama.
Demikianlah kenangan indah, lucu, dan sebenarnya ada sedihnya juga kalau diingat, ketika masih kecil merayakan lebaran Idul Adha.
Berkesan, karena bagi masyarakat Buton dulu, lebaran Idul Adha itu sama dengan Idul Fitri juga.
Sidoarjo, 10 Juli 2022
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: canva dan berbagai sumber
Mereka masih mempertahankan ritual daerah berarti ya Rey... Sama dengan kebanyakan orang Jawa, termasuk keluarga Raka, juga masih mempertahankan tradisi banget, walo kadang jadi agak bersebrangan Ama ajaran Islam 😅.
BalasHapusBtw, aku juga kagett loh pas di Jakarta ini malah dpt daging kurban 🤣🤣. Krn waktu di Aceh dulu, ya ga mungkin dpt. Walo papa kurban trust, tapi yg boleh diminta itu hanya bagian kepala. Makanya mama jago bangetttt masak gulai kepala kambing, dan itu enaaaak 🤣🤤😄😄. Walopun kolesterolnya jgn ditanya. Di Aceh gulai kepala kambing itu terkenal.
Eh di JKT malah dpt dagingnya. Kata pak RT memang udah begitu. Utk keluarga ga mampu udah Diksh, tapi warga yg mampu pun tetep dikasih juga. Yo wislah...
Cuma kalo aku skr ini Yaa, idul adha sama aja kayak hari biasa. Kami ga anggab ini hari raya. Beda Ama IdulFitri 😁. Jadi kegiatanku kemarin, ya kayak ga beda Ama hari lain 🤣
Waktu kecil kalo teringat idul Adha ingatnya cuma dapat daging kurban kambing mbak, soalnya memang cuma hari raya idul Adha doang makan daging kambingnya, sehari-hari paling makannya tahu tempe sama tumis kangkung. Paling banter makan telor, itupun jarang.
BalasHapusSetelah merantau ke Banten aku malah jarang dapat daging kurban, sudah 20 tahun merantau disini baru 2x dapat, mungkin karena orang perantauan kali atau bagaimana aku juga kurang tahu, tapi tiap tahun ada saja yang kurban di masjid sih.😀
kayaknya masa kecilku nggak ada memori soal idul adha. Yang ada cuman idul fitri dan beberapa aja yang aku ingat
BalasHapusdan sampe sekarang vibes saat idul adha beda dengan idul fitri. Kalau pas idul fitri, kadang sibuk ini itu, beli ini itu, pas idul adha malah adem ayem
ohhhh beberapa tahun kuliah di luar kota jember, aku kalau idul adha juga ga pernah pulang hahaha. Jadi ga pernah ngerasain solat atau ngerayain bareng keluarga