Waktu kuliah dulu, saya diajak Mbak kos ke Madura, untuk menjemput ibunya dan dibawa ke RSJ Menur Surabaya. Qadarullah ibunya depresi karena sikap ayahnya.
Lalu saya teringat tentang beban mental down yang saya rasakan akhir-akhir ini. Berdampak dengan pikiran kacau balau. Namun Alhamdulillah saya masih bisa bangkit melakukan rutinitas keseharian dan produktif. Saya pikir semua ini karena saya rajin berkeluh kesah dengan menulis di blog.
Saya juga teringat bagaimana kondisi beberapa orang yang mengalami depresi. Kakak saya dulu sampai didiagnosa kena autoimun, saking sering jatuh sakit, ketika overthinking dan berantem dengan suaminya.
Mbak ipar saya, yang mengalami kegagalan dalam pernikahan, sampai sekarang harus banget terapi ini itu. Juga harus jaga makan ini itu, demi mengobati penyakit asam lambungnya yang sering kambuh.
Setidaknya, demikian kondisi orang-orang yang saya liat langsung. Dan juga saya sering membaca kondisi seperti ini, dialami oleh kebanyakan wanita yang stres hingga merasa depresi.
Bukan berarti saya enggak pernah mengalami hal yang sama ya, meski berbeda efeknya.
Di masa pandemi lalu, saya terkena sakit saraf terjepit, yang sukses bikin saya nggak bisa bergerak sama sekali. Dan sumpah waktu itu saya sampai berdoa biar kena Covid dan mati aja.
Mengapa?
Karena sakit saraf terjepit itu, adalah sakit yang super menyebalkan. Saya udah nggak bisa gerak sama sekali, sampai-sampai saya ngompol loh, saking sesekali nggak sengaja saya paksa bergerak.
Dan masalahnya adalah, nggak ada satu tanda apapun di badan saya. Enggak biru, enggak bengkak, saya juga enggak muntah darah, wkwkwkw.
Maafkan saya menulis seperti menyumpahin diri, tapi emang semenyebalkan itu kena sakit saraf terjepit itu. Nggak terlihat sama sekali ada efek apapun di badan, tapi saya udah nggak bisa gerak sama sekali.
Dan coba tebak apa yang dikatakan bapakeh anak-anak?.
"Kamu sengaja pura-pura sakit, biar aku nggak kerja, biar aku dikeluarkan dari tempat kerja, kamu memang seperti itu sejak dulu, nggak suka kalau aku maju!"
Oh please Allah, mending ambil nyawa saya aja.
Atau ambil nyawa dia aja deh, dengan bayaran uang 1 Milyar buat biaya hidup saya dan anak-anak juga nggak apa-apa, wwkwkwkw.
Intinya, saya cuman ingin mengatakan, bahwa efek samping dari stres hingga 'merasa depresi' (sengaja saya tulis 'merasa depresi', ktearena emang kepala saya udah nggak bisa berpikir jernih, tapi belum didiagnosa orang yang kompeten kan). Efeknya tuh luar biasa banget buat tubuh.
Terus sekarang saya jadi bersyukur banget, karena ternyata dikasih sakit saraf terjepit kemaren itu masih lebih mending. Karena setelah bisa mengontrol pikiran yang berat, rajin stretching, tidur dengan gerak hati-hati. Alhamdulillah sakit di bagian pinggang belakang itu udah jarang terasa.
Bayangkan kalau saya dikasih asam lambung, itu rempong banget loh jaganya. Kudu jaga makan, nggak bisa banyak pikiran.
Lah, sementara saya seringnya makan 2 kali sehari aja, sering minum kopi, amboi amat tuh lambungnya, hahaha.
Mental down memang menakutkan sih, menurut saya ini jauh lebih berbahaya bahkan dari penyakit kanker sekalipun.
Kok bisa?
Penyakit kanker itu menakutkan, tapi kanker hanya melanda penderitanya, tidak mencelakai orang lain. Ya palingan bikin orang di sekitarnya stres karena sedih sih.
Tapi, dampak depresi yang melanda para ibu khususnya, bukan hanya menimbulkan banyak hal buruk di sikap atau mental si ibu. Fisiknya juga kena, kayak kena penyakit asam lambung, dan sangat berpotensi membahayakan orang di sekitarnya.
Mulai dari anak-anak yang bakal amukan dari si ibu, yang berakibat merusak mental anak. Bahkan udah banyak kejadian, ibu yang mencelakai anaknya hingga tewas.
Lalu gimana dong?
Paling pas sih ketika merasakan gejala depresi, seperti yang dijelaskan di website halodoc.com, yaitu:
- Tidak Bisa Mengontrol Emosi
- Pola Tidur yang Terganggu
- Kecanduan Media Sosial
- Sakit Punggung
- Kehilangan Ketertarikan pada Lingkungan dan Pasangan
Segera cari pertolongan dari orang yang kompeten, salah satunya psikolog.
Kalau saya, lebih menyarankan ke psikolog dulu, agar kita bisa mengurai perasaan dalam pikiran yang kacau balau itu. Ketimbang ke psikiater yang udah pasti dikasih obat-obat penenang.
Bukan berarti ke psikiater salah ya, ini cuman opini saya yang memang nggak terlalu suka tergantung sama obat. Dan karena itupun saya nggak cocok mengkonsumsi obat penenang. Yang ada saya bisa berhalusinasi karena obat.
Sayangnya, ada risiko lain yang jadi masalah, jika keuangan kita terbatas. Yaitu, ke psikolog itu sama kayak ke dokter gigi, harus bertahap, harus bolak balik datangnya.
Dan tentu saja semua butuh duit yang nggak sedikit.
Saya nggak tahu sih kalau BPJS, tapi seringnya saya baca cerita teman-teman yang memakai BPJS untuk kontrol kesehatan jiwa, seringnya langsung ditangani oleh psikiater, dan seringnya langsung dikasih obat.
Alhamdulillah Masih Bisa Bangkit Karena Menulis di Blog
Saya sendiri, oleh karena keuangan yang sangat terbatas. Iya sih saya menghasilkan uang sendiri, tapi nggak bisa kayak teman-teman blogger lainnya. Yang ketika dapat fee job blogger, bisa nabung.
Terus dibeliin emas, atau beli benda impiannya sebagai self rewards. Lah kok tercium bau-bau iri nih si Rey *eh, hahaha.
Nggak ding, maksudnya cuman mau bilang, duit saya terbatas untuk ke psikolog berulang kali, ampun dah dibahas kepanjangan.
Jadinya saya nggak bisa bolak balik ke psikolog, meskipun butuh. Bukan hanya butuh, tapi banget sih ya.
Saya sering merasa sulit mengendalikan emosi, apalagi kalau harus berurusan dengan papinya anak-anak yang suka kabur itu.
Impiannya sih menjauh dari orang toksik, yang benar-benar toksik banget, the real toksik person *halah. Beneran capek banget loh kita berurusan sama orang yang ketika ada masalah penting, terutama masalah uang, udahlah dia nggak bisa dihubungi sama sekali.
Saking lelahnya, saya beneran merasakan aliran emosi yang mengalir cepat ke otak seolah darah saya tuh tiba-tiba berputar dengan sangat kencang di otak.
Tapi nggak ada eh belum ada jalan lain, karena saya berhubungan dengan tuh orang kan karena butuh duit. Kalau punya duit, dih ogah banget mengemis-ngemis meski itu kewajibannya.
Namun harus berhadapan dengan manusia kayak gitu, luar biasa mengorbankan mental. Mungkin ini namanya pengorbanan demi anak-anak, hiks.
Nggak bisa ke psikolog terus menerus, karena duitnya masih dipakai untuk kebutuhan lain, tapi mental down, pikiran kacau balau, kan bahaya ya.
Tapi saya beruntung, karena mulai menemukan jalan keluar, meskipun mungkin ini nggak sepenuhnya benar ya, tapi lumayan work buat kondisi saya.
Apa itu?
Mengeluarkan semua isi kepala, ke dalam bentuk tulisan.
Beneran ngaruh loh, dan bisa terasa banget manfaatnya. Saya semacam menemukan tempat sampah untuk mengeluarkan pikiran-pikiran yang bercampur dan sebenarnya nggak terlalu penting untuk terus dipikirkan di kepala.
Menulis dengan lancar dan bebas, nggak perlu takut dihujat, hanya menulis dan menulis. Kadang ditemani air mata yang ikut mengalir.
Lalu setelahnya saya bisa tidur dengan tenang, besoknya bangun udah merasa lebih baik. Bahkan, bukan hanya itu, gegara terbiasa mengeluarkan isi kepala yang membeludak, saya jadi kayak nggak punya tenaga untuk ngamuk, hahaha.
Beneran loh, ngamuk itu butuh energi banget, butuh sesuatu yang membuncah di kepala, lalu keluar dengan 'byoorrr' melalui emosi dan ngamuk.
Makanya, kita sering merasa lebih tenang kalau udah ngamuk. Masalahnya, yang jadi sasaran ngamuk itu yang jadi korban beban mental juga.
Kalau isi kepala yang membuncah itu dikeluarkan dalam bentuk kemarahan di tulisan, palingan cuman meninggalkan jejak di tulisan aja.
Dulu tuh saya bikin blog yang terkunci untuk diri sendiri, biar bisa nulis sesukanya, kadang juga memaki *astagfirullah.
Tapi lama-lama saya pikir, hal itu nggak baik, karena bikin saya jadi terbiasa menulis dengan memaki. Dan saya nggak mau kalau akhirnya nggak bisa membedakan, mana tulisan di blog terbuka, mana di blog tertutup.
Karena itulah saya pilih blog yang terbuka, agar saya nggak cuman mengeluarkan isi kepala dengan asal. Tapi belajar menyalurkan emosi dengan elegan, dan memilih kata-kata yang lebih 'halus'.
Berkat menulis itulah, Alhamdulillah saya yang masih harus 'berenang' dalam permainan mental down karena berhadapan dengan orang toksik mulu. Jadi tetap bisa bangkit.
Ya kayak kemaren-kemaren saya merasa stres banget, lalu memilih menuliskan isi hati di blog diary, eh hari ini saya bisa bangun pagi dan ke sekolah si Adik buat ambil raport.
Pulangnya, saya mengerjakan semua rutinitas dengan baik, dan berhasil bikin jadwal harian baru untuk anak-anak dan saya.
Intinya, saya mungkin masih belum pulih dari rasa depresi karena sakit hati di-ghosting orang yang nggak bertanggung jawab itu.
Tapi saya berhasil bangkit, tidak memelihara gejala depresi berlama-lama, seperti bermalasan, sibuk scroll medsos saja dan lainnya itu.
Semua itu berkat saya menulis, berkat saya mengeluarkan semua isi kepala yang memang udah berat banget.
Ah, semoga semakin banyak wanita yang mungkin berada di kondisi yang mirip dengan saya, berani menulis dengan baik, agar bisa merasa lebih baik.
Setidaknya kalau nggak mau ke psikolog, curhatlah sama buku atau melalui blog juga bisa.
Semangat semuanya.
Surabaya, 26 Juni 2024
Blogger Surabaya - Reyne Raea
Ikut sedih dengan ceritanya :') Kamu hebat udah bertahan sejauh ini. Ikut senang juga sakit pinggangnya sudah berkurang, semoga terus membaik sampai pulih 100% ya :) Syaraf kejepit memang gak enak, rasanya gak berdaya. Setelah bolak-balik dokter, fisioterapi dan rutin yoga kaki kananku rasanya gak pernah sama lagi. Jalan susah, duduk sakit, baringan apalagi... Jadi aku sangat mengerti kalau rasa sakit fisik bisa berpengaruh dengan kesehatan mental. Aku sendiri orang yang langsung ke psikiater, gak psikolog dulu karena ada alasan pribadi. Tapi mau psikiater atau psikolog, berani meminta pertolongan itu sudah langkah yang bagus.
BalasHapusSemoga dengan menulis perasaanmu semakin lebih baik ya. Aku setuju, kalau gak ada yang mendengar atau malah kurang nyaman bercerita, menulislah supaya lega :)