Tinggal di Kota atau di Desa? Mana yang Disukai?

Tinggal di Kota atau di Desa? Mana yang Disukai?

Kalau ditanya lebih suka tinggal di mana? di kota atau di desa? saya jawabnya di kota dong, bahkan jawaban ini, sudah saya simpan di benak sejak kecil, dan belum berubah hingga saat ini.

Alhamdulillah, meski nggak tinggal di dalam kota besar beneran, setidaknya saat ini kami tinggal di lokasi yang not so bad lah menurut saya, dan di Sharing By Rey kali ini, akan saya ceritakan apa penyebab pilihan saya tersebut.

Sebagai orang yang pernah lahir dan tumbuh besar di pedesaan, tentunya sangat tahu banget, apa bedanya kota dan desa, beserta kekurangan maupun kelebihannya.


Lahir dan Bertumbuh di Desa


Saya lahir di sebuah daerah terpencil di Minahasa, Sulawesi Utara.
Dan menghabiskan masa kecil hanya dengan bermain bersama kakak perempuan saya satu-satunya.

gunung Klabat, Minahasa Utara
Gunung Klabat, Minahasa Utara

Selain karena bapak tidak membolehkan kami bermain dengan teman di luar, pun juga seingat saya kami nggak punya tetangga, hahaha.

Meski demikian, saya tidak merasa kalau masa kecil saya kurang bahagia, setidaknya hingga usia 5 tahunan sih ya, hidup saya tuh terasa lengkap, karena punya banyak mainan, punya teman main, si Kakak satu-satunya, dan setiap hari, kami bebas bermain apapun tanpa larangan.

Mungkin karena itu, saya nggak sadar kalau kami sebenarnya tinggal di pelosok banget, nggak punya teman karena memang nggak ada tetangganya, hahaha.

Hanya ada beberapa tetangga orang dewasa yang selalu datang mengunjungi kami, which is tetangga itu nggak punya anak, jadi dia nggak pernah bawa anak kecil main ke rumah kami.

Setelah usia 5 tahunan, keluarga kami pindah ke Buton, kata mama karena saat itu usia kakak udah 6 tahun, dan tempat tinggal kami agak jauh dari sekolah.

Jadilah orang tua memutuskan untuk pulang di daerah asal mereka, di Buton.
Dan jadilah saya bersekolah di Buton, sejak SD sampai STM.

Ketika SD kehidupan orang tua masih sangat terguncang, alhasil saya sempat pindah SD sampai berkali-kali, mulai dari sekolah di kota, karena saudara mama hampir semuanya tinggal di kota kecil, sampai akhirnya pindah ke desa, karena saudara bapak tinggal di desa.

Tambang aspal Lawele
Kalau mudik, rekreasinya di tambang aspal, hahaha

Lalu pindah lagi ke kota kecil, sampai akhirnya balik lagi di desa, karena akhirnya mama menjadi PNS di sebuah puskesmas di desa yang berjarak 70 KM dari kota kecil di Buton.

Jadilah masa kecil saya dihabiskan di desa, menikmati sepinya pedesaan, penuh tantangannya setiap kali mau ke kota, karena orang tua belum punya kendaraan sendiri, alhasil kalau mau ke kota kudu nunggu angkot, which is dulu tuh masih jarang banget ada.


Terus Tumbuh di Kota


Saya menghabiskan waktu sejak SD hingga SMP di pedesaan, sampai akhirnya saya mulai tinggal di kota kecil, karena memilih masuk STM.

Meskipun kotanya bukan termasuk kota besar, tapi kota Bau-Bau yang saat itu masih menjadi ibu kota kabupaten Buton, lumayan ramai lah ketimbang di pedesaan.

Sayangnya, perbedaan yang saya rasakan ketika hidup di pedesaan, lalu pindah ke kota kecil, nggak terlalu signifikan sih ya, selain jalanan lebih agak ramai dan wilayah lebih luas, jadi nggak bisa semuanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Selain itu, kehidupan yang saya lewatipun nggak banyak berubah, selalu berkutat dengan masuk sekolah, pulang diam di rumah, nggak boleh sering ke luar kecuali ada urusan sekolah.
Jadi ya, nggak ada yang berubah banyak sih ya.

Sampai akhirnya saya lulus STM, dan orang tua mengizinkan saya main ke Surabaya (iya, niat awal mah cuman main doang, hehehe).

Dan ternyata dari niat awal cuman mau main doang ke rumah om (adik mama), sambil mengikuti bimbingan belajar (kala itu didaftarin di Teknos), eh ternyata keterusan malah memilih kuliah di sebuah PTS (perguruan tinggi swasta) di Surabaya.

Lalu, di mulailah kehidupan saya di kota yang lebih besar, terutama ketika saya masuk kuliah, dan mama khususnya, mengizinkan saya untuk bisa tinggal di kos, lalu dimulailah masa kebebasan saya mengeksplor kota lebih besar.
 

Kelebihan dan Kekurangan Tinggal di Desa 


Melalui pengalaman hidup tersebut, saya bisa tahu dengan jelas, apa saja sih kelebihan dan kekurangan tinggal di desa maupun kota?

Karena benar-benar merasakan, dan tinggal lumayan lama baik di desa maupun kota, meskipun dalam versi yang mungkin nggak mengeksplor terlalu banyak hal-hal lain, selain rumah, sekolah dan rumah lagi dan sekolah lagi, hahaha.


Kelebihan tinggal di desa


Adapun beberapa kelebihan tinggal di desa adalah:


1. Bisa punya halaman luas dan punya tanaman sendiri, nggak semua harus dibeli

Rata-rata, orang yang tinggal di pedesaan itu, punya halaman yang luas, bahkan orang-orang yang sedang dinas kerja di desa sekalipun, dan tinggal di perumahan pemerintah, tetap ada halamannya.

Desa lawele

Karenanya, orang-orang bisa menanam berbagai tanaman di halaman tersebut, mulai dari bunga-bunga yang cantik, hingga sayur mayur dan bumbu-bumbu.

Di rumah mama saya, halamannya juga luas, dulu waktu saya masih kecil, banyak bunga-bunga yang saya tanam di halaman depan.

Sayang ketika saya pergi, bapak lebih suka nanam tanaman yang menghasilkan, seperti cabe, tomat dan semacamnya.

Di halaman samping juga bisa ditanamin berbagai sayuran dan bumbu, ada daun kelor, pepaya, kangkung, bayam, terong.

Bumbu-bumbu yang kayak kunyit, laos atau lengkuas, daun pandan, daun serei, jeruk nipis, dan semacamnya, nggak perlu beli lagi.

Pokoknya, kalau pulang ke rumah mama itu, paling sukanya part makan sayur, karena sayuran nggak perlu selalu beli, dan yang ada selalu segar-segar.

Bukan hanya itu, ada pula beberapa pohon buah-buahan, hingga kelapa muda, jadi sungguh ketika pertama kali ke Surabaya, saya shock beli kelapa kok mihil amat, hahaha.

Belum lagi labu, ya ampuuunnn mahalnyaaaa...
Padahal di rumah mama saya, sampai membusuk dan dibuang-buang dong.

Demikian pula dengan buah pisang, dan sirsat, yang mahalnya naudzubillah, padahal di rumah mama kami sering buang pisang dan sirsat, hahaha.


2. Udara lebih segar

Udara di pedesaan itu, jauh lebih bersih, bikin paru-paru lebih sehat.
Jujur saya jarang sakit ketika di rumah ortu, palingan menggendut dan menggosong aja, hahaha.

Karena daerah masih asri, masih banyak pohon dan tanaman, sementara kendaraan dan pabrik tidak sebanyak di kota besar, jadinya lebih sehat dan segar.


3. Kekeluargaan begitu kental

Ini kayaknya ciri khas Indonesia banget ya.
Di pedesaan itu, rasa kekeluargaan begitu kental, saling tolong menolong.

Bahkan nggak kita mintain tolong pun, orang-orang dengan sendirinya datang menolong.
Kayak waktu bapak saya meninggal dulu, paginya kan bapak sempat nggak bisa berdiri di kamar mandi, saya sama mama nggak kuat angkat beliau, mama suruh saya minta tolong orang buat bantu angkat.

Lah masalahnya saya udah lama nggak pulang, dan nggak kenal banyak orang di sana lagi.
Tapi, masha Allahnya ya, baru liat saya kebingungan sambil nangis di jalanan depan rumah, orang-orang langsung berdatangan ke rumah kami, dan dalam seketika hampir belasan orang datang membantu angkat bapak dari kamar mandi.

Luar biasa sih ya.
Meskipun itu juga tidak lepas dari sifat bapak yang memang super ramah dan kocak kepada siapapun. 


4. Lebih tenang

Waktu saya masih kecil, bahkan ketika saya pulang ketika Bapak meninggal tahun lalu, internet belum masuk ke desa tempat tinggal ortu.

Ada sinyal buat telepon, serta beberapa kantor pemerintah diberikan akses internet satelit ya namanya, yang kadang dibagikan dengan beberapa orang dekat kantor tersebut.

Listrik pun juga sebenarnya baru masuk ketika masa pemerintahan pak SBY dulu, sebelumnya listrik hanya ada dengan menggunakan genset.

Bahkan di awal-awal listrik masuk, astagaaaaa hampir per jam, mati mulu, hahaha.

Karena itu, di sana sungguh sangat sepi dan tenang.
Habis magrib aja, jalanan udah sepi banget, hanya di beberapa bagian saja masih ramai oleh anak-anak muda yang berkumpul.

Karena suasana sepi kayak gini, jadinya lebih tenang, dan punya waktu lebih banyak untuk istrahat.
Apalagi karena nggak ada internet yang stabil.

HP jadi tidak tersentuh lagi dong, hanya sesekali buat main game offline.
Pokoknya, asyik banget buat liburan dari penatnya kota besar deh.


5. Bahan makanan lebih murah

Ini relatif sebenarnya ya, beberapa bahan makanan murah, kalau lagi musimnya, kayak ikan laut.
Kalau lautnya tenang, ikan biasanya berlimpah, jadi murah meriah dan segar.

Tapi kalau ombak lagi gede, biasanya yang jual ikan dikit, jadinya mahal.
Untuk sayuran dan semacamnya pun sama, kalau musimnya mah murah, tapi kalau enggak ya lumayan mahal sih.

Akan selalu terasa murah dan irit, kalau orang-orang rajin memanfaatkan lahan rumah untuk menanam beberapa bahan makanan, kayak sayuran dan bumbu-bumbu, jadinya nggak semua harus beli kayak di kota besar.


6. Air lebih bersih dan murah

Air di desa itu, cenderung murah, eh bahkan sangat murah sih ya, meskipun mungkin nggak semua desa bisa seperti itu ya.

Di desa tempat tinggal ortu saya, kalau nggak salah air bersih tuh masuk ke desa dengan program internasional gitu, kalau nggak salah dulu dari Kanada yang memang datang ke wilayah itu, untuk mengebor aspal untuk dijadikan sample penelitian.  

Nggak hanya datang mengebor aspal, pihak Kanada itu juga mengadakan kayak program kemanusiaan, dinamakan Care Canada, yang mana mereka mengajak masyarakat di sana untuk bikin air dari hutan masuk ke desa, dengan memasang pipa-pipa dari sumber mata air di hutan.

Jadi, iyes banget!
Dulunya kualitas air PAM di desa tersebut, keknya 11 12 ama Aqua *eh, hahaha.
Karena langsung dari sumber mata air di hutan.
Minusnya, kalau hujan, air jadi keruh, gegara di hutan banjir dan airnya keruh masuk ke pipa.

Dulunya sih airnya gratis, namun seiring waktu akhirnya ditarik bayaran, khususnya buat yang masukin air ke dalam rumah (dulu cuman dialirkan ke keran-keran umum).

Tapi tahu nggak sih, mau kita alirin kolam renangpun, sebulan tetap bayar 20ribu doang, hahaha.
Waktu mudik, saya stres malam-malam dengar air tumpah karena kerannya nggak dimatiin sama mama.

Besoknya baru ngeh, ternyata mau 24 jam tumpah juga bayarnya tetap.
Atuh mama, tapi kan itu sama aja boros air, dan itu nggak baik buat lingkungan *uhuk.



7. Bisa lebih irit karena godaan hiburan dan semacamnya terbatas

Bukan hanya mudah mendapatkan ketenangan karena memang sepi dan kurang hiburan, tapi karena itu juga duit keluar itu jarang, sejarang duit masuk *eh, hahaha.

Ya iya, emang mau beli apa di sana?
Palingan anak-anak beli jajanan toko, tapi kalau misal nggak beli pun, bisa goreng pisang atau lainnya buat camilan.

Nyaris nggak ada yang jual bakso, mie ayam dan semacamnya itu.
Termasuk uang buat bayar kuota internet, apalagi mau ngemall, nonton bioskop, nggak ada dah.


Kekurangan tinggal di desa


Adapun beberapa kekurangan tinggal di desa adalah:

pantai kamali baubau


1. Akses pelayanan publik dan semacamnya agak sulit

Sudah lama terbiasa cashless, bikin saya puyeng banget ketika di desa, karena di sana nggak ada ATM, boro-boro bisa beli pakai e-money, hahaha.

Bukan hanya nggak ada ATM, mau mengurus beberapa hal pun, untuk pelayanan publik, seringnya cuman ada di kota aja, jadi butuh biaya lebih untuk mengurusnya.

Bukan hanya itu, sekadar mau belanja online atau kirim sesuatu, pakai pos aja lama, apalagi pakai ekspedisi swasta, kayaknya nggak ada deh yang mau anter ke situ, hahaha.


2. Nggak cocok untuk orang introvert

Duh ye, hidup di desa itu, memang kekeluargaannya kental banget, termasuk kekepoannya, keusilannya mengurus hidup orang, hahaha.

Sungguh nggak cocok buat orang introvert yang nggak suka ngobrol ngerumpi, atau lebih nyaman di rumah aja.

Saya dulu di rumah aja, alhasil selalu dibicarakan karena merasa saya aneh dan sombong.
Untung si Rey udah kebal dengan memilih cuek.


3. Harga barang atau peralatan rumah tangga dan semacamnya lebih mahal

Harga bahan makanan mungkin sedikit murah, beberapa bahkan nggak perlu beli.
Tapiii, tidak demikian dengan barang pabrik.

Beli apapun di desa, kerasa banget mahalnya.
Yang paling bikin nangis tuh masalah air minum.

Waktu mudik ke sana tahun lalu, si Adik tuh nggak mau minum air minum di rumah nenek, karena nenek memang minumnya air keran yang dimasak.

Meski airnya dari pegunungan, tapi sebenarnya air yang dimasak itu berasa banget dong ya.
Bagi yang terbiasa minum Aqua, dijamin nggak akan suka minum air masak.

Air mineral kayak aqua kan nggak ada rasa sama sekali.
Jadilah saya kelimpungan banget, karena di sana nggak ada yang jual Aqua galon, adanya galon isi ulang, tapi saya nggak berani kasih ke si Adik, karena dia nggak terbiasa minum air isi ulang.

Dan sayapun ke warung, ada yang jual Aqua botol yang tanggung dong, yang mana biasanya harganya 1500an deh, eh di sana 3000-4000, mau nangeeesssss!

Itu airnya kan dikit ya, sementara si Adik minumnya banyak, sehari habis 10 botol, bayangin!
Sehari habis 30-40ribu untuk minum, kalau di Jawa udah dapat 2 galon Aqua tuh, huhuhu.


4. Lapangan pekerjaan sangat terbatas

Lapangan kerja di desa mah terbatas banget ya, orang-orang kebanyakan jadi petani, nelayan, buka warung sembako, dan PNS.
Kayaknya mostly itu deh pendapatan masyarakat.


Kelebihan dan Kekurangan Tinggal di Kota


Jujur nih ya, sejak kecil saya lebih menyukai perkotaan, padahal saya juga jarang tahu tentang perkotaan, jarang juga nonton TV.

Mungkin karena saya merasa selalu di nomor terakhirnya oleh orang tua kali ya, saya jadinya sering berdoa agar suatu hari nanti, saya bisa tinggal di kota besar, jauh dari orang tua.
Eh, terkabulkan sekarang. Antara mau senang atau mau sedih deh rasanya.

Dan selama puluhan tahun tinggal di perkotaan saya jadi tahu kelebihan dan kekurangannya.

Kelebihan tinggal di kota


Adapun beberapa kelebihan tinggal di kota adalah:


1. Akses ke pelayanan publik mudah banget

Hidup di kota, dimanjakan banget dengan segala hal yang ada di depan mata, bahkan di genggaman kita.
Jangankan sekadar beli makanan online, beberapa pelayanan publik pun bisa diurus secara online, meskipun kadang kudu ke kantornya juga, tapi lebih praktis karena udah diurus secara online sebagian besarnya.


2. Lebih maju, canggih dan modern

Ini jelas banget ya, masyarakat kota tuh, lebih cepat dalam mendapatkan informasi serta merasakannya langsung.

museum pendidikan surabaya

Dengan internet masuk desa, mungkin masyarakat desa bisa tahu informasi yang sama dengan masyarakat kota, tapi mereka tidak bisa langsung mencoba dan merasakannya.


3. Pendidikan juga lebih beragam pilihannya

Salah satu alasan terbesar saya suka tinggal di kota besar nih, karena akses pendidikan mudah dan sangat beragam.

Museum 10 november surabaya

Pendidikannya juga jauh lebih baik, karena banyak sekolah yang memang lebih modern dan lengkap peralatannya, serta kesempatan anak-anak belajar langsung di sumbernya lebih mudah.

Misal, belajar sejarah.
Dengan mudahnya bisa ke museum, jadi lebih ngerti dengan sejarah yang dipelajari.


4. Lapangan pekerjaan lebih banyak dengan UMR lebih tinggi

Lapangan kerja di kota besar sudah pasti jauh lebih banyak dan beragam.
Bukan hanya itu, UMR yang berlaku pun lebih tinggi ketimbang di desa.


5. Kesempatan berkarya juga lebih mudah dan besar

Bukan hanya lapangan pekerjaan, di kota besar, kesempatan berkaryapun jauh lebih mudah dan besar, ketimbang di desa.
Karena perkembangan zaman di kota besar jauh lebih cepat.


6. Barang-barang lebih murah

Dibandingkan di desa, barang-barang khususnya barang pabrik lebih murah.
Dari baju-baju murah, perlengkapan rumah tangga murah.
Bahkan air minum pun murah.

Kayak Aqua galon Rp. 20ribu.
Bandingkan dengan Aqua botol sedang di desa bisa 2-3 kali lipat, ckckckck.


7. Cocok untuk para introvert

Kota selalu sibuk, jadi orang-orang cenderung lebih cuek satu sama lainnya.
Hal ini amat sangat cocok buat orang-orang introvert yang memang lebih suka sendiri dan nggak diganggu siapapun


Kekurangan tinggal di kota


Adapun beberapa kekurangan tinggal di kota adalah:


1. Macet, berisik dan serba cepat

OMG!
Jujur ini sih salah satu yang saya nggak suka di kota besar ya.
Macet! dan super berisik!

Bagi orang yang kurang sabaran kayak saya, itu mengganggu banget.
Demikian juga dengan berisiknya.

Syukurlah kami sekarang masih tinggal di pinggiran, di mana masih terbilang sepi banget, sehingga lebih tenang.

Untuk menyikapi berisik di luar, saya kalau naik motor rajin pakai helm, bukan takut polisi, tapi biar telinga saya nggak terlalu terganggu, hahaha.

Selain itu, rasanya kehidupan di kota itu cepaaattt banget.
Tiba-tiba aja udah Senin, eh tiba-tiba udah malam lagi.


2. Persaingan lebih ketat

Di kota memang banyak lapangan pekerjaan, tapi persainganpun juga jauh lebih ketat.
Berbeda dengan di pedesaan, bahkan beberapa PNS yang bertugas di desa itu kiriman dari kota, saking kuota yang ada ya cuman di desa, hahaha


3. Biaya hidup cenderung lebih mahal 

Biaya hidup mahal itu, karena apa-apa harus beli kali ya.
Parkir, bayar!
Mau ke toilet bayar!

Bahan makananpun, nggak ada sama sekali yang nggak bayar, semua wajib beli, terlebih yang nggak punya halaman kek kami, kalaupun punya halaman, dengan kehidupan kota yang super sibuk, seringnya orang nggak punya waktu buat nanam-nanam.

Jadilah apa-apa harus bayar, bikin biaya membengkak


4. Air PAM mahal dan nggak layak minum

Air di Surabaya sungguh membagongkan sih, bau kaporit banget.
Sisi positifnya, baju yang dicuci jadi lebih bersih, terutama baju putih.

Berbeda dengan air di Sidoarjo, meski kedua kota ini berdekatan, tapi airnya beda.
Air di Sidoarjo nggak bau kaporit sama sekali, tapiiiii nyuci baju apapun jadinya kek lap, hiks.
Mana air di Sidoarjo itu mahalnya minta ampun banget deh.

Saya jujur lebih suka air PDAM Surabaya yang lebih murah, meski sama sekali nggak layak minum sih, bahkan nggak jarang kulit saya auto kering saking kaporitnya banyak.
Dan bagi yang punya kulit alergi, gawat banget deh mandi di air PDAM Surabaya.


5. Godaan untuk boros lebih banyak

Kota besar itu, wao banget sih ya.
Apapun ada, dan mudah didapatkan.

Payless Tunjungan Plaza

Mau makan apa saja, ada!
Bahkan makanan se Indonesia juga ada.
Malas keluar, bisa pesan online.

Belum godaan ke mall, entertainment beragam, baju-baju lucu beragam.
Udahlah, nabungnya selalu di entertainment dan godaan lifetsyle yang banyak itu.


6. Lebih individualisme

Ya mungkin karena pada sibuk masing-masing ya, mengikuti ritme hidup perkotaan yang super cepat dan crowded, jadinya hanya sedikit orang yang punya waktu buat ngurusin orang, lebih suka fokus ke masalahnya masing-masing. 


Penutup


Hidup di mana saja, baik di kota maupun di desa, sebenarnya selalu ada kelebihan termasuk kekurangannya.

Jadi, kalau ditanya lebih suka tinggal atau hidup di mana?
Jawaban bijaknya ya tergantung karakter, serta kebutuhannya sih kalau saya.

Karakter saya, nggak suka hidup yang terlalu datar, lebih suka mencoba hal-hal yang lebih.
Dan saya juga bisa dibilang introvert karena selama masa tumbuh remaja, selalu berkurung di rumah aja.

Dan yang paling mendasar adalah, saya ingin anak-anak bisa punya kesempatan lebih dengan tinggal di kota, karena saya udah merasakan, betapa di desa agak sulit punya kesmepatan untuk lebih berkembang.

Demikianlah.


Sidoarjo, 01 Oktober 2022

Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

6 komentar :

  1. Sebagai orang yang tinggal lama di desa dan di kota saya ngerasa poin-poin di atas benar banget. Kalau mikirin pendidikan dan kesempatan anak untuk eksplor rasanya pengen di kota, tapi karena tuntutan pekerjaan dan mengabdi pada suami jadi ikut ke kabupaten kecil. Akses kesehatan disini agak terbatas, tapi masih bisa diakali dengan berkendara beberapa jam ke kabupaten sebelah yang lebih lengkap. Intinya sih asal dekat dengan orang tersayang apapun rintangannya semoga bisa dilalui dengan baik :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah bener banget ini say, semacam ada partner yang bikin tantangan jadi lebih mudah :)

      Hapus
  2. Aku pernah kepikiran utk tinggal di desa Rey, tapi setelah baca plus minus yg kamu tulis, jadi sadar kalo itu cuma kepengin doang, bukan niat beneran mau tinggal di desa 🤣🤣.

    Dipikir2, aku tuh kota banget dari dulu. Walo tinggalnya sempet di Aceh, Penang, Medan, tapi semuanya di bagian kota, bukan pinggirannya. Jadi aku memang ga pernah ngerasain utk tinggal lama di suatu desa, selain utk liburan doang

    Desa buatku enak kalo sekedar 2 Minggu nginep. Hanya utk refreshing. Tapi utk tinggal lama, kayaknya ga deh. Belum lagi sinyal yg kdg ga masuk atau lemoooot, trus kepikiran skincareku beli di mana, kalopun online bakal lama sampenya 🤣🤣🤣. Dan JD lebih mahal. Trus mau traveling, nambah lagi harus ke JKT dulu 😂😂. Ga deh, kayaknya aku tetep tinggal di kota aja 😄. Dalam hal ini Jakarta udh sangat bikin aku betah dengan segala minusnya dia, tapi setidaknya diitung2, positifnya jauh lebih banyak. Utk terbang kemana2 , Trutama destinasi international ga hrs ke kota besar. Mau bikin visa, juga embassy kebanyakan di Jakarta 😁. So, sudahlaaah, aku ga usah mimpi tinggal di desa segala 😅. Bukan aku banget itu 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau untuk liburan, enak-enak aja Mba, seminggu masih enak lah, tapi kalau untuk seterusnya, kayaknya gimana ya, hahaha.

      Nah iyaaa, pelayanan publik susah banget, jangankan urus visa, ATM jarang, bank juga wakakakak.
      Mana jarang ada yang bisa pake e-money.

      tersiksa banget kayaknya tuh.
      Kalau saya cita-citanya, pas tua, kalau ada rezeki, saya mau tinggal di pinggiran kota, yang ke mana-mana nggak terlalu jauh :D

      Hapus
  3. Betul kak saya juga merasakan ini, saat ini saya bekerja di pemerintahan namun sebagai pegawai non ASN di kampung halaman saya daerah Sumsel dan kabupaten ini termasuk kabupaten baru yaitu Muratara dan harus menempuh perjalanan sekitar 300-400 km jika mau ke Palembang, tapi sebelumnya saya pernah kuliah di Bandung ketika kembali kampung halaman saya merasa sulit dengan fasilitas umum kurang memadai, padahal daerah kampung halaman saya termasuk ibukota dari kabupaten tersebut. Di kampung halaman jangankan ke dokter spesialis, dokter umum saja harus pergi ke Linggau yang jaraknya 75 km, sedihnya bengkel resmi tidak ada di kabupaten saya bahkan harus Singkut yang secara administratif sudah beda kabupaten bahkan beda provinsi namun itu termasuk paling dekat sekitar 35 km, jika motor masih bisa dibawa jalan mungkin tidak jadi masalah, tapi bagaimana jika rusak parah dan tidak bisa dibawa jalan. Begitu juga kalau lagi sakit di kampung saya tidak ada dokter spesialis dan rumah sakit tidak punya fasilitas yang memadai, bahkan pihak rumah sakit menyarankan untuk berobat ke klinik dan itu klinik kecil, Padahal kalau dikota umumnya jika sakit berobat ke klinik dulu jika belum sembuh baru ke rumah sakit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah kaaann, makanya banyak anak-anak dari luar kota besar, kuliah di kota, abis itu nggak mau pulang, ya salah satunya udah termanjakan dengan fasilitas yang serba mudah itu :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)