Hari Natal itu mengingatkan saya akan kenangan masa kecil yang hampir terlupakan. Btw, nulis tema kayak gini, si Rey kudu siapin mental banget, biar nanti kalau ada akun anonim komen jutek.
"Ih, muslim kok bahas Natal!"
Sejujurnya ini cuman bercerita tentang momen masa kecil saya dong, bukan untuk memperingati hari besar agama Kristen dan Katolik ini.
Saya kan lahirnya di Minahasa Utara.
Ortu memang orang asli Buton, tapi mereka dulu nikahnya nggak direstuin, khususnya oleh keluarga mama. Jadinya memilih menjauh dari keluarga di Buton, dan memilih Minahasa sebagai tempat tujuan.
Kebetulan, waktu itu masih ada saudara Bapak di sana, makanya mereka ke sana.
Dan karena itu pula, saya dan Kakak, lahirnya di Minahasa, which is mayoritas penduduknya adalah non muslim. Setidaknya dulu ya, kalau sekarang, tauk deh.
Meski awalnya ortu ke sana dengan tujuan ke rumah saudaranya, tapi nggak lama kemudian, bapak berhasil hidup mandiri.
Bisa membangun rumah buat anak istrinya, bahkan hidup jauh dari saudaranya tersebut. Ditambah bapak emang seseorang yang ekstrovert, mudah akrab dengan siapa aja, suka banget punya banyak teman. Jadilah kami keluarga kami akrab dengan para tetangga yang notabene non muslim.
Bahkan, nama saya dan Kakak, Jouke, diberikan sama tetangga di sana.
Makanya, nama saya dan kakak, terdengar ke-non muslim - non muslim-an *halah! hahaha.
Dan karena tetangga kami bisa dikatakan hampir semuanya non muslim, kebayang dong betapa ramainya ketika natal dan tahun baru. Dan betapa sepinya ketika lebaran, hahaha.
Meski demikian, kami, saya dan kakak yang terakhir berusia 5 tahunan ketika masih di sana. Samar-samar masih terlintas di ingatan, apa yang kami lewati ketika natal dan tahun baru tiba.
Hari natal di masa kecil ketika kami masih di Minahasa itu, teringat lebih membahagiakan. Karena ketika natal, kami bisa makan kue-kue lebih banyak, pemberian tetangga-tetangga.
Ada kue yang paling saya ingat, yaitu kue yang dibalur gula merah, lalu digulingkan ke kacang tanah yang dicincang. Kalau liat di google sih namanya kue kering kurma.
Kue kering kurma khas Manado | source: unews.id |
Selain itu, ketika hari natal tiba, kami selalu dikasih ayam pedas oleh tetangga. Kayaknya sih ayam rica-rica, tapi pedasnya ampyoooonnnn!.
You know lah di Manado itu, cabenya nggak kayak di Jawa yang gede-gede. Di sana adanya cabe rawit, dan seringnya mereka masak ayam rica-rica atau semacamnya, pakai cabe seliteran, hahaha.
(Oh ya, di sana dulunya, cabe dijual per liter, di Buton juga, tauk deh sekarang).
Saya juga masih mengingat, betapa kami ingin banget makan lauk ayam tersebut, tapi nggak kuat sama pedasnya.
Akhirnya mama punya ide fantastis yang memungkinkan kami bisa makan ayam rica-rica itu. Yaitu dengan mencuci ayam tersebut dengan air masak.
Iya sih, pedasnya berkurang, tapi rasanya juga tawar alias hambar, hahaha.
Kenangan lain yang masih teringat adalah, menjelang natal hingga tahun baru, rumah kami selalu dipenuhi lagu natal. Iyaaaa, bapak saya emang agak laen orangnya, hahaha.
Bapak kan dulu lumayan sukses ketika masih di Minahasa, jadi beliau punya tape dan pengeras suara beragam. Error-nya bapak, bukan hanya punya kaset lagu-lagu dangdut kesukaannya, atau lagu pop kesukaan mama. Juga lagu anak-anak buat saya dan kakak.
Bapak juga beli kaset lagu natal dong, hahaha.
Jadi, dulu tuh saya lebih hafal lagu Malam Kudus, ketimbang shalawat.
Ebentar, malah saya nggak ngerti, shalawat kek gimana, astagaaahhh, semoga Allah mengampuni Bapak, aamiin.
Ketika pindah ke Buton, semua perlengkapan musiknya dibawa, dan iyes! hobi Bapak menyetel lagu natal ketika hari raya agama Kristen itu, masih terus berlangsung. Sampai akhirnya keuangan keluarga kami memburuk di Buton, dan akhirnya bapak merelakan semua barangnya dijual, termasuk perlengkapan musik tersebut.
Setelah pindah ke Buton, ekonomi keluarga memang jadi menurun drastis. Dan hal itu sukses bikin kami tidak bisa terlalu menikmati momen lebaran.
Bahkan, momen lebaran tuh hanya ada hal-hal yang bikin sedih. Di mana ketika mama nggak bisa beliin baju lebaran buat kami, sementara semua anak punya baju baru.
Atau, momen lebaran tuh jadi momen buat saya dan mama jadi pembokat di rumah sendiri. Gara-garanya setiap lebaran, semua keluarga ngumpul di rumah kami, karena rumah kami paling dekat dengan makam kakek nenek, ortu mama.
Jadinya saudara-saudaranya datang, lengkap dengan anak-anak dan bahkan tetangganya. Dan tentu saja kami harus melayani sebaik mungkin. Sementara, kalau kami ke rumah mereka, bahkan harus lewat pintu samping atau belakang, hehehe.
Hal demikian, bikin saya menolak mengingat momen lebaran, dan jadilah di pikiran saya, bahkan lebih ingat dengan momen natal. Ya karena ketika natal di Minahasa, kami berasa ikut merayakan dengan gembira.
Gara-gara momen natal yang membekas di pikiran saya, dan juga kakak saya. Dulunya, ketika kakak nggak marah sama saya, setiap natal pasti menelpon dan ngasih ucapan,
"Selamat Natal, Rey. Kamu masak lauk apa di sana?"
Wakakakakakak...
Itu bercanda ya gaesssss! hahahaha.
Untung juga sekarang komunikasi saya dengan kakak terputus, jadinya kami nggak bercanda seperti itu lagi. Karena kalau ketahuan si Kakak Darrell, bakalan kena protes dan saya, hahaha.
Anyway, sebenarnya natal juga nggak hanya membekas di masa kecil saya aja. Ketika kuliah juga saya selalu melewati momen yang bikin selalu ingat malam kudus, eh natal.
Gara-garanya, dulu ketika kuliah, saya kan belum berjilbab. Dengan nama yang nggak ada kaitannya dengan muslim. Ditambah wajah saya tuh mirip orang NTT kata mereka, hahaha. Jadilah setiap menjelang natal, selalu ditanya,
"Rey, kamu gerejanya di mana?"
Sungguh bosan menjawab, kalau saya seumur-umur nggak pernah ke gereja, hahaha.
Jadi begitulah, mengapa hari natal selalu mengingatkan saya akan kenangan masa kecil dan masa lalu. Kalau Temans, gimana? Liburan natal dan akhir tahun ini, ke mana?
Surabaya, 25 Desember 2023
Some people asked me, "Are you muallaf?"
BalasHapusOr
When i was bringing a birthday cake (coz i was born at December) they wer thinking that it was an Xmas cake.
Moral of this story: hijab is an identity. When i was not wearing a hijab they thought that i was a nonis.
hahaha iyaaa, pokoknya apa yang berkaitan dengan Desember,mostly dipikir Kristen :D
HapusDan benar banget, jilbab itu identitas Muslim banget, diriku kerasa banget mah
Ntah kenapa kenangan masa kecil di mana sepertinya Orang2 ga terlalu fanatik dan masih sangat toleran, bikin rindu memang. Keluargaku Batak asli, dan kami pun beragam agamanya Rey. Ada sebagian keluarga papa yg Kristen, keluarga mama juga ga semua muslim. JD buat kami perbedaan itu biasa. Tapi ntah sejak kapan, papa JD berubah fanatik dan seperti tidak menghargai. Sejak itu juga, hubungan kami agak renggang dan sebaiknya menjauh, drpd berantem Mulu termasuk soal toleransi.
BalasHapusInget juga zaman natal kami sekluarga kdg bertamu ke rumah tetangga yg non muslim..mereka pun saat lebaran juga datang. Sedih kalo ingat itu, Krn berasa banget bedanya dengan Skr 😔. Itu juga kali yaa, yg bikin aku ga terlalu tertarik merayakan lebaran Skr ini.
Tiap lebaran yg ada kami malah ngungsi ke hotel.
Sudahlaah, kalo Skr mah, aku fokus Ama ibadah nya aja, puas udh pasti jalanin, sholat. Tapi urusan perayaan kayak idul Fitri, aku udh lama ga rayain 😄. Palingan cuma Salamin tetangga kiri kanan, trus langsung cabut kemana gitu ðŸ¤
Iyaaaa, dulu keknya yang namanya toleransi lebih baik, atau mungkin dulu ga ada medsos kali ya, jadinya orang-orang nggak ikut-ikutan jadi kayak nggak ada toleransi.
HapusBtw samaaa, saya juga kek nggak pernah lagi menikmati lebaran yang utuh, seringnya lebih suka jalan-jalan ke mall aja pas lebaran :D
Pengalaman yang unik. Sampai2 setiap natal ditanya gereja mana. Bagi kami orang kampung yang 100% muslim, hari raya merupakan momen yang indah dan harus dirayakan dengan gembira.
BalasHapusIya Bu, karena menurut mereka , wajah saya kek non muslim :D
Hapus