Lagi sedih dan capek.
Perasaan ini muncul ketika sudah memasuki minggu ke-3 sekolah dan saya tetap tidak mampu mengejar semua ketertinggalan jadwal yang dibuat sendiri.
Sejujurnya, saya sudah takut dengan kebiasaan begadang mulu, pengen banget hidup normal kayak orang kebanyakan. Karena itulah saya berharap banget bisa mengejar ketertinggalan waktu yang ada.
Di samping itu, saya sebenarnya lagi merasa kecewa dengan kehidupan, meskipun tahu banget, itu nggak bakal ada manfaatnya sama sekali.
Tapi pengen curhat aja, mungkin bisa sedikit melegakan hati, karena toh menangis pun nggak lantas bikin semuanya jadi lebih ringan.
Nggak tahu kenapa, saya sedang berandai-andai.
Seandainya anak saya cukup 1 aja, mungkin semuanya terasa lebih ringan.
Sejak anak dua, rasanya hidup saya seolah makin berat. Papinya makin kurang ajar, makin tidak bertanggung jawab, apapun yang terjadi di anak-anak, mau mereka makan atau tidak, seolah itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Jika dulu dia cuek anak bisa makan atau kelaparan, sekarang bahkan dia cuek, anak ada tempat tinggal atau tidak, anak bisa sekolah atau tidak, seolah semua jadi tanggung jawab saya sendiri.
Di samping itu, saya seolah tak punya waktu untuk diri sendiri, bukan untuk me time refreshing macam kebanyakan ibu lainnya loh. Saya butuh waktu yang fokus agar bisa mencari uang dengan baik, agar anak-anak nggak terancam tidur di jalanan. Nggak terancam kelaparan, ketika bapakeh nggak mau tahu dengan keadaan mereka.
Sejak si kakak masih bayi dulu, dan masalah yang jagain bayi yang tak kunjung ada titik temunya. Sampai akhirnya saya nekat resign aja, meskipun sejujurnya saya takut akan masa depan, karena tahu persis kemampuan bapakeh anak-anak kayak gimana.
Kenyataannya, meski berusaha sekuat tenaga untuk berpikir positif, semua yang saya takutkan terjadi juga.
Dan bodohnya saya, kok masih berpikir mau punya anak kedua ya, huhuhu.
Ah, ini bukan tentang saya menyesal anak-anak lahir karena benci mereka, bukan!
Tapi justru saya semacam ingin menyesali punya anak 2, tapi hidupnya jadi menderita oleh ketidak berdayaan maminya.
Sejak si Kakak kecil dulu, dan kesal banget dengan kondisi kesehatannya yang nggak sekuat anak lainnya, sehingga menjadikan saya terpaksa merelakan pekerjaan di luar, memilih jadi IRT.
Lalu berharap, semoga nanti si Kakak masuk SD, dan kami usahakan masuk sekolah full day, setelahnya saya bisa kembali bekerja di luar agar bisa menghasilkan uang lebih baik.
Sayangnya, kenyataan tak seindah harapan.
Boro-boro kembali bekerja, yang ada setelah si kakak masuk SD, saya malah hamil lagi dan punya bayi lagi.
Di masa kayak gini, ada 2 anak yang butuh saya, bagaimana saya bisa kembali bekerja? hiks.
Menjalani masa menjaga bayi yang penuh tantangan, ini yang sering diabaikan orang awam, yang suka mengatakan bisa kok cari uang dari rumah sambil momong anak.
Kenyataannya tidak semudah itu ya, apalagi jika dikaruniai anak-anak dengan kondisi khusus. Si Kakak yang dulunya mudah banget sakit, bolak balik ke dokter spesialis anak.
Si Adik memang bisa dibilang nggak pernah ke dokter spesialis. Tapi mengurusnya luar biasa bikin saya jadi baby blues keterusan PPD.
Saya harus menjalani 6 bulan pertama punya si Adik, dengan super kelelahan karena dia pup melulu. Sehari ada kali ganti popok 10-15 kali karena dia bolak balik pup.
Dan percayalah, ini melelahkan banget, belum ketambahan salah gendong langsung byor alias muntah. Menjelang MPASI, kebiasaan dia pup sampai 10 kali itu menghilang, ganti lagi masalahnya dia jarang pup. Tapi sekali pup, saya sampai nggak bisa bersihin sendirian saking banyaknya.
Ketika dia tumbuh pun, tetap dalam tantangan yang luar biasa, terindikasi speech delay, hingga sampai sekarang masih ngompol.
Selalu berantem dengan kakaknya, mereka nggak bisa ditinggal berdua, karena dijamin bakalan kacau balau.
Jujur semua tantangan ini bikin saya kesulitan untuk bisa meninggalkan mereka demi mencari uang.
Pernah ada di pikiran saya, sebuah semangat yang besar, dan muncul ketika sedang lelah-lelahnya, dan harus memeluk lelah itu sendirian. Memeluk diri, menepuk pundak sendiri dan berkata,
"Bertahanlah Rey, sebentar lagi, anak-anak akan masuk usia sekolah, mereka akan sibuk dengan sekolah, dan kau bisa kembali fokus bekerja!"
Lalu, seketika saya bangkit dengan harapan itu lagi, berharap agar ketika anak-anak sekolah, saya bisa punya waktu yang lebih banyak untuk fokus membangun karir dalam menghasilkan uang.
Sayangnya, hingga akhirnya si adik masuk TK, ternyata harapan yang sudah saya idamkan, tak bisa serta merta terjadi.
Ternyata sekolah zaman sekarang banyak banget meminta keterlibatan orang tua. Dari kegiatan ini lah, itulah. Yang akhirnya bikin saya terpaksa mengalah, dengan harapan semoga setelah lulus TK, semua akan membaik.
Lalu akhirnya, si Adikpun lulus dari TK, masuk ke SD dengan harapan maminya yang begitu tinggi.
Sayangnya, setelah masuk SD, ternyata angan-angan maminya tetapnya sebuah angan. Di 2 minggu pertama, dengan kondisi yang menyedihkan, harus antar jemput anak dengan waktu yang sangat mepet.
Masih semangat, meski lelah banget, berharap di 2 minggu pertama waktu sekolah anak belum normal karena masih MPLS.
Sayangnya, sampai minggu ke-3 dan besok minggu ke-4, boro-boro normal, yang ada saya makin stres.
Kenyataannya, anak-anak zaman sekarang tidak bisa benar-benar lepas dari bantuan ortunya, sampai mereka SMA atau kuliah kali ya.
Si Adik yang masih kelas 1, udahlah sekolahnya berangkat pukul 6, pulang pukul 12 siang. Ada tambahan lagi di sore hari untuk kegiatan ekskul.
Jangan lupakan pula, ternyata hari Sabtu juga masuk, karena ada kegiatan ekskul dan parents day lagi. Ya Allah, anak-anak ini butuh uang, tapi saya nggak ada waktu yang cukup untuk cariin mereka duit.
Saya butuh banget waktu yang fokus untuk cari uang, mereka butuh banget uang, tapi anak-anak juga butuh banget saya.
Jujur, rasanya pengen nyerah aja, pengen nggak peduli anak-anak gimana pulang sekolah, terserah dengan kegiatan mereka di sekolah yang butuh ortu.
Tapi, lagi-lagi dihadapkan dengan kenyataan, kalau mereka kenapa-kenapa, terus untuk apa saya cari uang?
Dilema ini bikin saya sangat tersiksa, bikin saya selalu pengen marah sama kehidupan, bikin saya selalu pengen ngatur Tuhan.
Kenapa cobak Dia titipkan 2 anak, kalau bapakeh kayak gitu?
Kenapa juga, Dia titipkan saya anak kedua, di saat jeda yang juga lama antara anak pertama. Saya sudah ingin kembali bekerja, cari uang agar setidaknya kehidupan anak-anak bisa lebih baik. Eh dikasih-Nya lagi saya bayi, di saat usia udah nggak muda.
Meskipun ujungnya, saya akan mengerti dan belajar memahami, kalau semua ini ya memang harus dijalani, harus diterima.
Tapi akhirnya juga saya selalu merasa sangat kesal, ketika mendengar kata orang-orang dengan privilege punya support sistem mengatakan,
"Perempuan harus punya penghasilan sendiri!"
Bagaimana caranya? karena pengalaman hidup saya, malah karir tersendat karena anak-anak. Dan saya yang sebenarnya menyukai anak kecil, menjadi benci banget dengan anak-anak karena ini.
Dan sering menjadikan saya semacam ingin marah karena Tuhan memberikan saya anak kedua, di saat yang terlambat.
Astagfirullah.
Semoga Allah mengampuni pikiran mamak-mamak stres ini, aamiin
Surabaya, 04-08-2024
di berandaku sering lewat video ibu-ibu yang membagikan kesehariannya bekerja dirumah sambil mengurus anak. Tapi ternyata memang nggak semudah yang kita liat di video. Apalagi ini juga tergantung sama si anak, ada anak yang gampang tantrum, ada yang pendiem dan ga rewel.
BalasHapussemangat mba rey, semoga selalu diberi kemudahan rejeki, kelancaran, kesehatan dan anak-anak yang selalu patuh