Tinggal di Surabaya atau Sidoarjo? mana yang lebih asyik?. Kalau ditanya gitu, tentunya saya segera menjawab dengan pasti.
"Surabaya!"
Tapi kan jadi nggak beneran milihnya, karena saya emang sejak dulu mengidolakan kota pahlawan ini. Jadi, kalau ditanya, enak tinggal di mana? ya di Surabaya dong!.
Beda lagi kalau di tanya, enak tinggal di mana? Surabaya atau New Zealand? off course NZ *plak! hahaha.
Namun beneran loh, meski kota pahlawan ini kadang bikin kesel dengan kemacetan eh salah ding, dengan lampu merah di jalanan yang lamanyaaaaa minta ngantuk *eh.
Atau bete, karena masya Allaaaahhhhh, duit akoh selalu ngos-ngosan buat sewa tempat tinggal di Surabaya.
Tapi, over all, akoh suka loh!
Dan nggak pernah benar-benar menyesal ketika dulu lulus kuliah, udah pulang ke Buton, udah banyak kerjaan yang bisa dilakukan di sana, eh malah milih balik lagi, pakai acara jadi pengangguran super kere dah setidaknya setahunan.
Cerita Tinggal di Sidoarjo Pinggiran Surabaya
Meski cinta Surabaya, saya akhirnya melewatkan waktu sekitar 8-9 tahunan di Sidoarjo. Meskipun nggak bisa dikatakan Sidoarjo beneran sih, karena kami tinggal di daerah yang dekat dengan perbatasan Surabaya.
Setidaknya ada 2 waktu kami tinggal di Sidoarjo coret Surabaya tersebut.
Pertama, setelah menikah beberapa bulan, saya yang nggak suka tinggal di rumah mertua, terpaksa kabur dan akhirnya ngekos bareng di daerah Gebang, dekat ITS.
Sayangnya hal itu nggak bertahan lama, karena sama aja, si paksu nggak bisa setiap hari pulang, karena ketika itu dia udah kerja di proyek jalan tol di Jombang. Sementara saya kerja di daerah dekat Tugu Pahlawan Surabaya.
Akhirnya kami putuskan ngontrak rumah aja di dekat terminal Bungurasih, which is itu masuk wilayah Sidoarjo perbatasan Surabaya.
Hanya setahun kami di situ, setelah anak pertama lahir, dan saya bingung siapa yang bakal jagain si bayi ketika saya kerja. Akhirnya balik lagi ke Surabaya, ke rumah mertua.
Namun, hanya sekitar 8-9 bulan saya di sana, akhirnya terpaksa resign dan ikut paksu di Jombang. Ada sekitar 3 tahunan kayaknya di sana, akhirnya paksu pindah kerja di proyek tol Sumo dengan kantor di dekat Waru.
Maka seketika kami balik ke Surabaya, dan agar dekat dengan tempat kerja si paksu, jadilah kami cari kontrakan di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, sekitar lokasi proyeknya.
Ternyata, kontrakan di daerah Surabaya susah nemu yang sesuai budget kami, dan ketemunya di daerah Sidoarjo-nya.
Dan begitulah, awal mula kami tinggal lagi di Sidoarjo, dengan niat awal sih cuman sementara. Eh ternyata sampai si Kakak sekolah dong, dan karena udah masuk SD, terpaksa deh semacam menetap di Sidoarjo, orang sekolah si Kakak di Sidoarjo.
Asyiknya Tinggal Sidoarjo Pinggiran Surabaya
Selama bertahun-tahun tinggal di Sidoarjo pinggiran Surabaya, tentunya ada banyak hal-hal asyik yang saya rasakan, di antaranya:
1. Harga properti lumayan terjangkau
Asyiknya tinggal di Sidoarjo itu, harga properti cenderung lebih terjangkau. Tapi nih ya, keknya mendingan ngontrak deh, nggak tahu kenapa kalau beli kok ya muahaaaaalll banget.
Saya sering banget shock nanya harga rumah yang dijual, harganya sampai 1 M ke atas, kan mending sekalian beli rumah di Surabaya aja nggak sih.
Tapi emang sih kalau ngontrak emang cenderung lebih manusiawi ketimbang Surabaya kota. Bahkan harga sewa rumah di perumahan yang tenang dan teratur masih terjangkau.
Bahkan, kalau emang nggak punya tujuan kayak saya dulu, cari tempat tinggal harus dekat perbatasan Surabaya karena paksu bekerja di sana. Sebaiknya cari di Sidoarjo kota deh.
Teman saya bilang, harga properti di Sidoarjo kota itu cenderung lebih terjangkau ketimbang di Sidoarjo pinggiran Surabaya. Minusnya sih emang kudu punya mobil, biar kalau ke Surabaya lebih dekat karena bisa lewat tol.
Tapi, kalau udah di Sidoarjo kota, di mana semua kebutuhan udah tersedia di sana, udah banyak mall juga, ada alun-alun sebagai taman gratis buat dikunjungi. Keknya jarang-jarang ke Surabaya juga it's OK.
2. Bahasa orang-orang lebih halus dan sopan
Saya baru ngeh dong, kalau bahasa ngobrol orang di Sidoarjo itu cenderung lebih sopan, bahkan banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, ketimbang orang-orang di Surabaya.
Masya Allaaaaah, saya bete banget gegara anak-anak sering ikutan temannya bilang 'jancok', karena kata itu biasa banget buat orang-orang di Surabaya.
Sementara ketika masih di Sidoarjo, mungkin juga karena lingkungan sekolahnya yang ketat kali ya, jadi anak-anak lebih sopan ngomongnya.
Nah, bukan hanya itu, beberapa orang tua murid di WAG misalnya, seringnya menggunakan kata yang sopan, berbahasa Jawa halus, atau menggunakan bahasa Indonesia sekalian.
Pas udah masuk WAG sekolah anak-anak di Surabaya, masya Allah dah liat obrolan orang di WAG, hahaha.
3. Nyari kebutuhan apapun ada di satu kompleks
Karena waktu di Sidoarjo kami tinggal di kompleks perumahan, jadinya terbiasa banget mau nyari apa saja nggak perlu jauh-jauh.
Misal, mau beli lampu, ada toko listrik, yang meski tokonya kecil, tapi jualannya lengkap, terjangkau pula harganya. Demikian juga cari barang lainnya. Semua ada di satu kompleks, tanpa perlu cari di tempat yang jauh.
4. Beli kebutuhan dapur mudah, yang jualan banyak, dan bahan makanan segar
Ini yang paling saya rindukan dengan kehidupan di Sidoarjo pinggiran Surabaya itu. Pasarnya lengkap, orang jualan bahan makanan juga lengkap, ada pagi dan sore pulak.
Jadi, kalau saya nggak sempat ke pasar di pagi hari, masih ada sore hari di mana mau beli sayuran, beli ayam potong, tahu dan tempe juga ada.
Harganya juga masih terjangkau lah, dan yang paling bikin bahagia tuh, sayurannya selalu segar-segar.
5. Super tenang dan udaranya lebih segar
Kalau kualitas udaranya nggak bisa diragukan lagi dong ya, apalagi kami emang tinggal di pinggiran, bukan kota. Tetanggaan sama sawah aka rumah mewah aka mepet sawah, hahahaha.
Jadi, udaranya tuh asyik banget masya Allah.
Kalau malam, berasa lagi ada di rumah ortu saya yang memang sepi, tenang dan hanya ditemani suara kodok dan lainnya. Ya sesekali ditemani suara pesawat yang menderu sih, karena kebetulan kami tinggal di jalur pesawat yang akan landing, hahaha.
Nggak Asyiknya Tinggal Sidoarjo Pinggiran Surabaya
Meski asyik tinggal di Sidoarjo pinggiran Surabaya, tapi tentunya ada nggak asyiknya juga, di antaranya:
1. Air PAMnya buruk dan mahal.
Etdaaaahhh, sumpaaaahh, gemeeeessss banget saya sama Delta Tirta itu! suerrrr!!!
Kualitas airnya buruk banget, sering banget nggak kenal waktu, tiba-tiba air PAM yang keluar warnanya hitam pekat. Saya pernah dong lagi nyuci di mesin cuci, ngisi air, untungnya pas saya sedang liat, eh airnya hitam pekat.
Auto hitam baju se mesin cuci, huwaaaaa!
Bukan hanya itu, nggak tahu kenapa ya, air PAM Delta Tirta itu bikin baju jadi kayak lap. Semua baju saya jadi hitam kayak lap, hanya dalam 3-4 kali cuci.
Baju putih si Kakak ya, sampai kayak lap banget. Sedihnya minta ampun liat si Kakak berangkat sekolah dengan kondisi baju kayak kumal nggak jelas. Pas banget ketika itu kami lagi bokek, belum bisa belikan baju seragam baru buat si Kakak.
Jujur, dari semua kekurangan dan hal yang paling bikin saya nggak betah tinggal di Sidoarjo ya karena masalah air PDAM ini.
Even yang pake tandon atas bawah loh, atau yang beli alat penjernih air, harus banget dibersihkan minimal 3-4 hari sekali, saking kotornya.
2. Sering hujan plus angin kencang
Nggak tahu kenapa ya, di Sidoarjo itu, khususnya di tempat kami tinggal yang pinggiran Surabaya itu, sering banget hujan. Mana kalau udah hujan ya, astagaaaa kudu banget deg-degan, takut keangkut angin puting beliung.
Sering banget kan kita liat di berita, kalau Sidoarjo kena angin puting beliung. Di tempat kami, meskipun belum pernah sampai dihampiri puting beliung, tapi yang namanya angin super kencang itu bolak balik terjadi setiap hujan. Mana hujannya berasa dicurahkan se gentong gede dari langit, deres banget.
Sampai-sampai setiap hujan, masalah bocor itu udah jadi 'makanan' kami banget, hiks.
3. Sinyal jelek banget
Oooomaiiiiguuuuddddd!!! Selain air yang menjadi top i hate tinggal di Sidoarjo. Masalah sinyal juga sangat sangat bikin esmosi jiwa.
Sinyal Simpati, timbul tenggelam banget. Selama tinggal di Sidoarjo perbatasan Surabaya, saya mengandalkan banget pakai XL yang mihilnya bikin nangis.
Bahkan, kalau kita berada di beberapa sudut kompleks di sana, bahkan XL juga nggak bisa ada sinyal yang kuat.
Sungguh sangat jadi masalah buat saya si pekerja digital ini.
4. Banyak ular dan biawak
Kalau ini mungkin judulnya, risiko tinggal di daerah yang udaranya segar, alias dekat sawah. Emang sih udaranya segar, tapi ya kebagian juga dengan ular Kobra maupun biawak.
Bahkan, ketika musimnya, saya pernah beberapa kali kemasukan ular kobra dalam rumah dong, dan yang paling ngeri itu, pas banget si Adik masih bayi, trus kasur kan kami taruh di bawah biar si Adik nggak jatuh.
Kebayang nggak sih kalau ularnya bisa ada di kasur.
Pernah juga ketika usia si Adik baru sebulan kali ya, saya lagi mandiin dia, tiba-tiba kucing yang setia ada di depan rumah kami, mengeong mulu. Ternyata ada ular kobra gedeeeee banget, udah hampir masuk pintu dong, auto merinding dong saya, hiks.
Kalau biawak, biasanya berbarengan dengan hujan turun. Pernah banget hampir masuk rumah, lantaran ketika hujan, saya buka pintu depan biar udara segarnya masuk. Eh yang ada biawak yang hampir masuk, hahahaha.
5. Udaranya lembab hingga semua besi karatan
Salah satu hal yang aneh saya rasakan tinggal di Sidoarjo mepet Surabaya adalah, enggak tahu kenapa, udaranya keknya lembab banget atau gimana ya?. Yang jelas, saya bete banget karena semua barang dari besi pasti karatan.
Mulai dari gembok pagar, ampun deh kami harus bolak balik beli gembok mulu, karena selalu aja karatan trus nggak bisa di buka.
Bukan hanya gembok, tapi motor juga jadi karatan, sepeda anak-anak apalagi. Bahkan alat masak di dapur, yang nggak stainless asli, dijamin auto karatan.6. Banyak orang suka bakar sampah
Orang di Sidoarjo yang saya kenal sih sopan-sopan kalau ngomong, tapi kelakuannya? ya gitu deh, super nyebelin kalau udah masalah bakar-bakar sampah.
Ampun deh, hampir setiap hari ada yang bakar sampah, nggak peduli ada bayi, nggak peduli ada cucian yang kami jemur di depan rumah.
Sudah ditegur pun, tetap dilakukan. Sampai-sampai kadang saya nakalan berharap, semoga apinya kabur ke rumah, biar sekalian terbakar, astagfirullah.
7. Jauh dari mall dan akses ke Surabaya kudu lewatin jalanan nasional
Ya karena kami tinggalnya di perbatasan Sidoarjo pinggiran Surabaya, jadinya di situ ya nggak ada mall. Kalau mau belanja, kami bisa belanja di Indomart atau Alfamart atau beberapa swalayan lokal.
Kalau mau ke mall, yang paling dekat adalah Cito, itupun kudu ngelewatin jalan nasional yang penuh dengan bus gede maupun truk gede.
Sebagai orang yang kagetan kek saya, sungguh membahayakan naik motor lewat situ.
Cerita Kembali Ke Surabaya
Meski banyak kekurangan di Sidoarjo, sebenarnya kalau dipikir-pikir, kami nggak ada niat mau balik ke Surabaya. Karena plis lah harga properti di Surabaya itu, apalagi yang di tengah kota. Even di tempat yang kumuh, masya Allaaaahhh mihil-nya.
Tapi, cerita bermula dari sumpeknya telinga kami mendengar celotehan keluarga, baik keluarga saya maupun keluarga paksu, di mana katanya kami bergaya hidup mewah. Sampai-sampai anak harus sekolah di sekolah swasta yang mahal.
Awalnya sih kami cuek, toh anak sekolah di sekolah mahal, yang bayar kan kami, bukan keluarga. Tapi ternyata telinga kami lama-lama juga panas setelah berkali-kali mendengar ocehan demikian.
Maka, ketika si Kakak lulus SDI di Sidoarjo, kami berniat ingin menyekolahkan si Kakak di sekolah Lanjutan Pertama Negeri saja. Dan karena kami masih ber KTP Surabaya, jadilah harus cari sekolah yang di Surabaya.
Singkat cerita, meski perjuangan saya luar biasa melelahkan untuk bisa masuk sekolah negeri di Surabaya, kenyataannya memang si Kakak nggak ada rezeki masuk sekolah negeri.
Dan karena udah terlanjur di Surabaya, kami putuskanlah untuk keduanya sekolah di Surabaya aja. Dan begitulah ceritanya, eh kami balik ke kota pahlawan yang menjadi favorit saya ini.
Asyiknya Tinggal Di Surabaya
Tinggal di Surabaya itu tentu saja sangat mengasyikan buat saya, karena:
1. Banyak pilihan kegiatan gratis dan berbayar namun terjangkau
Menjadi warga Surabaya dan ber KTP Surabaya itu sebenarnya asyik, ada banyak program pemerintah yang diberikan khusus warganya.
Seperti kursus bahasa asing gratis, dan banyak kegiatan yang diadakan pemkot secara gratis, syaratnya ber KTP Surabaya saja.
Saya nggak tahu sih, apakah di Sidoarjo juga ada atau enggak, karena nggak pernah kumpul-kumpul acara kampung, hahaha.
2. Banyak taman gratis
Tinggal di Surabaya, nggak bakal pernah bingung mau main ke mana yang gratis atau terjangkau bersama anak-anak. Ada banyak taman gratis yang bisa dimanfaatkan bersama anak. Bisa ke balai kota, Taman Prestasi, Taman Persahabatan dan masih banyak lagi.
Di taman tersebut ada banyak permainan juga yang bisa dimainkan oleh anak, palingan bermodalkan beberapa rupiah untuk membeli jajanan jika anak-anak atau ortunya tergoda, hehehe.
3. Relatif aman untuk keliling malam bareng anak-anak
Ini personal kali ya, karena saya memang sudah merasa sangat kenal dengan Surabaya. Sejak dulu terbiasa keluyuran malam sampai ke sudut-sudut Surabaya bersama si Kakak pacar, jadinya saya merasa kalau di Surabaya tuh relatif aman buat keliling malam bareng anak-anak, naik motor.
4. Akses mall dekat dan banyak
Surabaya mah bisa dibilang kota segala mall, banyak banget mall yang tersebar di mana-mana. Dari mall yang modern sampai yang teruntuk kelas menengah kayak Royal Plaza ataupun BG Junction.
Beberapa mall malah memberikan fasilitas transport keliling gratis, kayak Pakuwon Mall ke TP lalu ke Pakuwon City. Yang jaraknya memang berjauhan, tapi bisa ditempuh dengan gratis pakai bus yang disediakan.
5. Transportasi beragam dan terjangkau
Di Surabaya itu, gampang jika mau ke mana-mana, meski itu jauh banget. Karena transportasinya makin banyak dan beragam serta terjangkau. Ada feeder yang nyaman dan murah meriah, ada Suroboyo Bus, Teman Bus dengan rute yang makin beragam, dan ongkosnya juga sangat terjangkau.
Masih ada juga angkot lama, taksi online dan ojek online juga beragam dan banyak.
6. Banyak tempat nongkrong
Sebenarnya ini juga ada di Sidoarjo, tapi buat saya yang memang tempat nongkrongnya terbatas, cuman si mekdih yang pas juga sedang diboikot, hiks.
Jadinya, saya sejujurnya happy banget bisa balik ke Surabaya yang penuh dengan mekdih dan banyak mekdih yang ada Mc Cafe nya, hahaha.
Selain itu, ada kopi kenangan di mana-mana, Mixue dan semacamnya, kafe-kafe lainnya, Lawson dan semacamnya.
Ya meskipun, ujungnya saya cuman balik ke mekdih lagi, hahahaha.
7. Fasilitas umum gratis juga banyak
Surabaya itu surganya pekerja online kayak saya. Kita bisa bekerja online di mana saja. Bisa di kafe, bisa gratis di perpustakaan umum atau co-working. Semuanya sudah dilengkapi dengan fasilitas wifi yang kencang.
Bahkan di taman-taman juga bisa kerja, dan wifinya juga lumayan kencang.
8. Air PAMnya nggak bikin baju kayak lap, dan lebih terjangkau
Yang paling menyenangkan juga sih, tinggal di Surabaya itu, airnya nggak bikin baju kayak lap, seperti air PAM di Sidoarjo.
Etapi bukan sekarang ya, beberapa hari belakangan ini air PAM di Surabaya sedikit bermasalah, gegara perbaikan gorong-gorong yang memutus tanpa sengaja beberapa pipa PDAM.
Namun, di hari biasa, air PDAM Surabaya itu asyik aja dipakai buat nyuci baju. Dan jauh lebih murah dari PAM di Sidoarjo.
9. Sinyal penuh untuk semua provider
Surabaya merupakan kota metropolitan, jadinya nggak mungkin kan sinyal provider ngos-ngosan. Sejak tinggal lagi di Surabaya, saya bebas cari paket internet yang murah pakai Telkomsel.
Dulu mah, pakai telkomsel di Sidoarjo, bikin emosi jiwa luar biasa karena nggak ada sinyal yang kuat, hahahaha.
Nggak Asyiknya Tinggal di Surabaya
Meskipun demikian, tinggal di Surabaya juga ada nggak asyiknya kok, buat saya adalah:
1. Masya Allah, mahalnyaaaaa properti, baik sewa apalagi beli
Ya ampuuunnn, mau nangis rasanya kalau nyari kontrakan di Surabaya. Ada yang sedikit terjangkau, fotonya bagus, pas datang langsung ternyata lokasinya di dalam gang super sempit dengan udara yang sangat buruk.
Ada yang lumayan, aksesnya manusiawi, ventilasi rumah lumayan, meski ukurannya kecil, tapi mahalnyaaaaa, hiks.
Masih teringat bagaimana mau nangisnya saya, ketika tahun lalu memutuskan pergi dari rumah mertua, trus akhirnya coba nyari kontrakan dekat sekolah anak-anak. Kaget banget ya Allah, sudah lama meninggalkan Surabaya, pas balik ternyata bahkan harga kos-kosan aja luar biasa banget mihilnya, hiks.
2. Ketenangan hanya bisa dicapai dengan duit yang banyak
Karena mahalnya properti, dan padatnya penduduk, karenanya tinggal di Surabaya itu harus mau menahan diri dengan sumpeknya keadaan. Apalagi kalau tinggal di perkampungan kan.
Untuk orang yang introvert kayak saya, luar biasa menyiksanya hal itu.
Terpaksa deh, untuk mendapatkan ketenangan, kudu mengorek kocek sangat dalam, agar bisa tinggal di tempat yang lebih manusiawi dan tenang.
3. Mau nyari sesuatu kudu keliling kota dulu
Ye kan, si Rey kebiasaan lama di kompleks Sidoarjo pinggiran Surabaya, yang apa-apa tersedia dalam satu lokasi. Pas balik ke Surabaya, saya dong sampai keliling Surabaya bawa lampu rusak sebagai contohnya. Demi bisa membeli lampu baru, tapi nggak nemu toko listrik yang harganya terjangkau, hahaha.
Well, sebenarnya banyak mungkin ya, tapi si Rey kan emang nggak terbiasa mendatangi toko yang tidak familier. Apalagi setelah keliling sana sini, belum pernah liat tuh ada toko listrik yang kecil, biar terjangkau gitu maksudnya, hahaha.
Pernah juga, saya bolak balik bawa plat motor, gegara bingung mau ganti di mana, secara kalau di Sidoarjo kan gampang tuh nemukan tempat ganti plat, orang lokasinya kecil dan mudah ditemukan hahaha.
Jadi, ini memang sifatnya personal ala Rey ya.
4. Bahan makanan di pasar kebanyakan nggak segar
Yang menyedihkan lagi, di Surabaya tuh saya belum bisa menemukan pasar atau orang jualan sayur di sore hari. Di Keputih dekat ITS memang ada sih, jualan di sore hari juga. Tapi seringnya bahan makanan yang dijual udah layu.
Semacam dia jualin sayur bekas jualan pagi hari, eh apa iya ya? yang jelas sayurannya udah layu, kuning-kuning daunnya. Mana mahal pulak, bisa selisih 2000-3000 dengan harga di pasar Manyar Surabaya.
Bukan hanya pasar sore, pasar pagi juga sama, saya bahkan sampai ngajak anak-anak ke beberapa pasar. Seringnya sih di pasar Asem Payung, lalu Pasar Manyar Surabaya, pernah juga di pasar Karang Menjangan. Tapi semuanya sama, sayurannya layu-layu dan nggak segar. Mana sering banget pulak saya beli tahu yang bau pup ayam.
Di Sidoarjo juga pernah beberapa kali sih, tapi selama di Sidoarjo, saya nggak pernah beli tahu susu baunya pup ayam.
Pas di pasar Karmen kapan hari, saya beli tahu susu 1 kotak, dan pas sampai rumah terpaksa dibuang gegara bau pup ayam, percuma juga dimasak, yang ada merusak minyak aja.
Kesimpulan atau Penutup
Pernah tinggal beberapa tahun di Sidoarjo, juga beberapa tahun di Surabaya, lalu keluar Surabaya dan balik kembali. Saya jadi bisa punya pandangan tersendiri akan 2 kota ini.
Dan kalau ditanya, tinggal di Surabaya atau Sidoarjo, asyik mana sih? Kalau bagi saya, asyik Surabaya dong! Meskipun di Sidoarjo juga ada asyiknya sih, tapi di sana keknya banyakan nggak asyiknya, hahaha.
Yang jelas, meski tinggal di Surabaya lebih asyik, tapi sejujurnya kenyamanan dan ketenangan yang bisa kita dapatkan di Surabaya itu, mewajibkan kita untuk punya duit lebih banyak, hahaha.
Kalau Temans?
Surabaya, 04 Mei 2024
Sharing By Rey - Reyne Raea
Yg namanya kota besar biasanya memang selalu lebih asyik sih. Aku dulu berharap juga bisa tinggal di kota kecil, supaya biaya hidup murah. Tapi setelah ngerasain minusnya trutama soal air, jadi males rey.
BalasHapusKayak waktu itu di sibolga yaaa. Airnya berpasir dooong. Ya ampuuun aku lgs breakout selama di sana. Dan jd bersyukur at least air di lingkungan rumahku bersih.
Trus kepikiran juga krn selama ini aku mah rutin traveling, klo aku tinggal di luar jakarta bakal susah utk pergi2 apalagi apply visa yg mana kebanyakan embassy dan pusat pembuatan visa mostly di jakarta 😁😆. Ntr nambah biaya lagi yg ada.
Jadi memang selama aku msh rutin traveling, lupain ajalah tinggal di luar kota jakarta. Kecuali kuat bayar transport menuju jkt nya 😄