Cerita Perjalanan Memakai Jilbab Ala Rey

Cerita perjalanan memakai jilbab ala Rey ini terinspirasi dari cerita anak seorang Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang bernama panggilan Zara.

Emang ada hubungannya, Rey? ya kayaknya sih enggak terlalu berhubungan sih, tapi terinspirasi aja mau nulis cerita saya dengan jilbab.

Cerita Awal Memakai Jilbab dan Alasan Berjilbab

Saya mulai mengenakan jilbab sejak awal tahun 2005, persis tahun baru 2005. Ketika itu alasannya sih karena ikut-ikutan kakak saya yang suah berjilbab lebih dulu. 

Terlebih di tahun 2004, atau 2003 ya, ketika itu saya mudik lebaran, dan melihat adik sepupu saya juga sudah berjilbab.

Karena merasa aneh, jalan bertiga tapi saya sendiri yang nggak berjilbab, setelahnya ketika pulang ke Surabaya, terbersitlah pikiran pengen mengenakan jilbab juga.

Sebenarnya, sebelum melihat kakak berjilbab dan jadi kepengen juga, saya sudah sering melihat Mbak kos saya ketika awal kuliah, di mana dia tuh sudah lama mengenakan jilbab.

Tapi, niat saya masih belum kuat, karena belum punya baju yang mumpuni buat berjilbab. Kebanyakan baju yang saya punyai adalah kaos atau kemeja lengan pendek, jilbab juga nggak ada. Jadi hal pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan baju lengan panjang dan jilbab.

Alasan lain yang bikin saya semangat ingin memakai jilbab adalah, karena rambut saya yang rusak dengan tipe mengembang dan ujungnya pecah-pecah.

Mau ikut-ikutan teman rebonding, kok ya dilarang sama kakak pacar. Dulu saya kan nurut banget.

Jadi begitulah, ketika saya rasa baju lengan panjang sudah memenuhi, dan emang sih sejak awal kuliah tuh, saya sering beli baju yang lengan panjang.

Alasannya, karena ada bekas luka di tangan kiri saya yang sungguh merusak pandangan diri, ketika melihatnya. Jadi, saya selalu menggunakan lengan panjang untuk menutupi bekas luka tersebut. Dan jadilah kebanyakan baju saya adalah lengan panjang, tinggal beli dan kumpulkan jilbab aja.

Setelah dirasa siap, akhirnya saya mantap menggunakan jilbab, dan saya ingat banget ketika itu saya ada kuliah malam, dan masuk kuliah dengan tampilan baru yang sukses bikin semua teman takjub.

Sayapun juga ikutan takjub, karena you know, saya menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk bisa mengenakan jilbab segi empat berwarna biru muda itu. Dan tebak seperti apa look saya ketika itu?  

Kayak Ninja Hatori dong! hahahaha.

Saya juga masih ingat momen terakhir sebelum memakai jilbab, di tanggal 31 Desember 2004 silam, ketika itu saya pergi ke Mall THR  (maksudnya yang dekat THR sono), lupa untuk keperluan apa, yang jelas waktu itu saya mengenakan rok pendek yang pernah saya beli di Matahari.

Semacam sayang sih melihat rok itu akhirnya nggak bisa dipakai lagi, dan saya lupa akhirnya itu rok dikasih ke siapa?.

Tantangan Memakai Jilbab Ala Rey

Sejak mengenakan jilbab di awal tahun 2005, perjalanan saya memang tidak mudah, salah satunya karena keterbatasan pakaian panjang yang bisa saya gunakan, jilbab juga terbatas. Harga baju dan jilbab dulu tuh terbilang mahal, dan saya belum punya uang sendiri untuk membeli baju yang pantas.

Namun, hal tersebut tidak menjadikan saya patah semangat dan kembali melepas jilbab.

Padahal, ketika itu trend para cewek-cewek mengenakan jilbab telah usai, bahkan adik sepupu saya kembali melepas jilbabnya. Untunglah kakak saya masih tetap mengenakan jilbab, dan saya juga ikut serta tak mau melepasnya.

Sampai akhirnya saya lulus, ikut wisuda dengan mengenakan jilbab, ingat banget dulu keliling Pasar Turi cari jilbab yang pas buat wisuda, dan ujungnya pakai jilbab biasa pemberian kakak saya, dipadu dengan hiasan semacam bandana gitu berwarna biru.

Jadi begitulah, saya akhirnya punya foto wisuda dengan mengenakan jilbab, foto ijazah kelulusan kuliah juga mengenakan jilbab, termasuk foto yang digunakan untuk mencari pekerjaan.

Jujur saya bersyukur ketika itu telah berjilbab, karena bisa hemat uang make up di salon, karena cukup make up wajah, jilbabnya pakai sendiri.

Namun, setelah wisuda, di sinilah mulai tantangan yang sebenarnya.

Saya akhirnya nggak betah di Buton, yang ketika itu sebenarnya sudah mulai magang jadi guru di STM dan menunggu waktu masuk kuliah untuk jadi asisten dosen di Unidayan BauBau.

Padahal, jika bekerja di sana, jilbab bukanlah sebuah penghalang, dasar si Rey malah balik ke Surabaya, dan kesulitan mencari pekerjaan lalu menganggur hingga setahunan.

Salah satu penyebab kesulitan mendapatkan pekerjaan adalah karena jilbab yang saya kenakan. Bahkan ada beberapa perusahaan yang terang-terang meminta saya melepas jilbab, khususnya perusahaan milik keturunan Chinnese.

Dasar si Rey ini sok idealis kan, saya tolak dong! 

Beruntung, setelah menganggur setahun, saya keterima bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang konsultan proyek drainase, lalu menjadi sebuah batu loncatan untuk bekerja di proyek jalan.

Keajaiban Jilbab yang Dirasakan Ala Rey

Meski penuh tantangan, tapi sejujurnya banyak hal yang bikin saya merasakan sesuatu yang ibaratnya nih sebagai keajaiban dari jilbab.

Salah satunya, ketika bekerja di proyek tersebut saya sering lembur dan hanya bersama para lelaki. Mana tempatnya jauh dari perkampungan, di pintu tol Waru, yang mana ketika itu kondisinya masih hutan, belum seramai dan selapang sekarang.

Alhamdulillah ya, entah karena teman-teman menghargai saya sebagai wanita berjilbab, jadi saya aman-aman saja, meskipun sampai harus lembur hingga tengah malam, dan bertemankan rekan lelaki yang sering nonton film dewasa pulak di kantor, hahaha. 

Selain itu, setelah proyek selesai, saya akhirnya direkrut oleh perusahaan kontraktor, di mana owner-nya serta para petinggi perusahaan adalah keturunan Chinnese.

Namun Alhamdulillahnya, saya masih bisa tetap berjilbab, dan menjadi satu-satunya karyawan muslim yang berjilbab. Di sana ada beberapa karyawan muslimah sih, tapi mereka semua nggak berjilbab.

Beberapa tahun kemudian, Alhamdulillah jadi banyak yang mengikuti saya untuk berjilbab. Bangga rasanya bisa menjadi pendobrak karyawan menggunakan jilbab. Bangga juga karena bisa membuktikan, bahwa dalam dunia pekerjaan, jilbab sama sekali nggak mempengaruhi kinerja saya.

Ye kan, saya bekerja pakai otak, dan tangan serta kaki, bukan bermodalkan wajah dan tubuh serta rambut *eh, hahaha.

Dalam dunia pertemanan juga, keajaiban jilbab bisa saya rasakan, salah satunya adalah bisa menjadi jilbab atau penghalang saya dalam lingkup pertemanan yang lebih banyak mudharatnya.

Misal, ketika sudah kerja, saya kan pindah kos di tempat yang lebih bebas, isi kos kebanyakan anak bekerja. Dan karenanya kosnya bebas.

Beberapa teman kos saya sering ngajak keluar malam, dan it's oke sih buat saya. Namun, Alhamdulillah untuk ajakan dugem di diskotik atau semacamnya, memang selalu saya tolak.

Mau tau alasannya apa?

Ye kan, saya malu, masa iya berjilbab tapi dugem? Emang diperbolehkan gitu, orang berjilbab masuk diskotik?. Apalagi di zaman dulu ya, zaman ketika orang berjilbab masih benar-benar lebih agamis, ketimbang sekarang yang menganggap sebagai tutup kepala semata.

Begitulah, karena jilbab saya tidak pernah bisa akrab dengan dunia malam yang dekat pada dosa lebih mendalam, misal minum alkohol. Saya pikir, seandainya dulu saya nggak berjilbab, tentu saja bisa menuruti tawaran teman main ke diskotik, apalagi gratis kan.

Awal-awal sih cuman main aja, lama-lama incip-incip minuman yang banyak dijual di sana. hehehe.

So, bagi saya, jilbab adalah sesuatu yang luar biasa. Meskipun niat awal berjilbab memang aneh, bukan karena hidayah dan kesadaran sebagai seorang muslim.

Siapa sangka, perjalanan memakai jilbab ala saya, membuat saya sering terlindungi dari hal-hal yang mendekati dosa.     

Demikianlah. 

Surabaya, 14 April 2024