Ayah Ibu, Maafkanlah Anakmu Dengan Ikhlas untuk Dirimu Sendiri

ayah ibu maafkan anakmu

Saya sering melihat potongan video podcast antara Nikita Willy dengan ibunya, Mami Yora. Di video itu, ibunya berkata bahwa seorang ibu seharusnya tidak pernah meneteskan air mata karena anaknya.

Air mata seorang ibu itu, akan memberatkan langkah anak dalam menjalani hidupnya. Saking meyakini hal tersebut, bahkan ketika hatinya sedih oleh perilaku 'pembangkangan' anak-anaknya, Mami Yora bahkan berdoa ke Allah, kalau dia nggak nangis, itu bukan air mata tapi air hujan, hehehe.

Well, apapun alasan Mami Yora, dia hanya ingin agar langkah anak-anaknya dalam menjalani hidup, tidak berat lantaran air mata kecewanya.

Dan terbukti ya anak-anaknya, keduanya menjalani hidup dengan baik, Alhamdulillah bisa menikah dengan laki-laki yang sangat baik dari ekonomi maupun sikapnya.

Saya jadi ingat akan diri sendiri, jujur saya merasa hidup ini kok berat banget. Pertama kalinya merasakan hal ini, ketika lulus kuliah dan pulang ke Buton, tapi balik lagi di Surabaya.

Saya sih ketika itu happy-happy aja bisa balik ke Surabaya, karena merasa ortu mengizinkan. Banyak banget impian di kepala ketika akhirnya bisa kembali ke tempat yang saya nyaman di sana dengan izin dan restu orang tua.

Sampai akhirnya saya tiba di Surabaya, dan menyadari kalau ternyata ortu tidak benar-benar merestui keinginan saya. Hal ini terlihat dari tidak adanya support lagi yang diberikan ortu ke saya.   

Saya terlunta-lunta di Surabaya, nggak punya uang sama sekali, cari kerja sulit banget, padahal IPK saya lumayan bagus. Butuh waktu setahun menganggur untuk saya bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang sangat kecil.

Dan tahu nggak sih, selama setahunan itu, ortu tidak pernah menelpon saya, tidak pernah juga mengirimkan uang pada saya.

Anak perempuannya ini nggak jual diri aja demi makan, udah Alhamdulillah.

Meski akhirnya dapat kerjaan, tapi hidup tetap terasa berat, karena gajinya kecil banget. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian saya mendapatkan tawaran kerja di proyek, gajinya sih lumayan ya, nggak besar-besar amat juga sih.

Tapi, kerjaannya luar biasa menguras energi dan tenaga.

Meski demikian, di kala itulah saya berhasil mudik ketika lebaran ke Buton, dengan uang sendiri, bawa oleh-oleh banyak pakai uang sendiri, dan sempat kasih duit ke ortu, bahkan belikan HP untuk pertama kalinya buat mama. 

Walaupun ketika  mudik itu, banyak hal menyedihkan yang saya alami, mulai dari mengetahui sikap mama yang sengaja nggak mau kirimin duit biar saya pulang ke Buton. Hingga saya juga baru ngeh kalau ternyata ortu nggak pernah ikhlas dengan pilihan saya merantau lagi ke Surabaya.

Hingga dibanding-bandingkan sama anak tetangga A, anak tetangga B, yang katanya gajinya udah belasan hingga puluhan juta, dan rutin kirim uang ke ortunya.

Sedih banget sih, tapi saya memang sejak dulu pandai menyembunyikan perasaan, jadi cuman bisa mesem-mesem aja.

Kenyataannya, bukan hanya masalah kerja di Surabaya yang ortu nggak setuju, tapi nggak pernah mau ngomong dengan jujur. Saya yang menolak jadi PNS di Buton juga bikin mereka kecewa.

Padahal, saya sudah berusaha menyenangkan hati ortu dengan rutin mengikuti test CPNS di Surabaya. Duh nggak usah nanya, test CPNS apa yang enggak saya ikutin dulu.

Selama ada jurusan Teknik Sipil, dan secara administrasi memenuhi, tentu saja saya ikutan. Bukan hanya test CPNS ya, test BUMN juga ikutan.

Dari yang awalnya saya deg-degan ikut test-nya, apalagi wawancaranya, sampai yang udah biasa aja tuh, saking seringnya ikut test dan wawancara.

Demikian juga dari yang hampir pingsan ketika antri berjejal mengurus surat keterangan berkelakuan baik di kepolisian sebagai syarat berkas administrasi. Sampai yang udah biasa aja tuh ikut antrian.

Bahkan pernah juga tuh, ketika habis lahiran sesar, luka sesar saya masih basah dong, tapi sempat-sempatnya saya ikutan test CPNS lagi.

Nggak main-main sih usaha saya dulu ketika mengikuti test CPNS demi membahagiakan hati ortu, meskipun test-nya bukan di Buton sih.

ortu harus maafkan anakmu

Bukan hanya nggak setuju saya merantau ke Surabaya sih, bahkan menikah dengan pilihan hati saya, sepertinya ortu nggak setuju. Alasannya, image orang Jawa di mata orang Buton itu buruk.

Ini pengalaman pribadi keluarga kami sih, ada beberapa orang yang sakit hati, ketika suaminya yang orang Jawa tiba-tiba meninggalkan istrinya tanpa pesan apapun. 

Ada yang ketika itu pamit mau mudik ke Jawa, karena duit nggak mencukupi, jadi suaminya pamit mau mudik sendirian aja. Eh nggak tahunya, setelah itu nggak pernah lagi ada kabarnya, boro-boro mau balik.

Tapi, ada pula yang sangat sadis, masih bisa dibilang keluarga meski agak jauh sih, dia datang bersama suaminya yang orang Jawa. Sampai di Surabaya, istrinya ditinggal begitu saja dengan anaknya. Bukan main bingungnya istrinya tersebut, beruntung dia ingat kalau di Surabaya ada om saya yang merupakan seorang tentara Angkatan Laut. Dengan berbagai cara akhirnya dia berhasil ditolong om saya, lalu kembali ke Buton membawa luka hati.

Mengingat hal itu, saya merasa wajar sih kalau ortu nggak setuju. Cuman memang mereka nggak bisa berbuat apa-apa, karena udah janji sama anak-anaknya, bakalan merestui siapapun pilihan anaknya.

Tapi sayangnya, mereka nggak bisa berdamai dengan benar-benar ikhlas merestui, keknya.

Salah satunya mungkin, karena pasangan saya nggak mau diajak tinggal di Buton. Tapi untuk masalah ini memang bukan sepenuhnya salah pasangan sih, memang sayanya lebih nyaman tinggal di Surabaya.

Di Surabaya ya, bukan lainnya, hehehe.

Tapi entah karena ketidak ikhlasan ortu menerima dan merestui pilihan saya, sejak dulu tuh hidup kok terasa berat banget. Mau sukses itu susaaahhhh banget.

Bahkan semua hal yang saya usahakan, selalu gagal. Sedikit banyak meninggalkan nyesek di hati, salah satunya ketika saya gagal keterima di Pelindo, padahal udah mengikuti berbagai rangkaian test, termasuk test kesehatan yang naked di depan dokter, hiks.

Pas wawancara akhir, gagal, huhuhu.

Saya lalu mencoba mencari di mana letak ke'sial'an saya itu, lalu banyak mendengar, membaca dan melihat kisah-kisah anak yang sukses karena doa ortu.

Hiks, saya mah boro-boro doa dari ortu, yang ada hanya hati kecewa mereka yang saya terima, hiks.

Satu hal lagi yang bikin saya sedikit bertambah kecewanya, ketika saya hamil anak kedua.

Jadi, sebenarnya kan (sepertinya ya) ortu tidak setuju saya jadi ibu rumah tangga. Mereka nggak pernah katakan langsung sih, tapi saya menyadari dari beberapa hal selain ucapan kakak saya ketika dia menelpon untuk curhat.

Salah satunya juga ketika mama berharap saya balik bekerja, saat si Kakak udah masuk sekolah. Tapi, sepertinya harapannya musnah, ketika akhirnya saya hamil anak kedua.

Saya ingat banget gimana momen ketika menelpon mama dan mengabari bahwa saya hamil. Tanggapan mama sangat dingin, tapi karena saat itu saya sangat bahagia, jadi reaksi tersebut nggak terlalu dipikirkan.

Lalu ketika saya mudik untuk menjenguk bapak sakit di masa pandemi kemarin, ya Allah hati saya potek melihat si Adik yang nggak terlalu disambut antusias oleh kakek neneknya.

Padahal saya dengan semangat mengatakan kalau si Adik ini mirip bapak saya banget, khususnya pas dia baru lahir ya. Tapi hal itu nggak bikin mereka terlihat lebih happy menyambut si Adik yang baru pertama kali ketemu kakek neneknya.

Lalu akhirnya bapak meninggal, dan saya yang kelelahan dengan semua kegiatan mereka, dengan semua suruhan mereka akhirnya meledak dan melawan kakak saya.

Mama saya lalu membela kakak dan mengeluarkan kata-kata yang buruk buat saya. Setelah itu saya pulang ke Surabaya, nggak sekali dua kali mencoba menelpon dan SMS mama untuk menjalin komunikasi lagi, meminta maaf. Tapi sedikitpun nggak dijawab oleh mama.

Sampai akhirnya jujur saat ini saya sudah menyerah sejenak. Bukan menyerah karena ingin melupakan mama ya, tapi menyerah karena kondisi saya sendiri memang juga sangat mengenaskan, hahaha.

Saya nggak tahu, apakah ini hanyalah sebuah rasa bersalah saya karena nggak menuruti kata-kata ortu. Tapi jujur saya merasa bahwa semua hal yang terjadi pada saya, beban ujian yang berat. Kesulitan mencari jalan sukses dan bahagia, salah satunya disebabkan oleh kekecewaan ortu.

Akan tetapi saya juga merasa kalau hal ini bukanlah sebuah hal yang harus disesali. Saya melakukan banyak hal untuk menyenangkan mereka loh, meski nggak semua lantas mengorbankan diri sendiri sih.

Salah satunya dengan rajin ikut test CPNS sesuai harapan mereka, selalu berusaha mudik biar biar tetap ketemu mereka.

Ketika akhirnya hidup saya masih berat oleh tidak adanya restu ikhlas dari ortu, saya hanya bisa pasrah menerimanya.

Namuuunn, ujungnya sebenarnya ortu juga yang kasian.

ortu harus maafkan anakmu


Mari kita skip dulu kisah saya, kita akan kembali mengenang tentang berita yang menggemparkan yang terjadi bulan Juli 2024 lalu. Di mana sepasang lansia ditemukan meninggal sampai sudah membusuk di rumah mereka yang ada di Bogor.

Ini menyedihkan sih, karena menurut beberapa kabar yang beredar, ternyata selama ini kedua lansia ini hidup berdua tanpa dikunjungi anaknya sama sekali atau jarang.

Bahkan, untuk bertahan hidup, keduanya sering dibantu oleh pihak gereja setempat, baik diberikan makanan, hingga dibantu membersihkan rumahnya.

Ketika satu Indonesia menghujat anak-anaknya sebagai anak durhaka, saya bahkan menerka-nerka kira-kira luka apa yang anaknya rasakan, sehingga abai terhadap ortu.

Sampai akhirnya beredar video klarifikasi anaknya, yang mana dari situ saya dapat insight baru, kalau salah satu alasan anaknya jarang komunikasi sama ortunya, karena anaknya sibuk cari duit.

Btw, anak pertamanya adalah seorang supir, saya nggak tahu sih dengan anak kedua dan ketiga. Tapi saya sedang menerka juga, bagaimana kondisi ekonomi anaknya. Jadi tahu alasan mengapa ada kabar yang mengatakan, pasangan lansia ini pernah minta dianter ke ATM untuk mengambil uang. Katanya anaknya janji mau kirim uang, nggak banyak, cuman 100 atau 200ribuan aja kalau nggak salah.

Tapi, udah sampai di ATM, ternyata anaknya belum juga mengirimkan uang.

Setelah dengar klarifikasi anaknya, saya jadi mengira-ngira apakah faktor ekonomi yang membuat anaknya kesulitan memperhatikan ortunya yang sudah lansia?.


Mengapa saya berpikir demikian? karena saya sendiri kesulitan membahagiakan hati ortu, salah satu alasannya karena duit.

Selepas saya balik ke Surabaya ketika bapak meninggal dulu, saya sempat berkomunikasi dengan mama, meskipun mama menjawab datar, tapi beliau mau mengangkat telpon saya.

Mau tahu alasannya mengapa mama angkat telpon? karena saat itu saya kirimin beliau uang hasil kerja saya sebagai blogger dan influencer.

Btw, ketika pandemi dulu, penghasilan blogger dan influencer emang lebih mendingan ketimbang sekarang sih.

Tapi, setelah beberapa bulan, saya udah nggak bisa lagi mengirim uang, karena kami benar-benar dilanda bokek, terutama saat kedua anak udah mulai sekolah.

Meski belum sempat mengirim uang, tapi saya rutin SMS dan menelpon mama, mencari tahu kabarnya, tanya apakah beliau sehat, kakinya sakit atau enggak?. 

Sayangnya, sejak saya nggak kirim uang, mama nggak pernah lagi membalas SMS apalagi mengangkat telpon saya.

Sampai akhirnya saya benar-benar lelah, dan sekarang udah bisa dibilang lama banget nggak pernah menghubungi mama.

Dan saya juga merasa hidup saya kok makin kelam akhir-akhir ini, makin susah membahagiakan mama dengan uang. Boro-boro mudik melihat mama, mengirim uang aja nggak bisa.

Kenapa Rey?.

Ya duitnya yang nggak ada.

Bahkan saya bolak balik sakit demam dll, karena pusing mikirin duit, banyak tagihan yang harus dibayar, sementara penghasilan sepi amat, hiks.


Saya jadi ingat mama pernah bilang, kamu kok nggak bisa kayak si Itu, dia sukses di Jawa, gajinya gede, sampai ibunya diajak ke sana.

Saat itu pengen banget saya jawab, seharusnya mama tanya, apa yang ibunya lakukan sampai anaknya bisa sukses di daerah lain?.

Berapa banyak ibunya mendoakannya? adakah tetes air mata ibunya memberatkan langkahnya?

Saya juga jadi ingat, mengapa sampai akhirnya pasangan lansia di Bogor itu meninggal sampai membusuk baru diketahui lantaran anak-anaknya nggak pernah komunikasi dengan mereka.

Karena anak-anaknya sibuk cari makan, sibuk biayain keluarganya.

Andai anak-anaknya kaya, setidaknya kan bisa bayar orang lain buat jagain ortunya, dan nggak akan ada tuh cerita ortunya dikasih makan oleh gereja saking nggak ada duitnya.

Saya lalu menarik korelasi berkesinambungan dari ibunya Nikita Willy, yang mengatakan bahwa seharusnya ibu jangan mengeluarkan air mata kecewa untuk anak. Maafkanlah anak, agar langkahnya ringan, dan kebaikan selalu menyertai.

Andai ortu saya bisa merestui saya dengan ikhlas, saya nggak percaya hidup saya akan sesulit ini. Saya juga yakin banget kalau bisa sukses di sini, karena tahu persis saya punya modal ketekunan yang bisa diadu dengan siapapun.

Lalu, andai saya sukses, punya uang yang cukup, insya Allah mama akan bangga dan akan diratukan oleh uang anaknya.

Apakah mama lupa, saya rela membelikan mama ini itu meskipun saat itu, saya masih jauh dari kata berkecukupan.

Saya pasti bisa lebih sering pulang ke Buton, mungkin juga akan membelikan tanah dan rumah di BauBau, seperti impian mama yang ingin saya punya tanah di sana.

Ah mama, andai kau tahu semua itu butuh uang, dulu mama juga tak bisa menyenangkan mamanya, karena uangnya terbatas kan?.

Sama Ma, anakmu ini kesulitan menjengukmu karena buat bertahan dalam kesehariannya saja, sulit.    

Saya tahu banget, mama lebih suka saya di Buton, karena mama memang sulit akrab dan tahan hidup dengan kakak saya. Mama kesulitan juga bisa akrab dengan menantunya, suami kakak saya.

Tapi, bagaimana saya bisa mendampingi mama, kalau saya sendiri bahkan masih hidup di keesokan harinya saja, sudah Alhamdulillah.

Ah begitulah.

Setidaknya ini menjadikan pelajaran buat saya, untuk selalu tidak pernah lupa mendoakan anak-anak saya. Tidak pernah lupa mengingatkan Allah, meski itu cuman kiasan ya, Allah kan Maha Tahu tanpa dikasih tahupun.

Saya bilang ke Allah, bahwa saya sudah memaafkan dan meridhai anak-anak, maka mohon ridhai pula anak-anak saya.

Semoga, saya bisa menjadi orang tua yang bijak dalam memanajemen kekecewaan akan sikap anak. Karena sadar, setetes air mata kecewa saya ke anak, adalah sebongkah besar hambatan untuk anak melangkah ke tempat yang lebih baik.

Dan bagaimana anak bisa berbakti, jika dia sendiri kesulitan akan hidupnya?. Jadi, orang tua yang memaafkan anaknya, ibarat melakukan itu untuk dirinya sendiri. Untuk ketenangannya, dan untuk memberi kesempatan anak-anak bisa berbakti padanya dengan leluasa tanpa bikin anak istrinya nyesek tak dinafkahi karena memilih mengutamakan ibunya.


Surabaya, 29-09-2024

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)