Memaafkan dan menerima ibu dan ayah atau orang tua kita, sewajibnyalah kita lakukan, demi ketenangan hidup diri sendiri. Karena, memendam perasaan benci dan kecewa kepada orang lain saja itu merugikan diri sendiri, apalagi kepada orang tua sendiri.
I know, ini nggak mudah. Apalagi di zaman sekarang yang penuh dengan kemudahan-kemudahan yang bikin kita ke-trigger lagi akan cerita yang mengecewakan di masa lalu.
Baca juga : 5 Self Improvement Untuk Hidup Lebih Baik
Cerita Ibu dan Ayah yang Bikin Kecewa di Masa Kecil
Sebenarnya udah sering banget saya tuliskan, baik di blog ini maupun blog parentingbyrey, bagaimana cerita masa kecil saya yang bikin hubungan terhadap ortu ada gap yang lebar.
Saking seringnya saya tuliskan, sampai-sampai beberapa teman pernah menghubungi saya lewat DM dan menasihati,
"Rey, apapun yang terjadi di masa kecilmu, semua sudah lewat, maafkan semua kesalahan ortumu dan berhenti mengingat-ngingat kesalahan mereka"
Saya cuman senyum aja membacanya, karena temans tersebut mungkin tidak tahu, betapa proses memaafkan dan menerima ortu bagi saya, tidak lepas dari menulis dan membaca kembali tulisan kisah masa kecil tersebut.
Jadi, di postingan kali ini, saya cuman ingin menceritakan secara garis besar, kisah masa kecil saya yang dulu sempat bikin saya kecewa, bahkan benci terhadap kedua ortu, baik Mama maupun Bapak.
Bapak saya seorang otoriter yang punya masalah dalam mengendalikan emosi. Beliau sering banget memaksa kami, anak-anaknya untuk tumbuh dengan sempurna.
Kami harus juara 1 di kelas (bukan cuman juara loh, tapi juara 1), kami nggak boleh sembarang berteman, hanya boleh berteman dengan anak-anak yang juara kelas.
Kami nggak boleh main sama teman sepulang sekolah, bahkan keluar pagar saja nggak boleh dong. Setelah masuk SD, bapak mengumpulkan semua mainan kami termasuk boneka-boneka lalu dimasukan ke kardus dan ditaruh di plafon, biar kami nggak bisa main lagi.
Padahal ya, tau nggak sih, saya masuk SD usia 5 tahun, jadi sejak usia 5 tahun saya udah nggak pernah bisa main lagi, hahaha.
Kalau kami melanggar, siap-siap aja betis dipukul pakai kayu sampai betis kami biru-biru, bahkan sering kami sampai ngompol di celana, saking sakitnya.
Itu belum ketambahan kalau Bapak berantem eh salah ding, marah dan emosi ke mama, eh kami anak-anaknya juga kena.
Sementara Mama?
Jujur saya dulu kesulitan memahami bentuk cinta beliau kepada kami, anak-anaknya. Di mana ketika bapak marah dan menghukum kami, mama cuman diam aja.
Diamnya mama sebenarnya baik, sengaja dilakukan agar emosi bapak tidak makin membesar. Tapi tindakan mama menjadi sebuah pengabaian di mata saya ketika kecil.
Terlebih, sejak kami kelas 2 SD, mama mulai kerja sebagai tenaga kesehatan di tempat terpencil yang mengharuskan mama jadi benar-benar kayak pelayan masyarakat, hahaha.
Praktis semua waktunya habis untuk pekerjaan dan suaminya yang memang patriarkis banget. Semakin berjarak lah kami dengan mama.
Ada banyak luka yang menjadikan kecewa di hati kami, anak-anaknya, khususnya saya pribadi. Dan itulah penyebabnya saya malah tenang-tenang aja ketika harus terpisah ribuan KM dari mereka.
Karena meskipun setelah kami, anak-anaknya mulai dewasa, bapak dan mama mulai berubah lebih kalem, dan lebih menunjukan berbagai kelebihan mereka dibanding ortu lainnya. Tetap saja hati telah terlanjur kecewa, sehingga seringnya sulit melihat semua perjuangan dan kebaikan ortu.
Baca juga : Resiko Hidup Jauh dari Ortu
Alasan Penting Mengapa Harus Memaafkan dan Menerima Ibu dan Ayah
Pertanyaannya adalah, mau sampai kapan kita akan memelihara rasa benci kepada kedua orang yang telah ditakdirkan melahirkan kita?.
Selain itu, memendam rasa benci dan kecewa kepada ibu maupun ayah hanya akan membuat hidup kita selalu penuh dengan masalah. Entah karena ketidak berkahan karena membenci kedua ortu, ataupun karena mental kita yang akhirnya menjadi terganggu. Dikarenakan tidak pernah bisa melepaskan rasa kecewa, sehingga seolah terus menerus membawa beban di hati setiap harinya.
Dalam garis besarnya, memaafkan dan menerima ibu dan ayah kita, bukan untuk siapa-siapa kok. Bukan semata untuk kedua ortu kita. Tapi semua untuk kebaikan dan ketentraman hidup kita juga.
Meskipun, sekali lagi saya tekankan, tidak mudah memaafkan apalagi menerima kedua pahlawan hidup kita tersebut.
Baca juga : Sebelum Punya Anak, Terima dan Maafkan Ortu Dahulu
Cara Memaafkan dan Menerima Ibu dan Ayah Ala Rey
Lucky me, Alhamdulillah. Allah membukakan mata hati saya, sehingga bisa mellihat sisi positif dari perlakuan Bapak yang terkesan otoriter dulunya.
Justru karena Bapak yang selalu maksa saya harus sempurna, hal itu jadi habit sampai dewasa yang sulit dihilangkan.
Meski ada sisi negatifnya, tapi sisi positifnya juga tak kalah besar, salah satunya adalah, saya tumbuh jadi manusia yang nggak pernah mau diam aja ketika merasa tidak baik-baik saja.
Dan karena itulah saya mencoba banyak sikap, demi bisa berdamai dengan masa lalu, memaafkan dan menerima semua tentang mama dan Bapak, dengan cara:
1. Menciptakan jarak
Jarak adalah satu satu pengaruh besar dalam perjalanan mental saya menerima kedua orang tua. Karena berpisah begitu jauh dan lama dengan orang tua.
Dan pisahnya pun nggak tanggung-tanggung, pisah bagaikan anak tanpa keluarga dong saya. karena sejak dulu mama dan bapak jarang bisa menghubungi anaknya di 'negeri orang' ini.
Bahkan di zaman digitalisasi membuat jarak tak masalah lagi, mama bahkan jarang hingga tak pernah mau membalas pesan atau mengangkat telepon dari saya.
Awalnya hal itu bikin saya semakin kecewa, tapi ternyata sisi positif lainnya, hal itu bikin saya punya 'ruang' untuk menikmati rasa kecewa, lalu pelan-pelan bisa memaafkan dan menerima perlakuan kedua ortu sejak kecil.
Baca juga : Tentang Mudik dan Pembelajaran Buat Anak dan Ortu
2. Banyak-banyak membaca kisah orang lain, terutama tentang hubungan dengan ibu dan ayahnya
Hal lain yang bisa membantu saya memaafkan ortu adalah, karena saya rajin membaca (serta mendengar) kisah orang lain.
Entah itu kisah hubungan mereka terhadap ortunya, yang mana mau sebaik apapun ortu di mata anaknya, ternyata ya punya sisi negatif juga (di mata anak).
Jadi saya mulai berpikir dan menyadari, bahwa semua anak sebenarnya dikaruniai hal yang sama. Dikasih ortu yang sama kayak anak lainnya. Bahkan ketika ada anak yang sejak kecil terpisah dari ortunya, Allah akan 'bayar' semua 'kekurangan' anak itu, meskipun tidak dia dapatkan dari orang tuanya.
Ini termasuk membaca kisah masalah lain dari orang lain, saya jadi semakin paham, bahwa setiap manusia memang berbeda tantangan dan ujian hidupnya, ada yang diuji dengan ortunya, ada juga dengan hal lain.
3. Banyak-banyak menuliskan perasaan diri, lalu dibaca kembali
Menerapkan rasa penerimaan di hati, lebih terasa saya dapatkan ketika rajin menulis perasaan diri dan membaca kembali tulisan tersebut.
Jujur ya, ini jauh lebih work buat saya ketimbang curhat, bahkan curhat ke psikolog sekalipun.
Mengapa? Karena menulis bikin saya jauh lebih plong, bisa bebas menuangkan isi hati tanpa diinterupsi siapapun. Kalaupun merasa tulisan itu 'nggak perlu' dibaca orang lain, masih banyak opsi untuk menulis, salah satunya dengan bikin blog yang cuman bisa dibaca oleh saya sendiri, hehehe.
Baca juga : Tips Menulis Kisah Pribadi Dengan Mudah
4. Mengingat hal-hal positif tentang ibu dan ayah
Pernah dengar sebuah ceramah, kalau manusia itu ada batasnya.
"Sebaik-baiknya manusia, nggak ada yang baiknya sempurna kayak malaikat, dan sejahat-jahatnya manusia, nggak ada yang jahatnya menyamai setan"
Demikian juga dengan ibu dan ayah kita.
Se'jahat-jahat'nya mereka di mata kita sebagai anak, pasti ada satu dua momen yang bikin kita merasa beruntung memiliki mereka.
5. Menikmati peran sebagai orang tua (ibu)
Selain jarak, hal terbesar yang paling mempengaruhi perjalanan saya 'menerima' kedua orang tua adalah, setelah saya jadi orang tua juga.
Dengan menikmati peran sebagai ibu secara mendalam, akhirnya saya mengerti semua tindakan Mama kepada saya, demikian juga tindakan Bapak.
Dan karenanya, saya bisa memahami, memaafkan, menerima hingga merasa damai dengan semua hal yang telah terjadi dahulu.
Saya menyadari, bahwa semua hal-hal menyedihkan yang dulu terjadi, dikarenakan karena being a parent itu nggak mudah.
6. Menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dan cerita yang sama
Hal terakhir yang saya lakukan sehingga bisa memaafkan dan menerima kedua orang tua adalah, dengan menyadari sepenuhnya, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dan cerita yang sama.
Mau memilih ortu manapun, kita pasti akan menghadapi ujian yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jadi saya berhenti berandai-andai, apalagi memilih ujian sendiri.
Misal,
"Saya lebih pilih ini, daripada punya ortu begitu!"
Padahal ya, kalau saya dikasih pilihan tersebut, belum tentu mampu menghadapinya, karena Allah yang Maha Mengetahui batas kemampuan hamba-Nya.
Baca juga : 8 Cara Meminta Maaf Kepada Ibu
Kesimpulan dan Penutup
Hampir setiap orang punya inner child, di mana penyebabnya adalah sikap orang tua, baik ibu maupun ayah yang meninggalkan rasa kecewa, bahkan trauma di hati anak dan terbawa hingga dewasa.
Hal ini yang menjadi alasan, ada banyak orang yang memendam rasa kecewa bahkan benci kepada ortunya. Namun, mau sampai kapan membawa 'beban' tersebut?.
Karena sejauh apapun kita pergi, hanya memaafkan dan menerima ibu dan ayah yang bisa membuat hati kita tentram.
Berat memang, tapi bukan berarti tidak mungkin bisa. Setidaknya beberapa hal di atas bikin saya sampai di masa, bisa tenang karena insya Allah telah memaafkan dan menerima sikap orang tua dahulu.
How about you, Temans?
Sidoarjo, 15 Juni 2023
Sumber: Opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Demikian artikel tentang cara saya memaafkan dan menerima ibu dan ayah, semoga menginspirasi.
Setuju banget mbak Rey. Memaafkan dan merelakan itu hal yang sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses panjang yang harus dilalui, dan hanya waktu lah yang seringnya bisa menjawab kapan kelak kita akan bisa bertemu dengan kata maaf yang paling tulus dari dalam hari.
BalasHapusTapi ya memang benar, kita memaafkan bukan demi kedamaian orang lain. Kita memaafkan agar bisa lebih berdamai dengan diri kita sendiri.
Baca ini siang2 mewek dong, hiks.
BalasHapusDulu aku iri ke anak yg bisa deket ama mamanya.
Mamaku hampir seperti itu, perfeksionis, walau gak sampai main tangan sih. Cuma didorong terus untuk jadi juara, dibandingkan dengan orang lain. Lama2 melelahkan.
Apalagi kita juga sama Rey, masuk SD usia 5,5 tahun. Kebayang stressnya jadi yang paling kecil sendiri di kelas (dulu aku usia 4 tahun udah bisa baca jadi masuk TK dan SD-nya cepet).
Semoga kita bisa berdamai terus dengan takdir, keadaan, dan juga orang tua.
BTW rumah mama hanya 3 KM dari rumahku tapi aku gak tiap hari mampir, cukup seminggu sekali, itupun dalam rangka menyenangkan Saladin yang senang saat main ke rumah kakek.
Memaafkan dan merelakan orang tua itu jadi proses panjang yang sampai saat ini masih dalam proses di diri saya. Kadang-kadang ketrigger ketika orangtua mengatakan sesuatu tapi biasanya sudah tidak seemosi sebelumnya.
BalasHapusbelajar memaafkan orang yang tidak pernah minta maaf itu memang berat. Tapi ini bisa jadi sarana untuk move on dan membebaskan diri dari beban yang selama ini mengganjal di hati saya.
Sepertinya memang tipikal orangtua zaman dulu selalu begitu dalam mendidik anak. Dan akibatnya mungkin banyak kita temui orangtua generasi masa kini yang jadi lost dengan anaknya karena innerchild yang dialami masa kecil dengan segala "larangannya"
BalasHapusAku menyadari ini karena melihat cara pengasuhanku dan suami jauh berbeda.
Dan ini sebenernya double standar yang jadi masalah.
Semoga Allah selalu bantu mengarahkan yang terbaik untuk hati ini. Berusaha menyembuhkan innerchild agar berdampak baik untuk diri sendiri dan bagi pengasuhan yang kita wariskan kepada anak-anak.
berdamai sama inner child itu memang butuh proses dan waktu yaa. alhamdulillah sekarang mbak rey sudah bisa berdamai dengan perlakuan orang tua di masa kecilnya. setidaknya ini bisa menjadi pembelajaran juga bagi kita saat menjadi orang tua
BalasHapus