Karena hidup saya memang lumayan mengandung 'sesuatu' ya.
Punya masa kecil jadi anak sekolah kebanggaan ortu, karena nilai saya selalu bagus di sekolah.
Punya kakak yang jadi PNS, terlebih sekarang karirnya makin bagus, udah masuk di jajaran PNS senior di tempatnya bekerja.
Kakak saya satu-satunya, sudahlah dia jadi PNS yang jabatannya bikin dia jadi lebih disegani dan dihomati.
Yang tidak banyak orang tahu, dan saya yakin mungkin sulit dipercaya semua orang, kalau saya udah melewati fase perasaan minder, sedih dan apapun itu tentang dibanding-bandingkan oleh orang lain, terlebih dibandingkan oleh saudara sendiri, dan yang membandingkan adalah keluarga sendiri.
Nggak menepis sih ya, saya juga pernah kok berada di tahapan, kesal dengan kehidupan saya saat ini, jadi ibu rumah tangga, kadang takut dengan masa tua saya, jangankan masa tua, masa depan pun saya takut bayanginnya.
Saya di Mata Orang Lain Dibandingkan dengan Kakak Satu-Satunya
Kakak saya satu-satunya, sudahlah dia jadi PNS yang jabatannya bikin dia jadi lebih disegani dan dihomati.
Punya suami tentara pula, yang mana karir suaminya juga terus naik dan disegani banyak orang, terlebih keluarga besar.
Kakak saya juga punya 3 anak yang cantik, ganteng, tinggi besar, dan berkulit cerah.
Dan berbagai kelebihan yang kakak saya punyai, yang terlihat di mata umum orang awam.
Ditambah, sudah menjadi hal yang turun temurun ya, orang pasti akan membandingkan antar saudara, dan dalam kasus saya, tentu saja saya tak luput dari dibandingkan dengan kehidupan kakak saya tersebut.
Dalam pikiran kebanyakan orang, eh salah ding, semua orang keknya, hahahaha.
Kasian amat ya nasib si Rey ini.
Sudahlah dulu pintar, tapi nasibnya nggak sebagus nasib kakaknya.
Jadi ibu rumah tangga yang kerjaannya cuman berputar di masak, nyuci piring, nyuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel, urus anak, mandiin anak, suapin anak, dan semacamnya.
Kebanyakan orang nggak tahu sih, kakak saya yang PNS juga masih melakukan hal itu dong, masih masak, masih nyuci meski berbagi tugas dengan suaminya, dan masih melakukan hal-hal yang dilakukan ibu terhadap rumah tangganya.
Tapi mungkin, orang lain kembali membandingkan kehidupan saya lebih dalam.
Si Rey, udahlah nggak punya gaji kayak kakaknya, memilih nikah dengan lelaki yang nggak punya kerjaan tetap dan mapan pulak, kayak suami kakaknya yang tentara, di mana udahlah punya gaji tetap, punya wibawa dan nama baik yang bikin keluarga mereka lebih dihormati banyak orang pula.
Si Rey, yang menikah dengan lelaki tak punya sisi mapan sama sekali, dengan penampilan yang juga tidak lebih tampan pula.
Apa sih yang dilihat si Rey dulunya?
Lalu, anak-anak si Rey juga biasa banget, nggak ada yang spesial.
Meski si Rey dan suaminya bongsor-bongsor, kedua anaknya punya tubuh yang standar aja, nggak terlihat tinggi besar kayak anak kakaknya si Rey.
Apalagi kalau ngomongin warna kulit, anak si Rey nggak ada tuh yang punya kulit cerah dan wajahnya tampan.
Sungguh, saya sudah kenyang perbandingan seperti itu.
Dan dari yang awalnya saya baper dan kesal, sampai di tahap, saya menanggapi dengan meniru bebek-bebek peliharaan saya dulu ketika masih di rumah mama.
Kweekkk...kweeeekkk... kweeekkk... cueeekkkkk....cuekkkkk... cueeekkk...
Hahahaha.
Namun, tetap aja ganjalan yang sulit hilang di hati saya, tiada lain dan tiada bukan, karena saya takut anak-anak saya mendengar dan baper dengan perkataan orang lain, yang membanding-bandingkan dengan saudara sepupunya tersebut.
Karena, meski anak-anak saya adalah darah daging saya, tetap mereka adalah sosok yang berbeda dari saya, tidak mungkin bisa sama plek ketiplek kayak maminya yang udah malas baper sama hal-hal yang nggak bikin saya rugi secara langsung.
Itu saja sih.
Itu saja sih.
Padahal Saya Merasa Sukses dan Bahagia loh!
Yang tidak banyak orang tahu, dan saya yakin mungkin sulit dipercaya semua orang, kalau saya udah melewati fase perasaan minder, sedih dan apapun itu tentang dibanding-bandingkan oleh orang lain, terlebih dibandingkan oleh saudara sendiri, dan yang membandingkan adalah keluarga sendiri.
Jadi, sekarang saya tuh udah di tahap 'ya udahlah ya', kakak saya ya kakak saya.
Saya ya saya.
Keduanya puya hubungan darah, tapi kami adalah 2 orang yang berbeda.
Dan karena kami 2 orang yang berbeda, tentu saja punya goal yang beda dalam hidup kami.
Termasuk goal dalam memaknai pilihan hidup dan kesuksesan.
Kalau saya pribadi, mungkin karena udah melewati banyak hal yang bagaikan roller coaster dalam kehidupan, merasa stres hingga depresi, mengenal psikolog yang dulunya saya anti banget.
Sampai akhirnya saya berusaha healing sendiri dengan berbagai hal.
Dan yang paling menyembuhkan itu memang back to Allah ya.
Begitulah Allah menunjukan banyak hal kepada saya, lewat banyak hal juga.
Begitulah Allah menunjukan banyak hal kepada saya, lewat banyak hal juga.
Tentang memaknai hidup, yang akhirnya perlahan-lahan saya mulai paham.
And say, Alhamdulillah.... how lucky i am!
Iya.
Iya.
Saya iseng bertanya kepada diri sendiri, apa sih yang dulu di waktu kecil paling saya impikan?
Apakah belum tercapai?
TIDAK!
Alhamdulillah semua yang saya BUTUHKAN sudah dikasih loh sama Allah, semua sudah saya rasakan dan nikmati tanpa kurang satu apapun.
INGAT, KEBUTUHAN YA!
Kebutuhan itu, sudah pasti terbaik buat diri kita.
Sementara KEINGINAN, belum tentu yang terbaik buat kita.
Hingga saat ini, saya merenung, hidup saya ini udah komplit loh, Allah udah kasih saya kondisi hidup yang semuanya sesuai dan pas.
Pas dengan kebutuhan saya.
Pas dengan karakter saya.
Pas dengan segala kenyamanan saya.
Mari kita bahas satu persatu!
Saya bertanya-tanya, apa sih kebutuhan yang belum terpenuhi hingga saat ini?
Hidup saya hingga saat ini, Alhamdulillah pas dengan kebutuhan saya
Saya bertanya-tanya, apa sih kebutuhan yang belum terpenuhi hingga saat ini?
Kayaknya nggak ada deh.
Saya masih bisa makan, bahkan makannya banyak dan enak, makanya badannya makin tambun, hiks.
Saya masih bisa pakai baju yang wajar, enggak sobek-sobek (well ada sih yang sobek, tapi saya masih memakainya karena saya suka, bukan karena nggak ada baju lain, kayak dulu masih kecil).
Saya enggak kehujanan, kepanasan, atau kebanjiran, menandakan saya tinggal di tempat yang layak, bukan di kolong jembatan.
Saya masih bisa healing ala orang zaman now, misal kalau beneran burn out, saya berhenti sejenak, scroll medsos, nonton film, nonton YouTube dan semacamnya, menandakan, saya bahkan punya hal lain sifatnya bukan kebutuhan utama banget.
Saya bahkan masih bisa perawatan diri, bisa pakai skincare, make up dan semacamnya.
Saya masih bisa produktif setiap harinya, mengasuh, mengurus anak karena Alhamdulillah masih dikasih kesehatan penuh.
Ya ampun, masih banyak loh kebutuhan baik yang utama hingga yang pelengkap, yang saya punya, saya bahkan sudah merasa malu banget ke Allah, karena masih juga sering merasa kurang, astagfirullah.
Manusiawi sih ya, tapi jujur saya harus banget berlatih untuk banyak-banyak berterima kasih kepada semua kebutuhan saya yang udah dipenuhi Allah.
Hidup saya hingga saat ini, Alhamdulillah pas dengan karakter saya
Sedikit dan sesekali hingga berkali-kali, saya membayangkan dan menyalahkan diri, kenapa sih saya tidak bisa kayak orang lain, sukses dalam berkarir.
Mengapa saya nggak bisa jadi PNS kayak kakak saya (iyaaa, saya juga pernah merasa iri dengan kakak saya).
Lalu, Allah kirimkan jawabannya lewat apa saja yang masuk ke dalam pemikiran saya, menampar saya dengan sangat keras.
Ketika misal, saya membaca kisah ibu yang sedih nggak bisa punya waktu banyak dengan anak.
Kisah seseorang yang makan ati sampai nyaris depresi karena mutasi PNS yang memang wajib diikuti.
Kisah atasan yang semena-mena, kisah rekan kerja yang tidak bersahabat.
Lalu, saya berpikir, andai saya yang ada di posisi orang tersebut, apakah saya sanggup?
TIDAK!
Iya, karakter saya adalah sosok wanita yang sangat menghargai profesionalisme, tapi benci banget diperlakukan tidak adil.
Jadi, tidak ada tuh ceritanya saya kerja tapi makan hati, dan bertahan karena duit.
Seringnya, saya bertahan dalam dunia kerja itu, karena atasannya pintar menyentuh hati saya, bukan karena diikat uang (si Rey emang sombhong, butuh duit, tapi jual mahal, wakakakakak).
Saya juga bukan tipe orang yang sanggup diperintah melakukan sesuatu di luar kenyamanan hati nurani saya.
Ini terbukti dengan dunia MLM, di mana saya tahu ilmunya bagus banget, tapi hati nurani saya mengatakan, saya nggak cocok kerja menghasilkan uang dengan cara seperti itu.
Dari semua pemikiran itulah, saya menarik kesimpulan, betapa beruntungnya saya, dikasih kesempatan berada di kondisi jadi ibu rumah tangga.
Iya, posisi ini membuat saya bebas hidup sesuai karakter saya, nggak perlu memaksakan sesuatu yang bikin saya nggak nyaman, atau nggak sesuai dengan hati nurani.
Jadi, saya yang sekarang, kadang cuman senyum simpul ketika beberapa orang melihat saya dengan penuh iba, karena saya di mata mereka hanyalah ibu rumah tangga, bukan PNS yang punya gaji kayak kakak saya.
Kenyataannya?
Saya nggak cocok jadi PNS, saya tidak pernah mau seenaknya diperintah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani, dan untuk itu saya lebih memilih keluar dari kerjaan, apapun kondisinya, ketimbang menyalahi hati nurani.
Lalu, bayangkan kalau saya jadi PNS, yang ada saya tekor bayar denda, karena seenaknya mau keluar dari PNS, hahaha.
Hidup saya hingga saat ini, Alhamdulillah pas dengan 'kenyamanan' saya
Mama saya pernah bilang, bahwa beliau jadi malas perhatian ke saya, karena saya lebih memilih nyaman tinggal di kota besar, ketimbang pulang ke orang tua.
Sesungguhnya, mama saya benar adanya, meski tidak sepenuhnya benar.
Tuduhan mama bahwa saya lebih milih yang nyaman, tentu saja itu amat sangat benar sekali.
Saya nyaman banget dengan kehidupan saat ini.
Ini tuh saya banget nget.
Tapi, bedanya, mama menganggap, saya nyaman karena bisa foya-foya di sini, bisa ngemall, bisa jalan-jalan ke sana- ke mari.
As we know kan ye, fasilitas di kota besar jauh lebih lengkap dan seru ketimbang di daerah kecil.
Tapi mama saya lupa kali ya, iya sih di sini banyak hal yang berkaitan dengan modernisasi dengan semua kemudahan yang ditawarkan.
Tapiiii... itu semua nggak gratis kan ye, kalau nggak punya uang, ya nggak bisa dinikmati setiap hari kan ye.
Makna nyaman di sini, sangat berbeda dengan yang mama saya yakini.
Yang nyaman adalah batin saya.
4 tahun pertama di Surabaya karena berkuliah, saya udah jatuh cinta banget dengan kota atau daerah ini, bukan karena modernisasinya semata, tapi karena:
💟Saya bebas jadi diri sendiri di sini
Oooo mai gaaattt!
Saya merasa baru terlahir ketika mulai kuliah di kota Surabaya.
Saya merasa baru terlahir ketika mulai kuliah di kota Surabaya.
Betapa tidak!
Di sini saya bebas banget.
Saya nggak perlu makan hati karena dipaksa menyetujui hal-hal yang nggak sesuai dengan hati nurani (lagi-lagi hati nurani).
Misal, saya paling benci yang namanya KKN atau korupsi, kolusi dan nepotisme.
Saya benci, harus sopan dan tunduk kepada orang, hanya karena dia punya jabatan.
"Ih Rey, kamu yang sopan, itu kepala dinas ini!""Rey, jangan kurang ajar, dia anaknya kepala dinas itu!""Senyum dong Rey, dia itu wakil ini itu!"
Dan semacamnya.
Sebaliknya,
Saya senyum ke orang biasa, dibilang buat apa? katanya nggak penting!
Saya membela orang biasa, malah kena semprot!
Kemudian si Rey bilaik...
WATDEF...........!!!
"AKOH TIDAK PEDULI DIA KEPALA DINAS LANGIT DAN BUMI, BAHKAN KEPADA DINAS MALAIKAT SEKALIPUN! KALAU SALAH YA SALAH, DAN SAYA OGAH HANYA RAMAH KARENA DIA KEPALA DINAS UDARA YANG DIHIRUP!"
Dan saya tidak mau mentolerir, jika penggunaan fasilitas umum, hanya boleh didahulukan oleh kepala dinas itu, anaknya kepala dinas unu, istrinya pak ono, keluarganya pak inu.
Ya ampuuunnn, saya meradang banget dan menahan hal ini banget sejak kecil, di mana saya kesal teramat sangat, dan sering berdoa diam-diam, agar suatu saat nanti, saya nggak perlu makan ati lagi dengan keadaan kayak gini.
Dan voilaaaa, here i am now, saya berada di kondisi dan lokasi, di mana saya nggak perlu melakukan hal-hal yang nggak sesuai dengan hati saya.
Di sini, mungkin ada juga tindakan tidak adil, tapi jujur di kota besar, terlebih di zaman medsos merajalela kayak sekarang, sangatlah beresiko jika ada seorang dengan jabatannya, merasa bisa berlaku seenaknya, siap-siap aja di'rujak' netizen Indonesia kalau berani gitu.
Berbeda dengan tempat saya tumbuh besar dulu, masalah utamanya ada di mindset masyarakatnya, sejak dulu mereka menganggap hal-hal yang tidak benar tapi dibiasakan itu, adalah hal yang benar.
Misal, setiap orang wajib hormat kepada orang yang punya jabatan, setidaknya jadi PNS, wajib banget dihormati.
Karena hal itu sudah turun temurun, jadinya semua orang merasa kalau nggak ada yang salah dengan itu, dan kalau nggak merasa itu salah, manalah ada yang bakalan protes di medsos.
Jangankan mau protes di medsos dan UU ITE, bahkan hal pertama yang dihadapi ketika kita berani koar-koar di medsos, adalah keluarga kita sendiri, dianggap memalukan nama baik keluarga.
Hmmm....
💟Saya bebas melakukan hal apa saja yang saya sukai di sini
Nggak menepis juga sih ya, kalau saya bisa memperkenalkan diri as a blogger ke banyak orang, membuat beberapa orang mau membaca tulisan saya, karena branding diri saya.
Dan saya nggak bisa membayangkan, bagaimana cara saya branding jika berada di tengah keluarga, yang udah kek netizen pastinya.
Semua tulisan saya selalu diartikan salah, paling aman ya jangan nulis.
Babay dah branding-nya.
Paling banter, saya share pamer foto-foto aja, atau share resep makanan yang bukan saya banget!, wakakakakak.
Selain itu, saya juga bsia bebas melakukan hal apa saja yang saya sukai, tanpa perlu dinilai oleh keluarga secara langsung.
Masih teringat banget, gimana dulunya bahkan saya ke minimarket saja, dibilang,
"BOROS TEROOOSSSS!"
"GAYA TEROOOSSSS, BELANJA SOK KAYA!"
Apalagi kalau share foto di mall, foto makanan, skincare, jalan-jalan, atau hal-hal yang masuk kategori lifestyle needed, bukan kebutuhan.
Dijamin, habis deh semua kuping saya penuh dengan teguran berkedok nasihat.
Nggak peduli alasan saya apa, pokoknya buat mereka itu adalah foya-foya nggak penting.
Bahkan, salah satu yang bikin saya bete ketika mudik, bayangin aja, mudik berminggu-minggu, sepanjang waktu di rumah mulu.
Dengan rutinitas yang itu-itu saja, mulai dari bangun, masak, makan, nyuci, masak lagi, beberes.
Mau ajak jalan-jalan aja, dibilang banyak gaya.
Padahal ya, saya nggak bisa setiap tahun mudik loh, dan ketika kecil saya nggak pernah ke mana-mana, nggak pernah kenal daerah sekitar selain di rumah dan di rumah.
Ya begitu deh, saya sedemikian bahagianya tinggal di sini, karena saya bebas mau ngapain aja, melakukan hal-hal yang saya suka.
Selama tidak merugikan keluarga saya, tentunya.
Penutup
Ini tulisan curhat dong, pakai acara penutup segala hahaha.
Tapi, nggak apa-apa deh, lagi pula, tulisan ini terselesaikan dalam beberapa hari, jadinya mungkin ada beberapa tulisan yang kurang smooth penyambungan ceritanya, hehehe.
Yang pasti, tulisan curhat ini bertujuan menghibur hati saya, yang sering merasa sedikit sedih atau lebih tepatnya terganggu juga, dengan terus-terusan mendengar kata 'dibanding-bandingkan' dengan kakak saya.
Juga merasa geli ketika banyak yang melihat saya dengan tatapan sedih, khususnya dari keluarga dan teman-teman lama saya, yang tahu masa lalu saya seperti apa, yang dulunya punya ekspektasi tinggi dalam hal 'kesuksesan di bagian uang', kepada saya.
Banyak yang kasian dengan nasib saya sekarang, tanpa mereka sadari, kalau saya baik-baik saja, menjalani hidup yang saya selalu syukuri dan hidup yang 'saya banget' saat ini.
Dan saya sama sekali nggak menyalahkan orang-orang sepenuhnya sih ya, mungkin juga mereka menyimpulkan kehidupan saya ngenes bin miris, dari banyak story telling saya di blog maupun media sosial.
Meskipun, semua itu hanya kesimpulan pembaca saja yang mengartikan tulisan saya.
Tapi over all, i am happy dan puas kok dengan kehidupan saya saat ini.
Ada sedihnya, banyak tantangannya, sering ngomelnya, tapi itu adalah bagian dari kehidupan kan, yang pasti, saya menikmatinya, Alhamdulillah.
Sidoarjo, 21 November 2022
Itulah kenapa aku ga mau asal nuduh atau asal mikir ttg kehidupan orang lain. Sesuatu yg kita lihat miris, ngenes, tapi bisa jadi buat orang lain itu hal biasa, bukan sesuatu yg bikin dia sedih.
BalasHapusAtau sebaliknya, ngeliat si A kaya raya, pasti senang, bahagia, belanja sepuasnya, tapi siapa sangka hatinya selalu sedih, stress, ga pernah disayang dll.
Kehidupan orang lain, ya ga sepantesnya kita ikutcampuri. Kecuali dia minta pendapat , baru deh aku mau komentar.
Setuju Rey, sebenernya rasa syukur itu yg bikin kita mudah bahagia. Bersyukur dengan segala hal yg ada, ga melihat ke atas trus2an dan malah nyesal kenapa hidup ga bisa seperti itu. Malah ga bahagia jadinya. Harusnya memang belajar bersyukur jadi pelajaran basic yang hrs kita ajarin juga ke anak2. Biar mereka bisa tumbuh jadi anak yang tau bersyukur dan gampang bahagia.
Bener Mba, bersyukur juga obat mental paling ampuh :)
HapusJadi, ceritanya kamu nulis apa sih Rey.. :-D :-D .... hahahahahaha
BalasHapusNyaman itu bisa karena benar-benar pas, tetapi juga bisa jadi karena dipas-pasin. Kamu masuk yang mana nih. Soale kalau baca tulisan-tulisanmu kan kayaknya ga terhindarkan kesan bahwa itu dipas-pasin dan bukan benar-benar pas.. :-D
Soalnya kalau memang benar pas, pasti ga curcol dong.. wkwkwkwkwkwkw
#lagibelajarmenguliksisisisiseseorangbiarbeteorangnya
Nulis curhat Bapak, wakakakakakakak.
HapusKalau saya merasa pas Bapak, karena udah coba mengejar semua yang diimpikan, kecapai sih Alhamdulillah, meski belum semuanya, tapi ternyata rasanya biasa aja :D
Dari situ saya mulai belajar, untuk lebih banyak menikmati hidup, ternyata semakin dinikmati, semakin sadar kalau ternyata hidup kita tuh nggak pernah kurang, selalu terpenuhi sesuai kebutuhan kita :D
Dan masalah curcol, kembali lagi ke teori otak wanita, di mana emang beda banget ama laki Bapak.
Wanita butuh mengeluarkan 20ribu kata setiap harinya, bahkan yang pendiam sekalipun, itu kata penelitian :D
Makanya, banyak wanita yang suka curcol, bukan karena merasa tidak bahagia, tapi buat cerita aja, biar abis jatah 20ribu katanya wakakakakakak
Kadang keluarga sendiri yang bikin mental down dan stress ya berasa sok tahu banget tentang kehidupan kita.
BalasHapusSaya juga paling nggak suka dibandingin mbk rey, karena kalau dibandingin abis marah saya pasti nangis dan overthinking, ah masak iya saya begitu? Masak bener kata mereka..
Tapi salut banget deh sama mbak rey yang tetep semangat berjuang sampai sekarang, kedepannya Semoga makin bahagia ya mbak rey😊
Semangat say, pada akhirnya memang kita sendiri yang bisa membentengi mental kita, karena mulut orang selalu asal nyablak :D
Hapus