Masalahnya adalah, ada ruang tunggu, tapi calon penumpang, nggak dibolehin masuk dan duduk menunggu di ruang tunggu, dan saya bakal bercerita tentang hal itu di Sharing By Rey kali ini.
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah konten curhatan di sebuah akun instagram, di mana seseorang protes gegara nggak dibolehin masuk ke ruang tunggu di pelabuhan Labuan Bajo.
Zaman sekarang gitu loh, apa-apa mah curcolnya di medsos langsung, biar viral dan sampai ke yang di notice, hehehe.
Tapi, lantaran konten itu, saya jadi teringat lagi beberapa hal yang sering banget bikin saya kesal, kalau mau mudik.
Apalagi... kalau bukan masalah demikian, yang sering saya temui di pelabuhan maupun bandara.
Pengalaman di beberapa Pelabuhan
Ciehhh, katanya beberapa pelabuhan, padahal mah cuman pelabuhan Perak Surabaya, dan pelabuhan Murhum BauBau, berasa anak traveling sejateh kamoh Rey! wakakakaka.
Maklum geto, seumur-umur jarang bepergian jauh, palingan cuman 3 pulau aja yang pernah saya injakan kaki, Sulawesi, Jawa dan Bali, eh sama Madura ding, wakakakaka.
Sejak puluhan tahun lalu, saya udah mulai bersahabat dengan pelabuhan, meskipun nggak terlalu sering sih ya, palingan setahun sekali, yaitu mudik lebaran, saat masih kuliah dulu.
Dulu mah, tiket pesawat sama sekali tak terjangkau oleh saya, eh kok saya sih, ortu saya yang biayai, wakakakak.
Jadilah, saya mudik hanya bisa setahun sekali pas lebaran idul fitri, itupun naik kapal Pelni, dari pelabuhan Perak Surabaya, berlayar selama 2 malam 3 hari, transit sebentar di pelabuhan Makassar, dan akhirnya sampai di pelabuhan Murhum BauBau.
Setelah itu saya naik bis, lalu oper naik ojek, kemudian diteruskan dengan naik perahu, sampai akhirnya naik kuda hingga nyampe di rumah orang tua *apa pula si Rey ini yak! wakakakaka.
Enggak, saya jadi ingat waktu kuliah teman-teman saya sering banget nanya, apakah saya setelah naik kapal dilanjutkan dengan naik kapal kecil lagi?
Saking bosannya jawabin pertanyaan teman-teman kuliah saya, yang kebanyakan seumur hidupnya cuman muter aja di pulau Jawa, dikiranya daerah di luar Jawa itu kek di pedalaman semua.
Jadilah saya ngarang aja perjalanan mudik saya kek Ninja Hatori, mendaki gunung lewati lembah, jadinya kek di atas itu, pakai naik kuda segala, wakakakakakak.
Lanjut ah Rey, yang serius dong!
Okeh!
Nah sejak dulu tuh ya, saya selalu kesal kalau waktunya mudik, kesal-kesal senang sih, banyakan kesalnya tapinya.
Gimana nggak kesal, sungguh mudik itu nggak nyaman banget, mulai dari ketika mau mudik kakak dan tante (kakaknya mama) banyak banget titipannya, mana di pelabuhan ramainya minta ampun, pengantar nggak boleh masuk kapal, mau naik kapal rebutan tempat tidur kalau ambil kelas ekonomi.
Sementara kalau ada titipan kan barang jadi banyak, bisa pakai jasa portir atau tukang angkat barang di pelabuhan sih, tapi selain saya sering dikasih harga mahal, plus rempong banget kadang saya nggak bisa ngejar jalannya si Bapak portir, dan was-was barangnya hilang, pegimana ceritanya barang hilang kan, sementara itu barang titipan.
Nah, di sela kesalnya akan drama mudik tersebut, pun juga pelabuhannya sama sekali nggak layak dan nggak ada kenyamanan sama sekali, para calon penumpang dibiarkan menunggu dan mengemper di depan pelabuhan, sementara di dalam ada ruang tunggu, tapi hanya dibuka ketika kapal datang aja.
Atuh maaaahh, kalau kapal udah datang, buat apa menunggu di ruang tunggu pelabuhan, beibeh?
Langsung naik kapal napa? iya nggak?
Bertahun-tahun kemudian, setelah punya anak, saya jadi jarang bisa mudik, karena udah nikah kan, mana udah punya anak, ortu udah pensiun, malulah dibayarin tiket lagi, hahaha.
Source: okezone |
Dan tiba-tiba kami main ke daerah Perak, betapa terkejutnya saya, ternyata pelabuhan Perak sekarang jadi lebih bagus dong, lebih modern pula.
Udah semangat dong, berarti kan kalau mudik pakai kapal Pelni tuh jadi lebih nyaman.
Sampai akhirnya suatu hari saya ke pelabuhan, demi mengantar salah satu sodara jauh yang akan mudik ke Buton.
Betapa terkejutnya saya, ternyata meski udah direnovasi nyaman, tapi penumpang masih mengemper di luar ruang tunggu.
Saya coba mengintip ke bagian dalam bangunan yang sekarang terlihat nyaman dengan dipasangkan AC di mana-mana itu.
Kosong melompong dong!
Saya coba nanya ke sodara saya, kenapa nggak masuk nunggu di dalam aja, kan lebih nyaman?
Dan ternyata, kata sodara saya itu, mereka belum dibolehkan masuk, meskipun penumpang yang punya tiket.
Menurut petugas, tunggu kapal masuk dulu, baru deh dibuka ruang tunggu.
Astagaaaaahhhh, teros buat apa bangun ruang tunggu sebagus itu, kalau cuman digunakan buat antri masuk kapal aja?
Sementara calon penumpang kapal, mengemper kek sapi di luar bangunan, sungguh nggak estetika banget terlihatnya, untuk sebuah bangunan yang udah terlihat mewah menyaingi bandara.
Jadi sebenarnya, bukan hanya di pelabuhan kecil aja sih ya, kayak di pelabuhan Labuan Bajo, bahkan di pelabuhan Perak Surabaya pun terjadi, dan bukan hanya ketika pelabuhannya masih jadul dan nggak asyik dulu, bahkan sekarang setelah direnovasi lebih modern, tetap aja ruang tunggunya kosong, karena calon penumpang dilarang masuk ruang tunggu tersebut.
Pengalaman di pelabuhan Murhum BauBau juga nggak jauh beda, saya nggak tahu sih sekarang, tapi dulu tuh masih jadul banget pelabuhannya, dan tetap nggak boleh ada yang masuk ruang tunggu.
Lucunya, kalaupun boleh masuk, tapi nggak boleh menempati kursi yang ada di dalam, karena semua kursi di ruang tunggu itu, kebanyakan hanya boleh ditempati oleh petugas kayak polisi, istrinya, anaknya, sodaranya, sodara lain kalinya, alias petugas seperti polisi dan tentara seolah menguasai semua fasilitas umum yang disediakan, ampun deh.
Pengalaman di Bandara Betoambari BauBau
Nah berbeda dengan pelabuhan, kalau bandara memang cuman menemukan 1 tempat yang bikin keki, yaitu bandara Betoambari BauBau.
Entah karena bandara kecil, atau gimana, tapi memang ruang tunggunya juga hanya dibuka ketika pesawat hampir landing.
Jadi, sebelum ada kabar pesawat mau landing, semua calon penumpang hanya boleh menunggu di luar bangunan bandara.
Ada sih satu dua calon penumpang yang masuk, tapi udah bisa dipastikan dia adalah, anunya kepala ini, anunya kepala ono, anunya wakil ini, anunya wakil ono, alias cuman pejabat atau yang punya orang dalam yang bisa masuk.
Luar biasa memang ya, seolah semua fasilitas umum itu milik pejabat, PNS, polisi dan tentara beserta keluarganya, ckckckckck.
Yang paling terasa tuh, pas mudik saat pandemi terakhir kali tahun 2021 lalu, manalah saya pulangnya nggak diantar ke bandara sama sekali, ada sahabat baik saya sih yang antar, tapi dia hanya ngedrop langsung pulang, dan tinggalah saya bersama 2 anak super aktif dengan 1 koper super besar dan 2 tas gede yang udah hampir jebol saking lama nggak pernah dipake.
Dan dengan kondisi seperti itu, kami hanya bisa ngemper di luar bangunan, karena pintu menuju ruang tunggu belum dibuka, nantilah setelah kurang lebih 10-15 menit pesawat landing, baru pintu dibuka dan baru bisa check in, setelah itu, nggak bisa duduk lama di ruang tunggu, karena langsung naik pesawat.
Bahkan mau ke toilet pun buru-buru takut ketinggalan peawat.
Dugaan Penyebab Ruang Tunggu Di Pelabuhan dan Bandara yang Seringnya Tertutup Meski untuk untuk Penumpang
Saya jadi bertanya-tanya mengenai masalah ruang tunggu di beberapa bandara kecil dan pelabuhan yang tidak boleh ditempati sebelum kapal/pesawat datang.
Mungkin penyebabnya adalah:
Menyesuaikan operasional bandara kecil dan juga pelabuhan kecil
Memang sih kalau bandara kecil kayak bandara Betoambari BauBau, lalu lintas pesawat yang datang itu, nggak seramai di bandara besar.
Kalau nggak salah, dulunya tuh setiap hari, cuman ada 3-4 pesawat yang datang, jadinya kalau itupun untuk pesawat kecil, di mana penumpang juga nggak sebanyak pesawat tipe yang lebih besar.
Mungkin karena alasan tersebut, pihak bandara tidak membuka ruang tunggu 24 jam atau seharian penuh, karena selain akan menambah biaya operasional, pun juga menambah SDM yang bertugas di sana.
Selain itu, karakteristik calon penumpang yang seringnya tidak disiplin menjaga kebersihan dan ketertiban, membuat pihak bandara membatasi penggunaan ruang tunggu, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan pihak bandara lebih banyak.
Hal ini juga mungkin menjadi alasan bagi pengelola pelabuhan kecil, karena lalu lintas kapal yang membawa penumpang tidak terlalu ramai, jadilah mereka juga membatasi penggunaan ruang tunggu serta fasilitas pelabuhan lainnya.
Namun, sebijaknya hal ini menjadi perhatian pemerintah, khususnya untuk kemajuan pariwisata Indonesia, karena banyak pelancong yang akhirnya kebingungan ketika hendak bepergian melalui pelabuhan maupun bandara kecil.
Agar fasilitas berbayar di pelabuhan besar terpakai
Saya nggak tahu di pelabuhan lain ya, tapi terakhir kali ke pelabuhan Perak Surabaya, saya liat ada fasilitas ruangan istirahat berbayar yang berbentuk semacam capsule gitu.
Bayarannya sih per jam, tapi lupa berapa per jamnya.
Nah, saya pikir, pihak pengelola pelabuhan sengaja membatasi penggunaan ruang tunggu pelabuhan, agar para calon penumpang yang memang menunggu kapal datang agak lama, bisa menggunakan fasilitas berbayar tersebut.
Bukan hanya itu, di bagian atas bangunan pelabuhan Tanjung Perak ada semacam pujasera modern yang diberi nama Surabaya North Quay, yang bisa digunakan para calon penumpang untuk sekadar makan dan minum sambil menunggu datangnya kapal.
Salah satu sisi luar Surabaya North Quay |
Bayangkan kalau ruang tunggu yang nyaman tersebut bisa ditempati calon penumpang, dijamin semua pada masuk dan tiduran di kursi, dan nggak tertarik menggunakan fasilitas berbayar yang ada.
Namun sekali lagi, ini nggak adil sih ya, kasian dong bagi penumpang yang memang uangnya terbatas, terpaksa ngemper di luar bangunan, dan tentu saja itu merusak kenyamanan penumpang dan pengunjung di pelabuhan tersebut.
Penutup
Dunia pariwisata di Indonesia mulai merangsek naik, setelah hampir 2 tahun dilumpuhkan oleh pandemi Covid-19.
Sudah seharusnya, hal ini dibarengi oleh berbagai hal penting dalam dunia pariwisata, untuk mendukung hal itu bisa semakin berkembang.
Salah satunya adalah, fasilitas ruang tunggu di berbagai pelabuhan maupun bandara, di mana menjadi pintu keluar masuk dari kegiatan pariwisata serta urusan perjalanan lainnya.
Sebijaknyalah pihak-pihak yang terkait dapat memberikan solusi atas fasilitas yang seharusnya dapat digunakan penumpang kapanpun, setidaknya kalau tak bisa dibuka 24 jam, setidaknya bisa buka seharian penuh, mulai pagi sampai malam, agar beberapa pelancong tidak kebingungan ketika berada di bandara atau pelabuhan tersebut.
Demikianlah
Sidoarjo, 24 September 2022
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: berbagai sumber
aku juga pernah punya pertanyaan ke diri sendiri kayak gini, kenapa kok ada ruangan tertentu yang emang tertutup. Ya aku kira palingan nggak mau kalau ruangan itu jadi kotor, rusak.
BalasHapusSayangnya pertanyaan ke diri sendiri ini nggak pernah aku tanyakan, kan mungkin aja pas aku lihat memang belum waktunya dibuka aja. Sama kayak mau masuk ke area dalam stasiun waktu nunggu kereta, penumpang dibolehin masuk jika kereta udah mau datang, biar di bagian dalam nggak terlalu sesak sama penumpang.
bisa jadi juga ya