Seorang anak lelaki kecil berusia 7 tahun sedang berdiri di trotoar pinggir jalan, matanya nanar melihat kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Sesekali melihat ibunya yang merenung duduk di pinggir trotoar.
Mungkin karena bosan menunggu, si anak lelaki lalu beranjak melihat-lihat ke dalam pagar yang ada di trotoar tersebut.
Tapi tidak berlangsung lama, si anak perlahan menghampiri ibu,
"Mi, adek lapar banget!"
Ibunya meraihnya dalam pelukan,
"Sabar ya Dek, kita tunggu kakak, abis itu kita pulang!"
*************************************************************
Begitu kali kira-kira deskripsi dari keadaan saya kemarin sore menjelang magrib di jalan Ahmad Yani Surabaya. Kelelahan membuat saya menepi sejenak di pinggir jalan depan RSAL Dr. Ramelan.
Saya dan si Adik menanti si Kakak yang latihan floor ball di SMP Muhammadiyah 4 dekat daerah situ.
Sebenarnya, saya lelah banget antar jemput anak-anak ke sana ke mari, ingin rasanya mengajak anak-anak bolos sejenak, seminggu dua minggu gitu.
Apalagi si Kakak udah selesai ikut ujian sekolah tengah semester minggu kemarin, setelah Alhamdulillah mendapatkan pinjaman uang buat bayar SPP dan uang kegiatannya yang menunggak sampai hampir nggak bisa ikut ujian dari seorang teman blogger yang masya Allah udah berbaik hati banget, semoga Allah limpahkan keberkahan dan rezeki berlimpah buat si Mba-nya, aamiin.
Tapi masalahnya, di sisi lain saya juga nggak tega, si Kakak sedemikian berbinar-binarnya berharap bisa ikutan terpilih kompetisi floor ball yang akan diselenggarakan akhir Oktober atau awal November ini.
Otomatis kan harus sering latihan dan datang tepat waktu, biar punya kesempatan terpilih. Di sisi lain, melihat kakaknya latihan floor ball, saya juga nggak tega untuk melarang si Adik latihan Pagar Nusa di sekolahnya sore itu.
Alhasil, meski badan rasanya luluh lantak, karena cuaca Surabaya memang lagi super hot banget, ditambah malamnya saya begadang sampai pukul 1, dan bangun pukul 4 pagi, paginya juga anter si Adik sekolah, abis itu kami muter cari kontrakan lagi dan belum dapat juga.
Tetep aja saya harus memaksakan diri untuk anterin si Kakak floor ball pukul 13.30, dan pukul 15.00 anter adik latihan pagar nusa.
Sambil anter anak-anak, saya juga tetap muterin beberapa gang, berharap ada kontrakan yang bisa cocok untuk kami, sayangnya masih nihil.
Karena perbedaan waktu latihan kakak dan adik yang berjauhan banget, jadinya ada jeda waktu yang bikin saya makin terasa lelah, karena harus nunggu. Mau balik ke tempat kami, kok kejauhan. Nunggu di luar, udahlah panas si Adik juga kebanyakan tingkah.
Sama ketika selepas adik selesai latihan, saya lalu menjemput si Kakak dan ternyata dia belum selesai, alhasil saya melipir di pinggir jalan buat melepas lelah sejenak.
Sambil melepas lelah, dan mendengarkan keluhan si Adik yang lapar, dia pengennya beli bakso yang dijual tak jauh dari situ, tapi saya nggak bisa kabulkan, karena harus banget irit, sampai di titik yang benar-benar nggak bisa makan lagi.
Jadi dengan sedih, saya cuman bisa memeluknya dan menghiburnya, lalu perlahan mulai buka HP, mencoba cari kontrakan lagi, siapa tahu kan ada yang bisa sekalian disurvey, mumpung lagi di luar.
Saya iseng buka TikTok, biasanya kan banyak tuh yang share info kontrakan di TikTok, meskipun sebenarnya juga pesimis, karena kebanyakan yang share info di medsos itu, juga bukan pemiliknya, jadinya mahal dan nggak bisa sewa bulanan.
Tapi, namanya juga usaha kan.
Dan ayo tebak apa yang saya temukan, eh justru konten jeduk-jeduk bapakeh anak-anak dong yang lewat di beranda saya.
Seketika shock, sampai nggak bisa gerak saking emosi menguasai diri.
Bisa-bisanya dia santai TikTokan, pamer fotonya yang bersantai diedit jedag jedug, pamer kegiatannya jalan-jalan sejenak katanya.
Sepertinya dia berada di Bali, nggak tahu buat kerja atau ngapain.
Nyaman banget ya, nggak perlu pusing mikirin anak-anak kelaparan, nggak perlu mikirin anak-anak tinggal di mana?.
Ternyata kelakuan tidak bertanggung jawab ini ternyata bisa banget akibat gen.
Saya ingat banget, ketika dulu baru menikah, diminta ortunya kumpul di rumahnya. Mereka dulu memang sering melakukan rapat bareng kalau ada masalah.
Ternyata waktu itu masalahnya adalah, seseorang dengan santai meninggalkan anak istrinya, padahal istrinya tuh nggak punya keluarga di Jatim, istrinya juga cuman IRT dengan 3 anak.
Waktu itu jujur saya merasa agak takut sih, takut sikap seperti itu ditiru oleh pak suami. Tapi ketika itu saya sedikit terharu dan salut melihat dia begitu marah ke seseorang itu karena seenaknya menelantarkan keponakannya itu.
Pada akhirnya, seseorang itu tetap memilih menelantarkan anak istrinya, tapi bersyukur istrinya masih punya keluarga di propinsi sebelah.
Jadi, dia akhirnya pulang membawa 3 anaknya ke sana, sambil membawa bekal uang modal usaha dari mertuanya. Dan hingga saat ini, terpaksa ketiga keponakannya tersebut putus sekolah, karena bapaknya menikah lagi dan bahkan sedikitpun nggak mau tahu dengan anak-anaknya tersebut.
Sementara karena memang harus mengurus 3 anaknya, sampai di propinsi tersebut, si istrinya hanya bisa membuka usaha warung kecil-kecilan dari modal yang dikasih mertuanya, yang cuman bisa dipakai untuk makan dan bertahan hidup semata.
Ternyata sikap seseorang itu ditiru banget sama papinya anak-anak ini. Tapi ini lebih mengenaskan.
****************************
Dia tahu, saya nggak punya keluarga, nggak punya tempat pulang. Saya juga nggak dekat dengan keluarganya, terakhir kalinya saya berusaha mendekatkan diri ke keluarganya, setelah berdiskusi dengan papinya anak-anak.
Apakah saya harus tinggal di rumah lansia, karena toh tuh lansia sendirian setelah istrinya meninggal. Awalnya si Kakak saja yang akan tinggal di sana dengan rencana dia masuk SMP negeri biar lebih hemat.
Tapi karena si Kakak belum bisa mengurus dirinya sendiri, nanti gimana sarapannya? siapa yang bangunin dia? dan lainnya?. Akhirnya saya diskusi apakah saya tinggal di sana saja?.
Papinya anak-anak setuju.
Meski tinggal di sana itu sangat melelahkan karena saya harus mengurus si lansia, meanwhile dulu bapak saya aja jarang saya urus, hiks.
Tapi jujur saya senang, setidaknya saya merasa happy karena punya kesempatan berbakti sama bapak-bapak yang saya anggap pengganti almarhum bapak kandung saya.
Sampai di kejadian saya mengalami pelecehan diintip ketika mandi dan tentu saja semua keluarga nggak percaya. Yang lebih menyakitkan papinya anak-anak malah juga nggak percaya.
Alasannya saya nggak bisa menunjukan buktinya.
Ini gimana pakai bukti ya? coba jelaskan pada saya, gimana caranya saya yang di rumah itu cuman tinggal ber-4. Saya, anak-anak dan si lansia, lalu setiap waktu shalat ada waktu saya hanya berdua saja dengan si lansia di rumah itu.
Tapi saya dengan sadar harus menjebak si lansia itu buat intip saya mandi, terus saya harus pasang kamera demi membuktikan pelecehan itu?.
Bagaimana caranya?.
Ujung-ujungnya, saya awalnya bertahan dengan penuh ketakutan dan rasa was-was selama 3 bulanan di sana.
Apalagi setelah anak-anak masuk sekolah, saya harus bangun pukul 3 pagi untuk masak bekal dan sarapan buat anak-anak.
Pukul 4 atau lebih biasanya tuh orang bangun, dan jujur saya selalu ketakutan, karena kan itu suasananya sepi, anak-anak masih tidur, takut banget kalau tuh lansia muncul erornya saat itu.
Intinya, cerita ini saya lampirkan, untuk menjelaskan how hard i tried to make relationship dengan keluarganya, karena katanya kan keluarga suami itu keluarga saya juga, apalagi di sini saya juga nggak punya siapa-siapa kan ya. Saya mengemis keluarga kepada mereka juga demi anak-anak bisa punya keluarga.
Bahkan, di mana-mana pun udah nggak punya siapa-siapa.
Mama saya udah menutup dirinya dengan saya, apalagi kakak saya. Andai bapak masih hidup, masih ada harapan saya pulang dan pasti disambut oleh beliau.
Tapi emang sekarang udah nggak ada harapan, jadi hanya bisa berharap bisa making family dengan keluarga suami, dan berakhir dengan sangat traumatis.
Papinya anak-anak juga sadar betul, saya nggak punya penghasilan. Dan saya nggak hanya asal ngomong, tapi juga membuktikannya dengan usaha lebih bertahun-tahun. Segala hal saya lakukan, baik jualan online, bikin kue, ikut MLM, sampai sekarang ngeblog bahkan aktif di medsos.
Kenyataannya, cari uang dengan cara melakukannya di sela waktu urus anak dan lainnya, hasilnya juga ya cukup untuk jajan saja.
Kalau untuk membiayai semua hidup saya dan anak-anak, baik untuk tempat tinggal, sekolah dan makan, itu masih terbilang mustahil.
Dan dia juga tahu, saya nggak punya simpanan emas, apalagi uang tabungan. Bagaimana mau nabung kalau kebutuhan sangat banyak dan mahal.
Lalu, dengan kesadarannya akan hal itu, bisa-bisanya udah 2 mingguan dia tidak peduli dengan anak-anaknya, padahal terakhir dia kirim 500ribu untuk kekurangan uang sekolah adik dan makan.
Bayar 150 untuk kekurangan uang sekolah, 350ribu untuk beli beras, air minum, gas, uang bekal anak-anak, bahan makanan, emang cukup untuk 14 hari?.
Beras paling murah yang saya tahu tuh 13ribuan, sementara anak-anaknya laki dan si Kakak yang udah remaja kalau makan nasi tuh banyak.
Bisa-bisa seminggu 4kg kadang ga cukup.
Belum lagi, dia tahu persis saat ini kami tinggal di tempat yang sewanya terbilang mahal. Well, sebenarnya enggak terlalu mahal juga sih, emang standar di Surabaya segitu. Apalagi kontrakan saya sekarang emang sekalian sama furnish, ada ranjang, kasur, kompor, lemari dan lainnya. Bisa dibilang saya masuk ke sini cuman bawa baju aja, udah bisa hidup.
Itupun, saya memilih kontrakan sekarang ini dengan alasan yang sangat terpaksa.
Ceritanya, setahunan yang lalu, setelah saya menyerah ketakutan melulu tinggal bersama lansia yang terbilang mesum, saya mengeluh ke papinya anak-anak nggak ada solusi. Ujungnya malah menutup komunikasi.
Akhirnya kan saya memilih pergi dari rumah si lansia.
Terkatung-katung dong saya, bahkan anak-anak saya tinggalkan bersama tuh lansia, dan sempat nggak masuk sekolah beberapa hari karena nggak ada yang urus.
Ada sih pembokat di sana, tapi masuk pagi doang sampai siang, kerjaannya bebersih, cuci baju dan masak buat si lansia.
Ada juga budhe atau kakak papinya, tapi kan nggak bisa tiap hari bisa di situ mengurus anak-anak. Sementara papinya nggak ada kabar sama sekali.
Akhirnya saya yang berusaha cari kontrakan, dengan membonceng anak-anak kami menelusuri beberapa gang di sekitar sekolah anak-anak. Biar lebih hemat transportasinya kan.
Kenyataannya ya memang sesulit itu nyari kontrakan di Surabaya, kalau duitnya nggak ada, wakakakakak.
Akhirnya dalam keputus asaan, saya memutuskan cari kontrakan yang bisa bulanan tapi ada furnish-nya. Alasannya, karena saya nggak bisa angkut barang di beberapa kontrakan yang saya liat, karena kondisinya masuk gang kecil dan lokasinya ke tengah banget pulak.
Kebanyakan tuh gangnya bahkan nggak bisa nyalain motor, jadi motor kudu dituntun. Lalu gimana caranya saya angkut kompor yang super urgent kan, biar hemat. Angkut gas, bahkan kulkas biar bisa simpan stok makanan?
Mungkin ada yang berpikir, bayar orang dong!.
Etdahhhh, saya nggak punya uang lebih untuk itu!
Akhirnya saya ketemu dengan kontrakan yang saya tinggali sekarang, tapi memang terbilang mahal buat kami. Rencananya sih kami tinggal di sini selama 2 bulanan saja, sampai bisa menjalin komunikasi dengan papinya anak-anak, dan saya bisa meminta bantuan sama-sama cari kontrakan yang pas buat keuangan kami.
Nyatanya, sebulanan kemudian, papinya pulang, tanpa ada rasa malu sama sekali menelantarkan kami yang kebingungan mencari tempat tinggal setelah lepas dari lansia aneh itu.
Tapi, karena butuh kerja samanya agar anak-anak bisa sekolah dengan tenang, saya putuskan untuk memaafkan saja. Lalu mulai membicarakan rencana yang masuk akal. Saya ajak dia cari kontrakan lain, karena di sini memang perlu uang banyak untuk biaya hidup.
Sebenarnya, kalau untuk sewanya, hampir sama kok dengan kontrakan lain. Ini sedikit di atas pasaran kontrak rumah karena emang ada perabotnya, di mana saya butuh banget itu, karena nggak bisa angkut barang sendiri.
Tapi, untuk kebutuhan hidupnya mahal, motor harus bayar parkiran, beli gas nggak boleh yang ijo, beli air mineral nggak ada yang bisa anterin air refill. Padahal kan butuh banget air refill buat masak, mau masak pakai air keran di Surabaya itu serem banget.
Akhir-akhir ini kadang saya tampung air keran di botol buat masak nasi, alhasil sejak saat itu anak-anak bolak balik aja sakit, hiks.
Belum lagi bayar air dan listrik yang mahal, bayar IPL juga tak kalah mahal.
Karena itulah, ketika dia pulang tahun lalu, saya minta banget untuk cari kontrakan lain. Setidaknya meski mungkin nggak bisa dapat yang murah banget, asalkan bisa menekan pengeluaran keseharian secara hemat kan ye.
Tapi, seperti biasa adaaaa aja alasannya, bahkan dia memaksa untuk nggak apa-apa tinggal di sini, toh juga meski mahal tapi masih bisa tertutupi.
Saya awalnya pengen protes, tapi sudah yakin ujungnya bakalan berantem lagi, trus dia kabur lagi, makin nggak bisa diskusi untuk hal lain kan.
Sesulit itu posisi saya mengemis waktu untuk diskusi masalah anak loh!
Memang sih, selama setahunan ini masih bisa menutupi segala kebutuhan yang mahal di sini, meskipun dengan risiko saya nggak bisa nabung sama sekali.
Padahal di awal tahun ini, pendapatan saya dari ngeblog itu lumayan banget loh, bahkan saya optimis bisa ajak si Kakak ke dokter gigi untuk perawatan giginya yang rusak, tahun ini.
Nyatanya, karena mahalnya biaya hidup di sini, ditambah kegiatan sekolah anak-anak buanyaaakkknyaaaa minta ampun . Boro-boro nabung, yang ada masih nombok make beberapa uang simpanan saya yang nggak seberapa itu.
Puncaknya ketika akhirnya si Adik mau masuk SD, saya bolak balik nanya, ini gimana?.
Maksudnya apakah ada opsi memindahkan sekolah anak-anak? di sekolah negeri misalnya? biar lebih ringan kan?.
Ini harus banget dibahas, dan butuh dia yang urus, karena KTP kami terdaftar di alamat rumah si lansia. Yang benar saja saya yang harus urus dan ketemu lansia yang bikin traumatis itu?.
Tapi, lagi-lagi nggak ada tanggapan, dia bahkan setuju aja si Adik dimasukan ke sekolah yang sama kayak kakaknya. Awalnya saya juga setuju sih, karena meski aslinya nggak sreg karena capek banget dengan banyaknya kegiatan yang bikin stres di sekolah itu.
Namun karena si Adik merupakan alumni yayasan itu, jadi dapat potongan uang pangkal 50%, lumayan lah. Sayangnya saya salah.
Ternyata sekolah itu aslinya lebih mahal, tapi mereka memecah-mecah biaya yang ada.
Jadi, uang masuknya tuh cuman uang pangkal, seragam dan lainnya. Pas udah masuk, datang lagi uang tambahan, ada uang buku 1 jutaan, yang sukses bikin shock, karena buku itu kalau beli sendiri di toko buku dekat situ, jauuuhh lebih murah.
Ada juga uang kegiatan, belum lagi ada kegiatan tambahan yang mana melibatkan ortu dan ujungnya butuh uang lagi.
Lalu, pegimana saya bisa saving duit kalau gitu?
Nah, 2 bulan lalu, setelah sebulanan lebih nggak ada komunikasi dengan kami, dia pulang. Saya kira dia cuman libur sebentar, tapi ternyata sebulanan kemudian lagi saya baru sadar kalau dia nganggur.
Kebayang nggak sih?. Itu jadwalnya perpanjangan kontrakan yang mahal ini, dan selalu bergantung di gajinya. Belum lagi biaya sekolah anak-anak belum ada yang lunas, karena sejak Juni dia kasih duit tuh sedikit sedikit aja.
Ujungnya, dia sama sekali nggak peduli kontrakan bisa terbayar atau enggak, demikian juga dengan air dan listrik. Sementara kalau air listrik nggak dibayar itu, maka akan segera diputus.
2 minggu lalu, si Adik harus ujian, dia nggak kebagian kartu ujian, karena SPPnya nunggak 2 bulan, dan uang buku serta kegiatannya belum lunas sama sekali. Saya minta anak-anak hubungi papinya untuk kasih tahu hal itu, karena uang yang saya pegang buat makan saja.
Dengan anak-anak mengemis-ngemis beberapa kali, baru deh papinya mau mengusahakan uang itu, meskipun ternyata kurang, terpaksa saya tutupin dengan uang yang masih ada di saya, dan risikonya buat makanpun nggak ada.
Saya juga udah bilang ke si Kakak, ingatkan papimu kalau seminggu lagi giliran si Kakak yang ujian, dan tunggakan si Kakak itu lebih banyak. Ada SPP 3 bulan dan uang kegiatan serta LKS dan lainnya belum dibayar sama sekali, karena sejak Juni bapakeh nggak kasih uang lebih buat sekolah anak-anak.
Ternyata, untuk uang sekolah si Kakak, papinya ingkar, sama sekali nggak mau tahu. Si Kakak yang sedih mencoba menelpon papinya, karena sudah di WA sejak kemaren-kemaren nya, tapi nggak dibalas bahkan enggak dibuka sama sekali.
Btw, ini sifat buruk yang sangat bikin saya maupun anak-anaknya sakit hati tak terkira, setiap ada masalah gini, dia kabur, nggak mau baca WA bahkan sampai berhari-hari.
Si Kakak masih berusaha menghubungi papinya, karena sedih dan takut dia nggak bisa ikut ujian, tapi nggak lama kemudian, tiba-tiba nomornya nggak bisa dihubungi, sepertinya di-blokir.
Dan begitulah, hingga hari ini anak-anak nggak bisa menghubungi bapakeh itu. Sementara si Kakak kemarin butuh banget buat ujian, dan uang makan kami udah habis, empunya kontrakan mulai gerah dengan kami yang nunggak juga.
Begitulah kondisi kami yang makin hari makin mengkhawatirkan ini.
Saya sendirian di dunia ini, nggak ada keluarga tempat pulang, nggak punya penghasilan yang bisa mencukupi semuanya.
Nggak ada surat keterangan nggak mampu, jadi nggak bisa mengajukan sebagai keluarga tidak mampu agar anak-anak bisa sekolah tanpa ribet dengan uang teroosss sementara saya belum bisa menghasilkan uang yang cukup.
Yang bisa saya lakukan adalah, sejak beberapa hari belakangan ini mencari kontrakan yang terjangkau buat kami. Inipun sebenarnya asal ada usaha aja dulu, jujur saya nggak tahu nanti bayarnya gimana?.
Tapi yang penting usaha dulu kan, bukannya Allah akan membantu orang-orang yang mau berusaha?.
Dan kenyataannya, belum ada yang berubah dari tahun lalu. Kebanyakan harga kontrakan itu minta minimal setahun. Dan ada sih kontrakan di Surabaya yang setahun itu di bawah 20 juta.
Ini kan yang dulu jadi alasan bapakeh setiap kali saya minta untuk cari kontrakan di Surabaya. Dulu dia selalu beralasan nggak punya uang puluhan juta buat bayar kontrakan.
Kalau sekilas dengar omongannya, sepertinya dia pengennya tinggal di Sidoarjo, alasannya lebih terjangkau. Padahal ya, sebenarnya sama aja.
Kontrakan di Sidoarjo juga dulu belasan juta. Dan di sana saya kesulitan untuk anjem anak-anak sendiri, karena jalanannya kecil-kecil, saya takut naik motor di jalanan kecil apalagi dipakai 2 arah.
Nyatanya, ada banget loh yang kontrakan belasan juta, bahkan di lokasi dekat Unair, saya nemu loh kontrakan belasan juta setahun dan itu 3 kamar.
Memang sih, gangnya kecil, tapi masih bisa masuk motor dan nggak perlu dituntun. Dan yang pasti kalau dia bisa ikut cari kontrakan, masalah pindahan itu jauh lebih mudah, karena ada orang dewasa buat angkut beberapa barang.
Nah, karena saya nggak mungkin banget bisa mendapatkan uang belasan juta sekarang, jadi saya fokus di cari kontrakan yang lokasinya kalau bisa jangan yang terlalu di tengah gang sempit, karena bingung angkut barangnya.
Sudah berhari-hari nyari, belum ketemu juga. Beberapa juga ketemu sama yang PHP.
Kayak 2 hari lalu, saya nemu kontrakan yang mungil tapi lokasinya masih memungkinkan. Dia minta 17juta setahun, tapi ketika iseng tanya apakah bisa bulanan? dijawab bisa banget.
Kalau ambil bulanan dia ngasih 1,8 juta. Saya pikir, hal ini masih masuk akal sih, biar kata tempatnya mungil kan ye.
Tapi pas survey udah janjian, ternyata itu masih dalam tahap dibangun, dan dia minta DP dulu biar bisa selesaikan kerjaan tersebut, dan karenanya nggak bisa kalau nerima DP untuk sewa bulanan.
Astagaaahh, padahal katanya boleh bulanan, sampai saya bela-belain datang dan nunggu orangnya lama banget di sana. Janjian jam berapa, dia datang jam berapa. Ternyata jadinya kek gitu.
Capekkkk banget jadinya, rasanya numpuk semua di kepala.
Saya yang introvert, setiap kali keluar dan ketemu orang tuh energi saya habis kesedot.
Nah ini ketambahan dengan udahlah introvert, harus keliling dan nanya belasan hingga puluhan kontrakan keknya, berurusan juga dengan beberapa PHP. Penolakan-penolakan nggak boleh bulanan harus tahunan. Kelilingnya naik motor sambil bonceng 2 bocah yang udah gede-gede pulak.
Ditambah, fisik saya memang sekarang udah nggak se fit dulu, akibat bertahun-tahun sering begadang cari uang dari rumah.
Lalu, ketika kondisinya kayak situasi di tulisan paling atas. Lalu lewat konten bapakeh yang isinya dia jalan-jalan santai, itu rasanya pengen memaki almarhum ibunya aja rasanya, padahal ya bukan sepenuhnya salah ibunya, kalau punya anak lelaki pengecut gitu.
Ya begitulah curhatan orang yang isi otaknya penuh ini, saya sudahi dulu deh.
Intinya, saya harus banget meninggalkan banyak tulisan saat ini, tulisan-tulisan tentang keadaan saya dengan anak-anak.
Jujur, saya takut banget, akhir-akhir ini pikiran nggak bisa normal, sampai-sampai kemarin saya udah ngobrol sama anak-anak,
Mami: Gimana kalau kita tidur aja selamanya, mami capek!
Adik: Jangan Mi, tidur sebentar saja.
Mami: Kita nggak punya uang lagi, Dek. Nggak punya tempat tinggal juga. Kalau kita mati, kan nggak perlu bingung dengan uang tempat tinggal, uang makan dan lainnya.
Adik: Adek nggak mau mati dulu, Mi!
Ya ampuuunnn, si Rey udah gila.
What i'm trying to say adalah..
Di manapun bapakeh anak-anak berada, tolong pulang dulu kita kerjasama urus anak-anak ini. Kalau nggak bisa pulang karena lagi kerja, tak masalah, tolong bantulah kerja sama kasih duit.
Nggak punya duit? ya udah itu berarti harus banget pakai tenaga.
Nggak usah berbicara tentang hubungan kita, there is no more kita juga nggak masalah.
Sudah terlampau banyak yang mengingatkan saya, sejak lama sebenarnya.
"Rey, si Ade itu udah nggak mau sama kamu!"
Oh tenang saja, untuk masalah itu udah lama mah saya nggak mempermasalahkan. Coba tanya kakak-kakakmu, apa yang pernah saya lontarkan ke mereka?
Saya masih berharap kau bahu membahu urus anak itu bukan untuk saya. Tapi untuk anak-anak yang jadi tanggung jawabmu.
Ingat kan dulu kamu sering kesal sama bapakmu? Apa yang bapakmu lakukan itu jauh lebih bertanggung jawab ketimbang yang kamu lakukan.
Bahkan seseorang saudaramu yang menelantarkan anaknya itu jauh lebih baik, karena mereka bisa pulang membawa modal hidup puluhan juta.
Sementara kami, bahkan kamu dengan sadarnya pergi di saat saya dan anak-anak nggak punya tempat tinggal sama sekali di belantara Surabaya ini.
Saya juga nggak punya penghasilan yang cukup, ingat kan bagaimana kamu melawan semua keinginan saya dulu memaksa kamu cari kerja di Surabaya, biar anak-anak bisa diurus berdua, jadi saya nggak perlu jadi IRT.
Seandainya saya masih bekerja, saya nggak bisa jamin sih kalau kita jadi kaya raya, tapi saya jamin kita tak pernah akan kekurangan uang sampai separah ini.
Karena kamu dan keluargamu, bahkan banyak orang juga tahu dan sadar, kalau sayalah yang lebih berkompeten dalam dunia kerja.
Tapi, setiap kali saya mengatakan hal itu, kamu selalu mengatakan saya nggak mau kalah saing sama kamu.
Sekarang gimana? mana hasil dari akhirnya saya mengalah dan membiarkan kamu berkarir tanpa gangguan anak sama sekali malah!
Nggak ada kan?
Saya juga udah menasihati kamu berkali-kali,
"Sekarang tuh saingan generasi muda luar biasa menakutkan, bengong sedikit kita bakal tersingkirkan!, karenanya bekerjalah dengan hati, yang rajin, yang ulet, selalu bekerja menganggap itu adalah perusahaanmu sendiri, jadi perusahaan rugi, kamunya yang duluan pusing!
Selalu patuh sama atasan, karena kamu tak punya orang dalam yang kuat, jadi apapun yang atasan perintahkan, selama itu nggak membahayakan dirimu, lakukan saja tanpa protes!
Selalu bawakan solusi kepada atasan, jangan cuman mengkoleksi masalah buat atasan!"
Tapi apa?
Dengan bangganya kamu selalu bercerita,
"Aku memang keras, tapi aku benar! Lama-lama mereka juga tahu maksudku!"
Nah itu, mereka tahu maksudmu, dengan mendepakmu dari kerjaan!
Ah sudahlah...
Surabaya, 13-10-2024
Aku udah speechless denger cerita ttg dia ini 😔. Tega melakukan hal begini. Tapi aku percaya hukum tabur tuai Rey. Suatu saat dia bakal ngerasain akibat dari meninggalkan anak istri nya. .
BalasHapusSabar ya Rey 🤗. Mungkin saat ini seperti ga ada solusi. Tapi allah pasti bantu nanti. Yg kuat dulu demi anak2 yaa 😣
Thank you Mbaaaa ❤️
HapusHmmm, ngga bisa berkata apa-apa lagi, yang aku bingung kenapa masih dengan suami, apakah karena anak?
BalasHapusSekarang cari pekerjaan susah biarpun punya ijazah S1 soalnya tenaga kerja melimpah, kalaupun diterima kerja kadang gajinya dibawah UMK.
Tetap semangat mbak, maaf aku ngga bisa bantu apa-apa.🙏🙏🙏
Diriku udah lama ga pernah ketemu Mas.
HapusIni yang saya permasalahkan kebutuhan hidup anak-anak, bukan bersamanya 😅
Kalau orangnya mah terserah dia mau ngapain.
Asal tanggung jawab ke anak nya ga lupa.
Eh malah melenggang tanpa beban gitu.
Pengen ikutan juga rasanya, enak keknya ya kalau kita tinggalkan anak, biar ga terbebani 😪😅
Memang aku lihat di masyarakat kebanyakan begitu kalo cerai, anak dibebankan ke ibunya, padahal menurut undang-undang bapak juga masih wajib menafkahi sampai anak dewasa tapi ya ngga berlaku dalam praktiknya.
HapusApalagi ini masih suami istri ya, harusnya wajib banget menafkahi. Kalo pun ngga kerja pabrik, kalo ada motor kan masih bisa ngojek kayak aku, sehari dapat 50-100 rb ngga apa-apa, yang penting ada pemasukan.
Mau nyaranin mbak Rey usaha dagang sepertinya kurang pas ya, soalnya terkendala modal, lagipula dagang juga akhir akhir ini pada sepi, ntah kenapa ekonomi begini.
Maaf kalo ada salah kata