Normalisasi menghakimi di postingan media sosial orang tuh, kayaknya makin merajalela ya. Sering banget tuh kita lihat di akun medsos para artis, influencer atau semacamnya.
Kolom komentarnya tuh kebanyakan dipenuhi dengan tulisan yang baik. Tapi yang bikin sakit hati karena dikomenin menghakimi, baik secara halus maupun terang-terangan juga banyak.
Apalagi sekarang kan lagi trend tuh yang namanya Julid Fisabilillah.
Itu tuh sebutan buat orang-orang yang tak kenal lelah memenuhi kolom komentar akun medsos yang pro Israel atau orang-orang Israel. Dengan komentar julid, menghakimi sampai menjatuhkan mental ke dasar jurang empunya.
Lucunya, itu banyak yang berhasil loh.
Beberapa postingan di medsos menggambarkan, kalau beberapa orang sampai memohon agar netizen, khususnya dari Indonesia, berhenti menjatuhkan mentalnya.
Saya adalah satu dari sebagian orang yang tidak ikutan hal tersebut. Bukan karena nggak pro Palestina sih, tapi jujur saya bingung mau julidin gimana? hahaha.
Dan mungkin juga, saya jarang terbiasa mengomentari hal-hal yang tidak terjadi langsung pada saya. So, saya memutuskan jadi penonton saja, dengan kiprah pro Palestina saya, pakai cara lain aja deh.
Jujur, meski nggak masalah dengan aksi julid fisabilillah tersebut. Tapi saya jadi takut, orang-orang makin terbiasa, suka julid di postingan semua orang.
Di mana hal ini memang udah terjadi, jauh sebelum adanya julid fisabilillah itu.
Begini Ibaratnya Sebuah Kehidupan di Media Sosial dan Postingan Medsos
Mengapa sih kita harus bijak dalam menggunakan media sosial?. Mengapa kita harus menahan jari, untuk tidak sembarang mengomentari postingan orang lain?.
Apalagi, jika postingan tersebut, nggak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kita.
Begini ibaratnya...
Media sosial di zaman sekarang tuh, sebenarnya udah sama dengan dunia nyata.
Ketika kita scroll media sosial, itu ibaratnya kita lagi duduk di teras rumah, lalu memperhatikan beberapa orang yang lewat.
Orang yang lewat itu, ya postingan friendlist atau akun media sosial orang yang kita follow maupun tidak, di medsos.
Bayangkan, ketika ada yang lewat di depan rumah kita, terus orang itu sedang memarahi anaknya. Lalu tiba-tiba kita ikutan juga, memarahi si ibu atau ortu, menasihatinya dampak buruk memarahi anak.
Coba deh renungkan, bayangkan!
Emangnya nggak malu?
hahaha.
I mean, pengen nyanyi rasanya,
"Who do you think you are?"
Hahahaha.
Mungkin ada yang menjawab,
"Makanya, jangan lewat depan rumah orang trus marahin anak di depan rumah saya!"
woeeee woeeee woeeee!!!
Pertama, depan rumah anda itu, adalah milik umum!
Kedua, kalau nggak mau liat ortu marahin anaknya, ya udah, jangan perhatiin jalan raya woeee!
Ada banyak pilihan kok biar nggak perlu menyaksikan hal-hal yang nggak kita sukai, lewat depan rumah.
Bisa dengan, nggak usah perhatiin jalanan!
Atau bisa juga dengan duduk di teras, tapi pakai headset, jadi nggak terganggu dengan keadaan depan rumah sendiri yang memang milik umum.
Dalam dunia media sosial, hal ini bisa disiasati dengan hide, unfollow, unfriend, hingga blokir!
Normalisasi Menghakimi di Postingan Medsos Orang itu Memalukan
Btw, tulisan ini memang terinspirasi dari pengalaman saya, kapan hari agak bete membaca komentar salah satu teman facebook, di postingan FB saya.
Sejujurnya, saya jarang banget menanggapi komentar yang agak menyinggung. Tapi saat itu pas banget lagi ada energi buat mengangkat orang yang suka seenaknya komentar di akun orang lain. Terus pengen dibanting dari ketinggian yang mencengangkan, biar nangis! hahaha.
Jadi ceritanya saya share gambar berita bahwa kasus Covid-19 di Indonesia, dan menyoroti masalah sekolah yang mempermasalahkan murid-murid memakai masker.
Setidaknya di sekolah anak-anak saya kan.
Eh tiba-tiba ada komen, kalau katanya saya menyalahkan orang lain, ketika anak sakit.
Doh ye!
Akoh lagi bahas masker, bisa-bisanya dia asal menghakimi kalau saya nyalahkan orang lain karena anak sakit.
Saya nyalahkan sekolah yang mempermasalahkan anak pakai masker, padahal kita sebagai ortu, luar biasa jungkir balik membiasakan anak pakai masker.
Karena kurangnya kesadaran orang, tau etika ketika sakit harus pakai masker. Karenanya saya membiasakan anak-anak aja yang ngalah, biar kata lagi sehat pakai aja masker, biar nggak ketularan, kayak batuk pilek.
Ye kan, kalau anak akoh sakit, yang uangnya habis buat beli obat, yang capek urusnya, akoh! Bukan teman fesbuk sotoy!.
Masalahnya adalah, bukan hanya komen dengan nada terbaca menghakimi!.
Tapi, diteruskan dong, jadi bahan perdebatan!
Waduhhh waduhhh waduuhhh..... Ini orang keknya lagi sakit mental yak, nggak ada tempat pelampiasan. Jadinya dilampiaskan di postingan facebook orang lain.
Pakai acara bilang,
"Aku mengomentari apa yang lewat di berandaku!"
JANGAN BERTEMAN SAMA AKOH WOEEEE!
Bukankah memalukan, kalau situasinya kayak yang saya gambarkan di atas. Dia duduk manis di terasnya, terus kebetulan saya lewat sambil ngedumel masalah masker, eh tiba-tiba dia ikutan, pakai acara debat berkepanjangan pulak!.
Btw, akhirnya saya nggak terusin debatnya sih, dan nggak tahu dia balas apa.
Seperti biasa, saya males banget berdebat dengan orang gila di medsos, wakakakak.
Iya, saya anggap orang yang suka berdebat di postingan orang lain, apalagi postingan itu tentang pengalaman si empunya. Fix si tukang debat dalam komen adalah gila, butuh bantuan profesional! wakakakaka.
Saya pikir, ini keknya dikarenakan oleh kebiasaan salah di media sosial.
Seringggg banget kita eh saya liat, betapa banyak komentar sotoy di postingan para artis, influencer dan semacamnya.
Dengan alasan,
"Itu resiko jadi influencer!"
Etapi akoh kan bukan influencer fesbuk yak, akoh nggak monetisasi fesbuk. Dan saya pikir, bukan cuman saya satu-satunya, yang pernah mendapatkan komentar sotoy kek gitu.
Kalau cuman sekali sotoy sih nggak masalah, tapi sering loh, udahlah komentar sotoy, eh diajak berdebat panjang pulak!.
Itulah mengapa, beberapa influencer atau semacamnya kadang posting komentar sotoy kek gitu. Bukan karena semata dia baper sebenarnya, hanya karena pas banget momennya dia punya tenaga untuk menjewer orang-orang nggak tahu malu dan sakit mental suka komentar sotoy di postingan orang lain.
Saya pikir, beberapa teman mungkin akan berpikir, kalau,
"Namanya juga media sosial, apa yang kamu tulis dan posting, harus siap dengan resikonya!"
WOEEE WOOEEE WOOOEEEE!
Ini dia nih, pembiasaan hal-hal salah, lama-lama jadi bingung mana yang benar mana yang salah!.
Boleh-boleh saja kita mengomentari postingan orang, termasuk berdebat di postingan orang lain di medsos. Tapi liat-liat temanya dong.
Kalau ada orang yang posting hal-hal yang memang merugikan orang lain, mengarahkan opini yang salah dan merugikan khalayak, wajarlah didebat.
Lah, tapi kalau ada orang yang lagi curhat sendiri, ceritain masalahnya sendiri.
Jangan pamer sakit mental kita deh, dengan sibuk ajak berdebat si empunya postingan. MALU Prend! MALUUUUU!
Dan dalam prinsip saya, pantang banget berdebat di postingan orang, karena sebenarnya sering terjadi, orang salah persepsi
Kayak kemaren saya share postingan seseorang di IGS, postingan tentang susu formula. Saya soroti tentang masalah ekonomi masyarakat yang memang sering disetir oleh persepsi salah tentang 'biar nggak makan, yang penting bisa beli sufor anak!"
Eh ternyata banyak yang protes, kalau sufor itu penting.
Hiks, padahal akoh nggak bilang sufor nggak penting, akoh bilang kalau akoh juga pernah disetir kalau anak harus minum susu, dan maksain minum susu mihil, meski ekonomi kurang.
Begituh! salah persepsi kan! Saya bahasnya apaaa? Orang nangkapnya apa?
That's why, mengapa saya malas berdebat, karena sebenarnya nggak ada yang salah, hanya saja salah mengartikan apa yang diposting.
Kesimpulan dan Penutup
Biar kata sekarang lagi booming julid fisabilillah di akun medsos orang. Plis ya teman, jangan sampai kebablasan, sampai akhirnya terbiasa suka julid, menghakimi dan suka banget berdebat di postingan orang, yang sebenarnya nggak ada sangkut pautnya dengan kita.
Jangan biasakan menormalisasi menghakimi di postingan medsos orang
Karena serius, itu memalukan, Temans!
Ibarat kita pamer, betapa kita sedang sakit mental, aka gila, hehehe.
Btw, ini opini dan pengalaman saya ya, mohon maaf jika ada yang tersinggung. Dan feel free jika tidak setuju.
Berbeda itu wajar, yang nggak wajar adalah memaksakan perbedaan itu, harus diterima semua orang :)
Surabaya, 11 Desember 2023
Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Aku sampe liat LG ke FB mu, dan cuma bisa geleng2 liat kelakuan si mba. Kamu termasuk sabar sih ngeladenin di awal Rey, kalo aku udh block orang tipe begitu. Ga nyambung yg dikomen Ama yg kamu tulis 🤣
BalasHapusMungkin bisa JD dia guru di sekolah anakmu hahahahah
Samaaa, aku ga tertarik ikutan julid fisabilillah itu. Bukan Krn dukung isriwil yaa. Itu mah ga akan pernah sampe mati.tapi cara ku beda kalo utk dukung Palestine. Mending KSH donasi, boikot, dan doa.
Pertama aku juga ga terbiasa nulis pake BHS kasar begitu, walopun tentara2 isriwil lebih sinting kelakuannya. Kedua aku tipe ga suka ribut. Itu butuh energi besar loh, utk bisa menuliskan Kata2 kasar sampe bikin mental down. Jgn dikira cuma nulis Thok . Aku pernah Rey, saking marahnya dengan seseorang, itu bdnku sampe gemeter, jantung berdebar, sampe ngomong aja jadi terbata2, makanya aku tau ga bisa utk ribut terbuka seperti itu . Akh prefer cari cara lain yg ga bikin badanku energinya drop.
Kalo udh soal Palestine, kita cari cara masing2 yg sesuai dengan pribadi lah yaa 😄.
Hahaha, saya nggak kenal juga sih Mbanya itu, tapi kayaknya nama guru si Adik maupun si Kakak nggak ada yang kayak gitu.
HapusEntahlah mungkin dia pernah punya pengalaman disalahin orang, jadinya baper baca tulisan orang lain, hahaha.
Nah iyaaaa, berdebat itu beneran ngabisin energi, kagak ada gunanya juga. Cobak gitu berdebat bisa dapat 100 dolar sekali debat, baru deh saya mau ikutan, hahahaha