Hari ini lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah di tahun 2024. Setelah sebulan penuh dinantikan banyak umat Muslim sebagai penutup dari bulan Ramadan yang penuh berkah.
Kalau buka media sosial, bahagia banget melihat euforia banyak orang yang merayakan hari kemenangan ini.
Ditandai dengan mengupload foto keluarga dengan busana family couple ataupun beda-beda, yang penting tetap kompak.
Ebentar, ini maksudnya family couple itu gimana yak?
Keluarga pasangan gitu? Wkwkwkw.
Pokoknya gitu dah.
Sejujurnya, ada sedikit rasa sedih sih, bukan ke perasaan iri, tapi lebih ke serba salah.
Di hari ini, nggak banyak yang saya lakukan. Bangun subuh lalu menyiapkan sarapan buat anak-anak, lalu meminta mereka mandi, ganti pakaian dan pergi shalat ied.
Mamaknya nggak ikut, karena selain lagi libur shalat, pun juga ada yang mengganjal dan bikin mood jadi nggak enak seharian.
Jadi, setelah anak-anak pergi shalat ied, saya sarapan, dan masuk kamar, bobok lagi, hahaha.
Saya nggak nyiapin makanan ala-ala lebaran sih, karena lagi malas aja. Justru itu yang bikin saya sedih.
Berasa banget mengulang masa kecil diri ini, bedanya kalau dulu saya melihat langsung, euforia teman-teman lainnya dari balik jendela yang tertutup.
Melihat teman-teman begitu gembira, mengenakan baju lebaran terbaru dan terkeren. Ya meskipun sebagian sih dibeli dengan cara dicicil, hehehe.
Mama saya, even mencicil saja, ogah. Dulu agak sedih, tapi sekarang jadi bersyukur, karena itu saya nggak terbiasa suka berhutang, bahkan alergi kalau punya hutang, meskipun jadi nggak punya apa-apa 😅
Syukurlah, sekarang anak-anak nggak melihat langsung euforia teman-teman nya merayakan lebaran. Meskipun masih ada kesempatan diliat setidaknya oleh si Kakak, yang suka banget intipin story WA teman-temannya.
Lalu, saya merasa sedih sih, serba salah, merasa gagal berdamai dari diri sendiri. Tapi jujur, di sisi lain, saya melakukan hal ini demi menjaga kewarasan diri.
I mean, saya pikir sudah saatnya saya menentukan ketegasan hati dalam menyikapi hal-hal yang bikin saya nggak nyaman.
Maksudnya gimana sih, Rey?. Nggak jelas banget apa ceritanya nih, hahaha.
Intinya demikian dah, saking enegnya saya sampai malas menuliskannya, hahaha. Pokoknya lebaran kali ini sumpah nggak nyaman banget, tapi ditahan-tahan demi anak-anak.
Ah, andai Allah mengabulkan permintaan saya selama bertahun-tahun, tepatnya sejak si Adik lahir keknya ya.
Ya Allah, pengen banget bisa mandiri, pengen banget bisa membayar semua biaya hidup diri sendiri bersama anak-anak. Jadi, saya tidak perlu benar-benar berada di situasi yang memang udah sulit diperbaiki.
Pengen lebaran bertiga, bisa dirayakan dengan semestinya. Masak ketupat, opor ayam, atau ayam kecap ala mama. Pengen meninggalkan kenangan indah tentang lebaran pada anak-anak.
Lalu shalat ied bertiga, setelah itu bisa bersalam-salaman sambil deep talk dengan anak-anak.
Intinya pengen banget bisa merayakan lebaran dalam suasana yang damai, enggak perlu sakit hati karena memaksakan harus berkumpul dengan orang yang nggak lagi sejalan.
I mean, berat banget tau nggak harus berhadapan dengan orang yang enggak kita sukai karakternya.
Ngerti nggak sih?.
Hidup bersama anak-anak yang masih bisa saya atur atau diriku, seperti apa menjalani hidup, tentunya untuk hal-hal yang baik ya.
Ah bingung dah menjelaskannya. Intinya gitu, sungguh hari lebaran kali ini, saya kudu nahan eneg, nggak tau pula, sampai beberapa hari ke depan. Semoga sih nggak lama-lama.
Sebagian pembaca mungkin sudah menduga, maksud tulisan saya, dan iyes, bener, maksudnya ya itu. Sungguh nggak nyaman, tapi saya nggak tega untuk memisahkan anak-anak begitu saja.
That's why, saya sangat berharap, agar Allah mengizinkan saya punya penghasilan yang cukup untuk diri sendiri dan anak-anak. Setidaknya, bisa membayar biaya tempat tinggal, makan dan sekolah anak-anak sendiri.
Sehingga saya bisa punya hak, untuk tidak mengizinkan orang yang saya nggak tahan liat di depan mata, harus ada di depan mata saya.
Kalau mau bertemu anak-anak, ya silahkan, tapi jangan datang ke tempat kami, gitu maksudnya.
Karena jujur, saya pengen menjaga kewarasan, dengan benar-benar meng-cut sesuatu yang bikin saya kembali terluka akan hal yang sama berulang kali.
Di sisi lain, hati saya juga sedih sih, karena tidak mampu lagi berdamai, apalagi ini hari lebaran ya.
Pengen banget ya Allah.
Dan jujur dalam hati, saya udah memaafkan, tapi memang sudah memutuskan menganggapnya jadi orang lain.
You know lah, saya amat sangat pengertian dan mudah memaafkan orang lain. Karena toh saya nggak ada hubungannya dengan orang lain.
Dan begitulah yang saya inginkan, berdamai dengan menganggapnya jadi orang lain.
Mengapa nggak dimaafkan aja sih?
Sejujurnya seperti yang sudah saya katakan di atas, saya sudah memaafkan, tapi menganggapnya sebagai orang lain.
Jadi, nggak ada lagi ekspektasi terhadap orang itu.
Jika memaafkan dan menganggapnya sebagai seorang yang penting, akan sulit bagi saya untuk menahan diri menaruh ekspektasi terhadap dia.
Meskipun ekspektasi saya sebenarnya nggak muluk-muluk.
Saya cuman pengen punya pasangan yang tak pernah saling meninggalkan, bersama selalu menghadapi apapun tantangan hidup ini
You know, saya sedih banget, karena mama saya selalu memutuskan komunikasi ketika kami terpisah jarak.
Butuh 20 tahun saya mencoba untuk selalu menjalin hubungan, sebagai Ibu dan anak, seharusnya meski terpisah jarak, kan bisa disambung dengan teknologi.
Tapi mama saya selalu menutup komunikasi, sejak 20 tahun lalu.
Sampai akhirnya saya sekarang udah di tahap, ya udah lah ya, terserah mama saja.
Yang jelas saya udah berusaha penuh, sampai akhirnya sejak tahun 2020 kali ya, saya putuskan untuk lebih fokus ke diri sendiri dan anak-anak.
Itulah mengapa, sekarang buat saya, mudik bukanlah doa dan harapan saya kayak dulu, bahkan menyebut nama mama, ada di urutan terakhir doa saya.
Ya gimana lagi, saya teramat lelah mengemis relationship anak Ibu ke mama saya. Padahal, kami bisa loh sering telponan, mama bisa menceritakan ke saya tentang perasaannya, sama kayak kalau saya ada di sisinya, beliau amat sangat senang memanfaatkan telinga saya.
Mama tau, saya adalah satu-satunya anak yang bisa mendengarkan keluhan beliau, dan sangat jarang mengeluh ke beliau.
Paling banter ya mengeluh minta doa.
Tapi, sedihnya, mama tau kalau pilihan hidup saya adalah di Surabaya. Tapi kami kan seharusnya masih bisa berkomunikasi lewat teknologi, saya bisa sering-sering minta doa mama.
Saya amat sangat yakin, dengan doa mama, saya bisa lebih sukses dan tentunya lebih sering ketemu mama. Tapi, mama memilih menutup komunikasi.
Sampai akhirnya saya juga lelah, dan membiarkan semuanya berjalan seperti mau mama.
Jadilah hanya Kakak ipar saya yang masih setia mengirimkan kabar mama kepada saya.
Kemarin sebelum Ramadan, mama dan mama Kakak ipar saya, berangkat umroh ke Mekah, dan you know, mereka nggak kasih kabar sama sekali ke saya
Saya tahu, dari WA Kakak ipar, beliau mengirimkan kabar dan foto mama sebelum berangkat umroh.
Mengirim kabar ketika mama sudah kembali dengan selamat.
Coba saya Tanya, bagaimana perasaan kalian, jika ortu kalian mau umroh, tapi nggak kabarin sama sekali.
Saya? Jujur biasa aja.
Palingan berdoa semoga diberi kesehatan dan perjalanan yang lancar.
Itu saja. Karena hati saya udah terlalu lelah.
Tapi, bukan ini sebenarnya yang pengen saya ceritakan, melainkan kisah lebaran ini yang harus saya lewati dengan super nggak nyaman karena harus berhadapan dengan orang yang nggak pengen saya liat.
Mengapa nggak dimaafkan saja? Atau kenapa nggak melupakan saja?. Ini lebaran loh!
Jawabannya ya, karena sama dengan perasaan saya ke mama, capek.
Apalagi sikapnya juga sama kayak mama.
Orang itu, sejujurnya bersikap baik ketika ada. Selain penampilannya yang bikin saya eneg banget nget, karena rambut gondrong, bau parfum campur rokok yang nyengat banget.
You know saya punya masalah penciuman yang sangat sensitif, jadi ini masalah banget nget.
Tapi di luar itu, dia bersikap layaknya pasangan yang didambakan kebanyakan orang zaman now.
Nggak pernah protes ada makanan atau enggak, anak-anak diurus dengan baik. Membelikan jajanan yang saya maupun anak-anak sukai.
Asyik banget bukan?
Tapi, gara-gara hal ini, bikin mental saya makin rusak.
You know, dia datang itu, dengan muka yang sangat tebal.
Kami itu nggak ada komunikasi sama sekali selama berbulan-bulan loh, sama sekali.
Bahkan selama puasa ini, sebulan penuh, nggak ada komunikasi.
Bukan hanya ke saya, ke anak-anak juga. Dan Alhamdulillah sih, anak-anak cuek, meskipun saya yakin di dalam hati mereka sedih, khususnya si Kakak ya.
Yang menyedihkan itu ya, ini bukan yang pertama kalinya.
Sejak 5 tahun terakhir ini, saya sudah sering menjalani Ramadan tanpa komunikasi. Lalu, ketika dia libur kerja dan pulang.
Demi anak-anak, saya menyambutnya dengan baik.
Dan dia, tanpa merasa bersalah, ya kayak nggak terjadi apa-apa.
Masalahnya adalah, ketika dia memperlihatkan sikap yang baik, saya jadi merasa punya harapan untuk punya pasangan dalam menghadapi kehidupan ini.
Tapi nyatanya enggak!
Semua kebaikan sikapnya hanya bertahan selama dia di sini, itupun kalau saya tahan dengan penampilannya yang bikin eneg itu. Tahan dengan bau badannya yang menyengat, tahan dengan sikap santainya melewatkan waktu shalat, sementara saya mati-matian menjaga anak-anak tidak melewatkan shalat.
Tahan dengan cerita-cerita yang nggak selaras dengan pikiran saya.
Sebagai wanita yang mencintai kemajuan zaman, teknologi dan pengetahuan, saya eneg banget dengan orang-orang yang terlalu memuja hal-hal gaib, kayak orang nggak beragama saja.
Merasa dirinya keturunan ini itu. Padahal saya, yang nyata-nyata punya Kakek yang punya kekuatan gaib, malah enggak percaya dengan hal-hal demikian.
Intinya, semua hal yang dia dalami sekarang, amat sangat bertentangan dengan saya, dan itu bikin eneg banget.
Dan, ketika saya protes, langsung deh dia angkat tas pergi gitu aja, di depan anak-anak.
I mean, mending nggak usah ketemu sekalian nggak sih, biar anak-anak nggak biru jadi laki-laki pengecut kek gitu?.
Tapi, yang paling menyakitkan hati, yang paling bikin mental rusak adalah, sikap pengecutnya ketika saya menghadapi masalah serius.
Buanyaaaakkk banget masalah-masalah serius yang harus saya hadapi sendiri, sementara dia kabur tanpa kabar.
Salah satunya, kayak kejadian saya merasa dilecehkan oleh bapaknya sendiri.
Sebagai seorang perempuan, saya ketakutan banget harus tinggal sama orang yang kelakuannya bikin ngeri. Apalagi ada momen ketika rumah sepi, anak-anak shalat di masjid.
Sampai akhirnya saya nggak tahan lagi, dan pergi dari rumah itu.
Saya nggak punya tempat tujuan tahu nggak. Ketika itu, saya hanya luntang lantung di luar. Hanya seorang teman saya yang tahu kondisi saya, dan dia beberapa hari pusing mencari saya, karena khawatir saya kenapa-kenapa di luar.
Saya juga nggak mau terlalu membuka masalah diri ke dia, karena dia adalah suami orang.
Tapi, justru kekhawatirannya bikin saya sedih, karena seharusnya saya punya pasangan yang mengkhawatirkan keadaan saya, bukan malah suami orang.
Saya akhirnya mengajak anak-anak, karena khawatir mereka kenapa-kenapa di sana. Siapa yang tahu kan, jangan tunggu anak dilecehkan dulu, baru bertindak.
Dan akhirnya, saya terlunta-lunta mencari tempat tinggal dekat sekolah anak-anak. Tanpa uang yang cukup pulak.
Beruntung, sahabat saya di Hong Kong menghubungi saya, dan menawarkan saya pinjaman uang. Awalnya saya tolak, karena takut nggak bisa balikin. Tapi karena dipaksa, dan karena memang cari tempat tinggal bersama anak-anak di Surabaya itu sesusah itu. Akhirnya saya terima kebaikannya meminjamkan uang, tanpa perlu cepat-cepat dibalikin pulak, masya Allah.
Dengan uang itulah, saya bisa menemukan tempat tinggal, yang terbilang mahal, tapi emang nggak ada pilihan lain.
Saya harus cari tempat tinggal include furniture, karena nggak sanggup harus angkut furniture lagi.
Beberapa bulan setelah kami tinggal di tempat itu, pas libur dia pulang, dan tanpa malu datang ke kami, kayak nggak terjadi apa-apa.
Berbaik-baik, dan karena kekurangan saya itu memang sulit untuk tidak memaafkan.
Jadi, saya maafkan, dengan mengajaknya membicarakan tentang hubungan kami, harapan-harapan saya ke depannya.
Lalu memutuskan memaafkan semua ketidak pedulian dia ketika saya ketakutan dilecehkan bapaknya, ketika saya hampir putus ada mencari tempat tinggal bareng anak-anak.
Semua itu saya putuskan untuk dilupakan saja. Dan semua jadi baik-baik saja, sampai akhirnya dia balik lagi ke tempat kerjanya.
Hanya bertahan semingguan kali ya, sampai akhirnya nggak ada lagi komunikasi.
Begitu saja berulang, terakhir ya ketika beberapa bulan kemarin, saya menanyakan uang bulanan untuk anak-anak, dan nggak dibalas sama sekali dong.
Hilang kontak begitu saja, bahkan anak-anak menghubunginya pun, dicuekin.
Akhirnya, sambil menambal luka di hati, saya archive nomornya, nggak mau buka lagi WAnya, palingan nyuruh anak-anak minta langsung uang ke dia.
Dan menginstal pikiran sendiri, bahwa saya adalah single mom, hanya masih punya buku nikah saja.
Happy?
Nggak selalu.
Berat juga dong, apalagi ketika harus menghadapi semua masalah seorang diri. Anak sakit, muntah-muntah sampai hampir dehidrasi, lemes, harus saya hadapi sendiri. Nggak tahu mau mengeluh ke siapa, nggak punya keluarga, selain Kakak ipar. Tapi saya memang nggak pernah mau merepotkan dia, takut merusak hubungannya dengan Kakak saya.
Atau yang terbaru, ketika gempa yang lumayan dahsyat kami rasakan, sementara kami lagi ada di lantai 7 gedung bertingkat. Saya udah pasrah, kalau bangunannya runtuh ya sudah, kami mati ketimbun.
Ternyata masih dikasih keselamatan.
Dan you know, nggak ada yang mengkhawatirkan keadaan kami dong.
Even anak-anak saya tanya, apakah papinya menghubungi mereka tanya kabar?
Ternyata, enggak sama sekali.
Meski sedih, Alhamdulillah saya bisa berdamai sih, bisa pukpuk diri sendiri. Dan mengingat selalu kalau saya seorang single mom, jadi wajar kalau harus menghadapi semuanya sendiri.
Selama Ramadan, saya hadapi seorang diri pula, udah sangat terbiasa dengan pikiran I am single mom.
Dan tiba-tiba, si Kakak ngabarin, kalau papinya bakal pulang libur lebaran.
Baru dengar itu saja, saya udah tantrum, antara eneg, merinding, jijik Dan pokoknya nggak nyaman.
Sampai-sampai saya sengaja anak-anak keluar rumah sampai tengah malam, biar orang itu nyampe kami nggak ada di rumah.
Eh ternyata dia nggak muncul sih, atau lebih tepatnya setelah tau kami nggak ada di rumah, dia pergi. Tapi balik keesokan harinya, tepat di malam lebaran.
Jujur, saya malas banget liat mukanya. Semua perjalanan healing saya hancur dengan harus berhadapan dengan orang itu. Tapi di sisi lain, saya nggak tega membiarkan anak-anak sedih berlebaran enggak sama papinya.
Jadilah itu yang menjelaskan, bagaimana nggak jelasnya perasaan saya seharian ini. Saya hanya menghabiskan waktu di kamar sejak pagi. Hanya keluar untuk masakin Dan urus si Adik yang batuk pilek sampai demam gegara semalam kebanyakan makan ciki-cikian.
Dan sekarang, saya menuliskannya Hal ini, sambil berbaring di kamar menghitung waktu, kapan orang itu pergi dari sini.
Jadi, ngerti kan, mengapa lebaran saya jadi nggak asyik.
Dan ngerti kan, mengapa saya berdoa dan berharap, Allah kasih saya kemampuan bisa bayar tempat tinggal, dan biaya hidup sendiri, agar bebas menentukan nggak perlu melihat orang itu lagi.
Dan bisa mengesahkan status saya.
Begitulah.
Ya Allah, di hari kemenangan ini, bolehkah saya meminta maaf kepada-Mu, karena saya tidak bisa lagi berdamai tanpa alasan dengan manusia yang bolak balik menghancurkan mental saya?
Surabaya, 10 April 2024
🤗🤗🤗. Rey, sebagai yg ngikutin cerita kamu dari awal, aku speechless sebenarnya.. takut salah bicara dan malah tidak menghibur. Tapi satu hal pahaaaaam bgt rasa ga enak, merinding, dan pengen supaya orang yg tidak kita sukai lagi itu cepet2 pulang dan pergi.
BalasHapusKrn aku bayangin seandainya ex suami pertama ada, aku juga yakin aku ngerasa merinding dan jijik melihatnya. Bersyukur ga ada anak yg menyatukan kami, jadi saat divorce aku bener2 bisa putus hubungan.
Kata2, yg kuat ya Rey, yg sabar, mungkin kamu udh banyak kali dengar. Aku ga yakin itu masih bisa menghibur atau ga . Yg pasti aku bantu dengan doa, supaya Allah mempermudah semuanya. Ada solusi yg pasti dan jelas. Supaya hubungan kalian ga menggantung yaa 🤗🤗
selamat lebaran mba Rey, sehat sehat terus sama anak-anak
BalasHapusaminn semoga dimudahkan, dilancarkan rejekinya sama Allah swt dan selalu diberi kebahagiaan buat anak-anak juga