Sejujur-jujurnya, pengen banget untuk bisa mengakui dan divalidasi, tentang perasaan saya yang tidak kuat mengasuh dua anak sendirian.
Ini bukan semata lelah mengurus anak-anak sih ya. Masakin mereka, nyuapin anak biar makannya habis dan banyak, mandiin biar lebih bersih, gosokin giginya, temanin main dan belajar.
Mendampingi si kakak dalam kesehariannya, memastikan dia melakukan semua kewajibannya, sebelum menikmati haknya.
Nyuci baju, dan lain sebagainya termasuk belanja, antar jemput dan apapun kerjaan mamak-mamak RT itu.
Tapi lebih ke 'sering merasa sedih ketika menyadari, kalau saya benar-benar sendirian sekarang'.
Sedih, ketika anak-anak sakit, nggak ada teman buat berbagi kepanikan. Ketika anak-anak dapat masalah di sekolah lalu gurunya menegur saya, nggak ada teman buat sama-sama menghadapinya.
Ketambahan, ketika waktu tagihan sewa kontrakan semakin dekat, deg-degan banget menghadapinya, takut diusir empunya tempat ini. Kalau cuman sendirian sih nggak masalah, tapi kan ini sama anak-anak, hiks.
Capek banget rasanya.
Baca juga : Berdamai dengan Depresi Dalam Mengasuh Anak Ala Rey
Cerita Sedih Mengasuh dan Bertanggung Jawab Atas 2 Anak Seorang Diri
Iya, sudah sekitar kurang lebih 4-5 tahunan, bisa dibilang saya harus mengasuh dan bertanggung jawab atas 2 anak seorang diri.
Semenjak papinya makin error dan depresi dengan ketidak suksesannya sendiri. Jadinya pelan-pelan suka kabur tanpa kabar, lalu makin hari semakin berkurang rasa khawatir terhadap semua kebutuhan anak-anaknya.
Dan tentunya, mau nggak mau anak-anak bergantung ke maminya semua.
Di sisi lain, saya hanyalah sesosok wanita biasa, yang nggak bisa sehebat wanita lain, di mana bisa cari uang, biar kata sambil mengasuh anak-anaknya.
Kalau semata untuk biaya hidup beberapa waktu, mungkin bisa. Tapi kalau untuk biaya pendidikan dan lainnya, jujur hingga saat ini, saya belum mampu.
Bagaimana bisa mampu kan ye, orang waktu saya habis buat mengasuh 2 anak sendirian.
Kebutuhan hidup anak-anak zaman now itu banyak loh, dan semakin bertambah zaman, anak-anak juga semakin butuh pendampingan orang tuanya langsung.
Pegimanalah saya bisa berikhtiar penuh untuk bisa mengasuh dan membiayai anak-anak tanpa berharap dan sakit hati sendiri akan peran ayahnya. Sementara waktu yang saya punya sangat sangat terbatas.
Tidak akan pernah bosan saya mengatakan, betapa waktu para perempuan sebagai IRT tanpa ART mengurus anak itu, udah habis. Sulit kalau mau ditambah lagi harus begini, harus begitu.
Buktinya? coba deh Temans baca di banyak postingan para blogger yang ikut challenge KEB tema hari pertama. Di mana banyak yang nulis alasan mereka jarang ngeblog, apa alasan terbanyak? sibuk! sibuk urus anak, hahaha.
Di sisi lain, saya hidup berjauhan dengan keluarga kandung. Ya meskipun itu juga nggak ngaruh banyak sih ya, karena kalau dekatan juga, manalah saya tega membebani mama saya untuk bantuin jagain anak-anak kan ye.
Ada sih keluarga papinya anak-anak, tapi saya sudah sampai di tahap membenarkan pepatah yang mengatakan, seburuk-buruknya keluarga sendiri, masih lebih baik ketimbang keluarga mertua atau ipar *uhuk.
Bukan karena eyang dan budhe anak-anak jahat ya, tapi emang... ya gitu lah.
Intinya, saya terpaksa harus menerima kenyataan, kalau saat ini ya harus bertanggung jawab atas anak-anak sendiri. Mengurus mereka sendiri, menelan semua beban dan kepahitan sendiri.
Alhamdulillah sih, hidup selalu berjalan ya, jadinya nggak cuman yang sedih-sedih aja datang pada saya. Banyak juga kok momen membahagiakan saya bersama anak-anak, meski kami hanya bisa rayakan bertiga saja.
Baca juga : Mengasuh Anak itu Mudah dan Menyenangkan, Asalkan
Hidup Sendiri Itu Berat, Apalagi Punya Suami dan Keluarga, Tapi Berasa Tak Punya
Meski saya selalu memaksa pola pikir dengan pemikiran, bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi nggak dipungkiri sih ya, kalau sebenar-benarnya, hidup sendiri itu berat, pakai banget pulak.
Akan terasa lebih berat lagi, kalau menyadari bahwa sebenarnya saya masih punya suami, saya juga masih punya mama dan kakak, tapi berasa sebatang kara.
Itu rasanya double sedih dan berat.
Merasakan ketika anak-anak sakit, melihat anak rewel, panas tinggi, sampai muntah-muntah, terus anak jadi lemes, tatapan mata lemah.
Ya Allaaaahhh, hanya bisa nangis dan membujuk anak-anak agar jangan sakit, maminya sedih liat mereka sakit.
Ketika akhirnya anak-anak bisa tertidur, saya hanya bisa memandangi wajahnya, memegang dahinya yang panas. Sambil menghapus air mata yang sulit dihentikan.
Ingin rasanya berbagi beban yang ada di hati, tapi tak tahu harus berbagi dengan siapa. Ingin rasanya, bersandar di bahu seseorang, agar kekuatan saya kembali datang.
Tapi, lagi-lagi hanya bisa mengusap air mata, ketika menyadari, kalau hanya 2 lengan kecil milik anak-anak yang bisa saya andalkan.
Dalam situasi seperti itu, kemudian tak sengaja melihat atau membaca pengalaman orang, yang mengatakan betapa beruntungnya mereka, punya suami tempat berbagi beban. Atau punya ibu yang selalu peduli ke anak-anaknya, meski anaknya juga sudah beranak.
Rasanya campur aduk, antara sedih dan iri akan keadaan mereka.
Sungguh menyedihkan jika hidup tak punya banyak pilihan, meskipun memang ujungnya saya lantas bersyukur, karena tak punya banyak pilihan, jadinya saya belajar untuk menghadapi kehidupan, dan akhirnya bisa menerima kalau hidup ya emang tempatnya lelah, sedih dan lainnya itu.
Karena kita sekarang belum di surga yang bahagianya stabil.
Baca juga : Ketika Suami Tak Peduli Perasaan Istri, Maka Ini yang Saya Lakukan
Bertahan, Belajar Menerima Hidup Melalui Menulis
Iya, kondisi ngenes karena tidak punya banyak pilihan kayak perempuan lain. Perempuan-perempuan yang sering banget komporin istri-istri kayak saya buat bercerai saja.
Lah padahal, kalau udah cerai, terus gimana?
Apakah setelah cerai masalah saya selesai? kagak!. Nambah masalah baru adanya, hahaha.
Perempuan-perempuan yang punya pilihan banyak, memang bisa memutus kesedihannya dengan segera. Karena mereka punya support system yang terbaik.
Entah itu orang tuanya, keluarganya atau memang sebelumnya sudah punya karir yang bisa menghidupi anak-anaknya.
Nah, saya berbeda dengan itu, nggak punya siapa-siapa, terlebih setelah almarhum bapak saya meninggal. Satu-satunya ortu yang masih peduli dengan anaknya ini.
Sekarang, mau nggak mau semuanya harus saya hadapi sendiri, nggak ada jalan mundur, atau juga jalan pintas. Karena anak-anak, keduanya bergantung penuh ke saya.
Karena itulah, saya akhirnya bertahan untuk tetap tegar menghadapi dunia, yang ternyata memang tidak lantas membunuh saya meski rasanya kok, pengen mati saja, hahaha.
Tidak hanya bertahan, karena memang saya tidak suka hidup susah. Jadinya saya juga belajar bagaimana caranya agar bisa hidup dengan baik dan selalu kuat.
Dan memang ketemu caranya, salah satunya ya dengan menulis.
Saya, salah satu perempuan yang bisa mengatakan dengan lantang, betapa menulis itu sangat membantu menjaga kesehatan mental wanita.
Bagi yang pernah menyimak teori yang disampaikan oleh dr Aisyah Dahlan, tentang otak perempuan yang memang disetting butuh mengeluarkan 20.000 kata setiap harinya.
Bahkan seorang perempuan yang introvertpun butuh itu, dan bagi yang berstatus istri, sangat butuh telinga suami untuk menampung 20.000 katanya tersebut.
Well, sejatinya ada cara lain sih untuk menampung jatah ribuan kata itu, misal dengan shalawat kan ye. Tapi percayalah, setan tak akan tinggal diam membiarkan perempuan hanya bershalawat melulu, tanpa ngomel, hahaha.
That's why, sejatinya seorang perempuan, apalagi seorang ibu rumah tangga ya, sangat butuh telinga, yang aman sih telinga suaminya.
Tapi, bagaimana kalau kondisinya kayak saya? masih tercatat punya suami, tapi suaminya entah ke mana?.
Alhamdulillah, bersyukur tanpa henti, Allah kasih saya di kondisi punya suami, tapi berasa nggak punya. Karena Dia membekali saya dengan hobi menulis.
Iya, sudah terlalu sering saya tuliskan manfaat dan alasan saya rajin menulis. Banyak banget manfaatnya buat saya, dan yang paling penting adalah, menulis jadi sarana saya mengeluarkan 20.000 kata, termasuk sarana buat mengurai beban yang terasa berat di pundak saya, melalui uneg-uneg di hati.
Begitu banyak tulisan yang saya torehkan. Bisa dilihat ada sekitar hampir 1500an tulisan di blog ini, dan nyaris 1000 tulisan juga di beberapa blog lainnya.
Ada juga beberapa blog pribadi yang nggak dibuka untuk umum, kadang juga nulis di media sosial. Rasanya, tersalurkan banget semua beban hati.
Dan here i am now.
Meski masih berada di kondisi yang ngenes, harus mengasuh dan memikul tanggung jawab anak dua seorang diri. Tapi Alhamdulillah saya masih kuat berdiri, belum sampai bunuh diri, meski udah pernah nyoba sih, hahaha.
Tapi, semakin ke sini, Alhamdulillah saya merasa lebih kuat dan tenang, karena sudah belajar menerima kehidupan melalui menulis.
Sudah yakin kalau semua akan baik-baik saja.
Mulai belajar yakin dan mengerti cara kerja kehidupan semua manusia, di mana saat ini bahagia, mungkin beberapa jam ke depan akan sedih.
Belajar hidup dengan tenang, tidak melayang dan lupa diri ketika bahagia, karena menyadari semua itu akan berlalu.
Dan tidak juga bersedih berlebihan ketika sedang merasa tak baik-baik saja, karena sudah yakin, semua akan berlalu, kesedihan akan berlalu.
Dari mana saya bisa menemukan pola pikir demikian? ya dari mana lagi kalau bukan dari menulis. Karenanya, betapa menulis memang sangat berperan terhadap kesehatan mental perempuan.
Baca juga : Kisah Inspiratif Nyata, tentang menerima kondisi hidup
Kesimpulan dan Penutup
Sejujurnya, saya tidak kuat mengasuh dan mengurus 2 anak sendiri. Apalagi ketika anak-anak sakit, atau punya masalah di sekolah atau hidupnya. Menghadapi kondisi itu sendirian sangatlah menyiksa dan berat buat saya.
Tak punya tempat mengadu dan teman menghadapi semua masalah bersama-sama, bikin saya merasa sedih hingga merasa depresi.
Namun bersyukur saya dikasih hobi suka menulis, dan memang sudah dirasakan betapa menulis membantu saya untuk bisa lebih tenang dalam menghadapi ujian hidup.
Karenanya, saya sangat setuju, jika menulis itu sangat berperan terhadap kesehatan mental perempuan, terlebih untuk seorang ibu.
Surabaya, 23 Oktober 2023
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by ReyBlogger
Tulisan ini diikutsertakan dalam challenge Ngeblog Asyik Bareng KEB
semangat mba rey.... meski tidak punya pengalaman yang sama tapi ada suatu titik juga dimana aku juga pernah ingin bunuh diri tp ngga jadi karena ngelihat anak. Sedih banget kalo diingat lagi. memang menjadi ibu saja sudah punya beban sendiri ditambah keadaan yang tidak mendukung itu rasanya ingin menyerah hidup.
BalasHapusSemangat selalu untuk kita :)
Hapus