Hari ini sungguh nano-nano banget, nggak pernah terbayang seumur hidup bisa merasakan hal yang menakutkan kayak tadi. Iya, 2 kali dikejutkan oleh gempa yang terjadi di Tuban Jatim, tapi efeknya kerasa sampai di Surabaya, dan kencang banget.
3 Kali pulak terjadi dengan skala besar, tapi yang paling kerasa yang ketiga, yang pertama juga kerasa, tapi nggak semengerikan yang ke-3.
Cerita Gempa Pertama 6 SR, Lagi Mandi dan Panik Sendiri
Jadi ceritanya hari ini si Adik nggak masuk sekolah, dia bangun pagi-pagi langsung nangis karena sakit perut. Maminya yang super ngantuk karena semalam cuman tidur sejam doang, abis subuhan tidur sejam juga agak lega juga karenanya, hahaha.
Jadilah saya kasih obat pereda nyeri, trus tawarin makan nggak mau, tanya ke sekolah nggak mau. Dikasih nonton TV, eh sembuh sakit perutnya, hahaha.
Tapi sudahlah, setidaknya maminya bisa tidur sejenak, meanwhile si Adik sibuk nonton sendiri. Nggak sampai 2 jam, saya terbangun dan nawarin si Adik sarapan, dia mau, meski makan nasi sama ayam goreng doang.
Seharusnya sih maminya ini segera beberes, lalu nyuci baju dan mandi, biar bisa segera mulai buka laptop. Tapi karena masih ada beberapa hal di HP yang harus saya lakukan.
Mulai dari share postingan blog di twitter dan instagram, yang ujungnya malah jadi scroll medsos, hahaha. Sampai si Adik selesai makan, terus dia mandi, dan saya bantuin gosok gigi, barulah saya serius mengerjakan ini itu.
Setelah beres, saya segera mencuci pakaian, dan setelahnya mandi.
Kalau itu kayaknya pukul setengah dua belas siang, si Adik sedang nonton TV di luar dan maminya mandi dengan santai.
Ketika baru memakai sabun ke tubuh, terutama di bagian kaki, tiba-tiba saya merasa oleng. Sempat merasa sedih, karena curiga kurang darah lagi nih saya, saking kurang tidur mulu kan.
Tapi kok aneh, kenapa olengnya agak lama? dan berasa mau jatuh gitu.
Seketika saya curiga, ini kayaknya gempa deh. Bertepatan dengan saya menyadari hal itu, terdengar bunyi beberapa sandal berlarian di depan pintu.
Makin curiga lah saya, segera membuka pintu kamar mandi, meski tubuh penuh dengan sabun. Sayangnya, karena tangan saya penuh sabun, dan pintu kamar mandinya bergagang bulat, saya jadi nggak bisa buka pintunya dong, licin.
Dasar tukang panik ya! Ye kan, bisa dicuci dulu buk tangannya, biar nggak penuh sabun, hahaha.
Tapi saya udah panik duluan, teriak-teriak manggil si Adik biar bukain pintu, dan si Adik dengan sigap datang membuka pintu kamar mandi.
Segera saya mengintip keluar pintu, dan saat itulah saya melihat pintu sliding kamar dekat kamar mandi, bergerak-gerak kencang. Makin sadarlah saya, kalau ini tuh gempa.
Sementara itu, bunyi sandal orang berlarian di depan pintu semakin intens, dan saya semakin bingung, astagfirullah, ini pegimana? akoh lagi telanjang woeee, penuh sabun dong!. Masa iya saya jilbaban tapi berlarian di luar cuman pakai handuk dengan tubuh penuh sabun? wakakakaka.
Tapi, kalau bertahan lebih lama, serius saya takut banget.
Karena saat itu kami lagi ada di sebuah gedung di lantai 7, ketika menyadari gempa, seketika nih otak sulit untuk menahan overthinking, teringat gedung yang runtuh di Turki karena gempa dulu.
Untungnya saya segera menahan panik langsung cepat-cepat membasuh sabun di badan, lalu ambil handuk dan keluar kamar mandi. Sambil setengah berteriak saya memerintah si Adik untuk bersiap keluar, ambil masker, minta tolong ambilin kacamata dan masker maminya.
Sementara saya bingung mencari pakaian dan dalaman.
Kocaknya, saking paniknya, saya lupa cara pakai bra, astagaaaaa.... habis juga bermenit-menit cuman memperbaiki kesalahan pakai dalaman itu.
Bukan hanya itu, ketika pakai bajupun, saya bahkan memasukan kepala di lubang tangan baju, ya ampuuunnn, wakkakaka.
Sungguh, antara mau ngakak, tapi ditahan karena di kepala saya cuman ada satu hal, yaitu segera keluar sebelum bangunannya roboh. Lebay amaaattt si Rey ini.
Dengan penuh perjuangan, akhirnya berhasil pakai baju dengan lengkap, pakai jilbab, kacamata, lalu ambil HP, buka pintu, nggak lupa dikunci dulu dan kabur.
Ternyata di luar kamar sudah sepi, orang-orang sudah berlarian menuju tangga darurat.
Masalah berikutnya adalah, saya nggak tahu tangga darurat mana yang buka dan di mana letaknya, akhirnya dengan mengikuti insting dan sisa-sisa suara orang, kami menemukan tangga darurat tersebut.
Syukurlah kami bertemu dengan orang-orang dari lantai atas, yang ngos-ngosan menuruni tangga tersebut.
Saya mengikuti arusnya, tapi sayangnya mereka malah berhenti di lantai 2, dengan anggapan udah aman di situ.
Saya nggak mau dong, bagi saya, aman itu kalau kita udah di lantai dasar dan berada di luar gedung, di titik kumpul aman gedung.
Akhirnya berdua dengan si Adik saya kembali menuruni tangga, dan Alhamdulillah sampai deh ke lantai dasar, dan lega minta ampun setelah menginjak tanah dan berada di ruang outdoor yang lapang dan aman.
Sementara itu, gerombolan orang yang mampir di lantai dua, malah ikutan saya juga semua turun ke lantai dasar.
Langsung deh saya terduduk di lantai, beneran lega, bersyukur tanpa henti, tapi juga lemes, lalu ngakak juga menyadari baju saya yang basah, terutama daleman. Ye kan, saya langsung pakai baju, nggak pakai ngeringin badan dulu pakai handuk.
Cerita Gempa Kedua 5 SR, Terasa Tapi Nggak Sadar
Ada kali 30 menitan kami semua berkumpul di luar, sampai akhirnya satu persatu memutuskan masuk, karena dirasa udah aman. Saya dan si Adik juga ikutan, sambil berdoa semoga nggak ada lagi gempa susulan.
Namun, entah karena kami trauma, rasa-rasanya kok sering oleng ya. Ketika sampai di lantai 7 kembali, dan kami berjalan ke kamar, tiba-tiba terasa oleng lagi, belum juga menyadari apa yang terjadi, sebuah pintu terbuka dan ada orang yang hendak lari keluar.
Tapi, setelah melihat saya dan si Adik malah masuk, mereka ikutan masuk kembali ke kamarnya. Saya pun belum nyadar dong, kalau ternyata barusan itu gempa sebenar 5 SR.
Dan sepertinya, orang yang hendak keluar kamar tadi juga nggak nyadar, dia pikir itu cuman perasannya aja kalau oleng, saking trauma barusan kena oleng gempa yang agak lama.
Nggak lama kemudian, si Kakak pulang dari sekolahnya, dan dia mengabarkan kalau ada gempa susulan. Saya liat dong di aplikasi BMKG, dan baru sadar ternyata ketika berjalan di lorong tadi dan terasa oleng, itu gempa, bukan cuman perasan semata.
Cerita Gempa Ketiga 6,5 SR, Takut dan Panik Sekaligus Pasrah
Setelah gempat pertama dan kedua tersebut, saya putuskan untuk tetap ngendon di kamar aja. Sebelumnya saya kelarkan mandi dulu, dan setelahnya shalat lalu buka laptop.
Namun masih trauma kan, jadi saya putuskan untuk tetap pakai celana panjang, biar kalau ada gempa susulan, nggak ribet cari celana.
Keadaan selanjutnya tenang, saya bisa membuka laptop dan mengerjakan beberapa hal yang harus dikerjakan. Sementara anak-anak bermain berdua.
Setelah adzan ashar tiba, segera saya ajak anak-anak shalat. Nah ketika mau wudhu, saya tersadar deh kalau pakai celana panjang, seketika dibuka dan ganti celana pendek, biar nggak gerah ketika shalat.
Selepas shalat saya kembali di depan laptop, menulis dan sesekali scroll medsos sampai di hampir pukul 4 sore, tiba-tiba saya mulai curiga gempa lagi, karena kepala terasa sangat oleng.
Belum juga terjawab kecurigaan saya, keadaan makin berguncang, reflek saya memperhatikan pintu sliding dekat kami, dan ternyata bergoyang hebat.
Seketika saya istigfar ketakutan, memanggil anak-anak mendekat untuk masuk di bawah meja kecil yang ada. Tapi, getaran belum juga berhenti, saya ketakutan minta ampun, segera memeluk anak-anak dan kaki meja. Mulut tidak pernah berhenti berdzikir, teriak memanggil Allah, diikuti oleh si Kakak.
Getaran belum juga berhenti, rasanya jantung saya sudah hampir copot, sampai akhirnya saya pasrah sambil memeluk kedua anak-anak, dalam hati saya berpikir, kalaupun kami jatuh bersama bangunan ini setidaknya saya tetap bersama anak-anak.
Nggak usah tanya suara dari kamar lain, teriakan ketakutan, menanti getaran bangunan berhenti. Nggak sampai setengah menit sih, tapi jujur rasanya lama bangeeettt menanti getaran itu berhenti.
Sudah sangat pasrah dah kalau-kalau bangunannya rubuh.
Sampai akhirnya saya merasa kalau getaran yang terjadi mulai berkurang, dan seketika terdengar bunyi sandal berlarian dari depan kamar.
Nggak menunggu lama lagi, segera saja ajak anak-anak untuk keluar, saking paniknya saya lupa dong pakai jilbab, karena nggak hafal juga sebelumnya simpan tuh jilbab di mana?.
Bukan hanya nggak pakai jilbab, saya juga lupa pakai celana panjang, dan menyesali diri karena setelah ashar nggak kembali pakai celana panjang.
Tapi daripada kelamaan nunggu ini itu, nyari ini itu, akhirnya saya pede aja keluar nggak pakai jilbab, dan nggak pakai celana panjang.
Ketika sampai di tangga darurat lagi, ternyata ada banyak banget orang yang turun dengan kondisi yang juga beragam. Ada yang sambil nangis, ada yang cuman pakai celana kolor, ada yang pakai celana pendek tapi pakai mukena.
Sepertinya bukan kami satu-satunya yang shock banget dengan keadaan yang baru saja terjadi. Dan ketika sampai di luar, terlihat banget ada begitu banyak orang berkumpul, jauh lebih banyak dari gempa yang pertama melanda siang itu.
Sambil ngos-ngosan, saya duduk di lantai. Kepala terasa berat, karena begitu lama merasakan getaran bangunan yang bergoyang-goyang, ketambahan pas turun tangga darurat, semacam memutari sebuah tangga aja, jadinya makin puyeng dan oleng.
Si Adik dan kakak langsung menghalangi saya dari pandangan orang, secara maminya ini nggak berjilbab, pakai celana pendek pula.
Untung aja ketika itu saya pakai celana yang nggak terlalu pendek.
Sekitar 30 menitan lebih kami di luar, akhirnya kami putuskan untuk masuk kembali, meskipun jujur parno banget.
Sampai di atas saya akhirnya mengajak anak-anak cari takjil saja sekalian beli makanan buka puasa. Si kakak pun saya larang buka puasa di masjid, karena takutnya gempa besar kembali terjadi.
Dan dengan terburu-buru, tak henti istigfar dan memanggil nama Allah, kamipun berhasil ganti baju dan keluar dari gedung tersebut.
Ternyata Mati itu Menakutkan ya!
Sambil berjalan menyelamatkan diri ke luar bangunan ketika tadi, saya jadi berpikir satu hal. Di mana dalam hidup ini, kadang saya merasa ingin berhenti dan menyerah.
Rasanya pengen mati aja, biar beban tak lagi terletak di pundak saya.
Tapi, boro-boro mati beneran ya, bahkan digoncang getaran gempa yang insya Allah masih aman, yang ada udah panik nggak karuan dan ketakutan setengah mati rasanya.
Mengapa harus panik kan ya, kalau selama ini merasa beban tak lagi sanggup kita pikul. Kan kalaupun kenapa-kenapa dengan gedungnya dan saya akhirnya tewas, bukankah kadang itu yang saya pikirkan ketika terpuruk sendiri?.
Tapi kenyataannya, kayaknya mati itu menakutkan ya.
Sampai-sampai saya juga panik dan ketakutan sangat tadinya.
Si Kakak bahkan mengatakan, kalau baru kali ini dia melihat muka maminya panik banget. Biasanya muka maminya marah-marah mulu *ups, hehehe.
Dan emang sih, kayaknya seumur-umur, baru kali ini saya sepanik tadi, apalagi saya sendiri yang harus menghibur diri sendiri dan anak-anak.
Papinya anak-anak, boro-boro peduli dengan anak-anaknya yang dia tahu berada di gedung itu, dia bahkan sibuk mendoakan orang-orang di Suramadu yang merasakan getaran gempa ketika lagi di atas jembatan, untuk selamat.
Dia nggak peduli, jika anak-anaknya mungkin saja yang nggak selamat jika bangunan gedung itu rubuh.
Ah sudahlah, intinya ternyata mati itu menakutkan. Dan gempa itu bikin trauma. Bahkan sampai saya menuliskan tulisan ini, mata saya berkali-kali mengamati pintu sliding di dekat saya, yang menjadi pertanda apakah beneran gempa atau cuman oleng kepala saya aja.
Maklum, sejak kejadian sore tadi, saya dan si Kakak jadi sering merasa oleng sendiri, padahal ya nggak gempa.
Over all, terimakasih doa temans semua. Dan Alhamdulillah saya dan anak-anak masih dilindungi Allah.
Surabaya, 22 Maret 2024
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)