Meski 'Makanya Rey' Tapi Saya Juga Nggak Punya Pilihan

meski makanya

Saya nggak tahu apa yang akan terjadi pada diri ini, jika tak berani 'berteriak' melalui media sosial. Nyatanya, saya memang bukan orang yang kuat, saya cuman seseorang yang cengeng, penakut, overthinking, selalu merasa nggak bisa sendiri.

Karenanya, ketika saya merasa sendiri lalu berkabar di media sosial, kemudian ditanggapi dengan positif, atau setidaknya di puk-puk, rasanya sedikit melegakan.

Namun tidak dipungkiri sih, ada juga hal-hal yang mungkin tidak nyaman di hati yang harus saya hadapi. Di antaranya, ucapan-ucapan,

"Makanya Rey!"

"Kan udah dibilangin!"

"Dari dulu juga dikasih solusi, nggak mau diikutin!"

Iya sih, bertahun-tahun berlalu, nyatanya masalah saya memang tak jauh-jauh dari hal ini. Tapi sejujurnya beberapa orang mungkin salah paham ya.

Kebanyakan kan merasa gemas, mengapa sih saya nggak cerai saja sama bapakeh anak-anak?

Lah, padahal masalah saya tuh sebenarnya simple, DUIT! hahaha.

Kalau masalah saya nggak pernah dihargai lagi, nggak pernah ada komunikasi lagi, udah sejak dulu dan sepertinya sih saya udah mulai belajar berdamai.

Yang ada di hidup saya tuh, ya udah lah ya, terserah situ mau ngapain. Mau diperbaiki, ayookk! Mau pisah ayok! mau cuek-cuekan juga, monggo!.

Tapi, jangan pernah melupakan kebutuhan hidup anak-anak!


Itulah mengapa, menurut saya cerai bukanlah solusi yang saya butuhkan, terlebih di saat sekarang, di mana saya setiap hari pusing 9 keliling karena duit, hahaha.

Ya kali, masih rempong mikirin gimana sih bisa mendapatkan duit, biar anak-anak nggak kelaparan?. Tapi juga dibikin pusing sama urus cerai yang pastinya punya proses panjang karena saya nggak tahu gimana urus di RT RW nya?

Setelah cerai juga, sebenarnya kondisi saya nggak bisa berubah juga. Saya tetap masih harus mengurus anak, merelakan waktu saya dihabiskan anak-anak.

Berlomba atas waktu tidur dan waktu bekerja mencari uang di sisa tenaga saya mengurus anak. Yang dengan kondisi seperti itu, nggak mungkin banget dong saya bisa lebih banyak menghasilkan uang. Podho wae!


Nah, kata-kata 'makanya' dari beberapa orang juga menyinggung tentang solusi yang harus saya ambil. Mereka bilang, hal-hal begini seharusnya sudah terpikirkan sejak lama.

Iya sih, dulu juga saya mikirin.

Waktu keluarga saya tahu tentang hubungan saya dengan bapakeh yang merupakan orang Jawa, aslinya mereka menentang.

Alasannya, keluarga kami juga pernah ada yang dikecewakan oleh orang Jawa dengan masalah penelantaran.

Btw, ini bukan berarti membicarakan keseluruhan orang Jawa ya, tapi oknum yang kebetulan bersuku Jawa.


Saya lupa, udah pernah menuliskan cerita ini nggak sih?

Dulu, di tahun 90an kali ya, ada adik dari om saya yang menikah dengan orang Jawa. Sayangnya, si adik om ini mau aja nikah meski belum pernah diajak ke rumah si laki di Jawa.

Setelah punya anak dan kalau nggak salah tuh anaknya masih bayi, si laki ini minta izin mau pulang ke Jawa dulu. Eh si adik om ini maksa mau ikut, karena sering banget ada ucapan kalau suaminya itu nggak bakal balik lagi kalau udah di Jawa.

Karena kehabisan alasan untuk menolak, akhirnya suaminya membolehkan istrinya untuk ikutan. Dan tebak apa yang terjadi ketika mereka sampai di Surabaya?. 

Si laki tersebut tega meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di jalanan Surabaya begitu saja.

Masalahnya adalah ketika itu belum ada HP, dengan sisa uang yang ada di tangannya, si adik om itu akhirnya berhasil menelpon om yang di Surabaya. Sehingga bisa dijemput dan beberapa hari kemudian dibelikan tiket untuk kembali ke Buton.

Betapa marahnya keluarga di sana, seketika itu penilaian mereka jadi buruk kepada semua orang Jawa, bahkan tante saya, istrinya om di Surabaya, ikut terseret dalam penilaian buruk orang di sana.

Bukan hanya dengar ceritanya sih, saya bahkan menyaksikan sendiri bagaimana seorang laki dari suku Jawa melakukan hal serupa kepada istrinya yang menjadi tetangga kami sekaligus keluarga jauh dari mama.

Yang satu ini memang pamit sih, karena udah lama nggak pernah mudik ke Jawa, maka pulanglah dia ke Jawa. Dan sampai di Jawa, lupa pulang dong, padahal dia udah punya 1 anak dengan istrinya di sana.


Hal-hal begini yang bikin keluarga kami makin nggak respek dengan semua orang dari suku Jawa, dan tentu saja ditentang habis-habisan sama si Rey.

Menurut saya, semua itu hanyalah oknum, saya udah mengenal bapakeh anak-anak selama 8 tahun sebelum akhirnya kami menikah.

Nantilah setelah menikah, saya melihat di mata kepala sendiri kejadian serupa terjadi di keluarga bapakeh, lalu bertahun-tahun kemudian terjadi pada saya.


Nah, dari ketakutan keluarga tersebut, bikin hampir semua orang selalu menasihati saya untuk menjadi independent woman. Kakak saya misalnya, nggak berhenti berisik di kuping saya untuk menawari sampai memaksa saya untuk investasi tanah di Buton.

Etdah, penilaian kakak saya emang sangat over price *halah, ke adiknya ini. Bahkan berkali-kali saya menolak dan memberikan alasan bahwa,

"Akoohhh tak punya duit buat beli tanah, woeeee. Ya kali kalau punya duit, yang pasti saya mau beli tanah di sini, orang saya sekarang menetap di Surabaya kan ye."

Bahkan kakak ipar saya bolak balik nelpon minta pulang aja, nanti dicariin kerjaan di sana, dia takut kalau momen ini akan terjadi pada saya.

Dan saya juga sebenarnya udah sempat overthinking sejak lama, makanya ketika ibu mertua masih ada, saya sering mengadu ke beliau meminta tolong menasihati anaknya itu.

Yang ada saya yang dinasihati minta menghormati kepala keluarga.

Siapa yang nggak hormati sih, saya cuman nggak mau dia membawa kemudi rumah tangga dengan 2 anak ke arah jurang.

Karenanya, saya butuh banget kami mengkomunikasikan hal itu.

Tapi ternyata, pengenalan kami selama pacaran 8 tahun, tidak berhasil mendeteksi how selfish he is. Nyatanya nggak ada solusi, sehingga mau nggak mau saya mengalah membiarkan dia yang memegang kendalinya sendiri. Dan ketika itulah awal mula kekacauan ini terjadi.


Nah, maksud teman-teman mungkin saya seharusnya do something.

Tapi jujur nih ya, saya bingung mau do apaan? Karena saya nggak punya tempat tujuan lain lagi. Tempat saya sekarang ya di kota pahlawan ini, kecuali memang saya punya alasan kuat buat pindah, itupun palingan di Sidoarjo atau Gresik, hahaha.

Jadi ya gitu, meski banyak yang bilang,

"Makanya, Rey!"

Tapi apalah artinya, saya juga tak punya pilihan, selain menghadapinya, karena saya tak punya tempat pulang lagi.


Surabaya, 19-10-2024

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)