Ketika Mengalah Dan Selalu Disalahkan, Mungkin Dikarenakan Pelaku NPD

mengalah pada orang npd

Ini curhatan, yang kurang nyaman mending skip aja deh. Pengen curhat tentang rasanya selalu belajar mengalah namun akhirnya tetap disalahkan.

Fyi, saya dibesarkan oleh orang tua yang meng'haram'kan saya berbuat salah, alhasil saya tumbuh jadi manusia yang selalu merasa takut untuk berbuat salah.

Mungkin karena itu juga saya jadi manusia yang sulit memutuskan sesuatu, selalu penuh pertimbangan, bahkan selalu butuh masukan banyak orang baru bisa memutuskan sesuatu.

Itu juga yang bikin saya terlalu lama memutuskan cut off masalah dengan bapakeh anak-anak yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Iya, kadang saya merasa sudah dzalim banget pada diri sendiri, karena membiarkan diri sendiri mengalami KDRT mental oleh suami bertahun-tahun lamanya.

Di silent treatment, lalu setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan nggak ada komunikasi, setelah dia datang, berharap langsung disambut dengan baik.

Dulunya, dasar saya memang nggak suka menyimpan masalah berlama-lama, setiap kali di silent treatment, saat dia pulang saya berlaku bagai nggak ada masalah, menyambut dia dengan baik.

Tapi lama kelamaan, kayaknya saya udah semakin ilfil kali ya, saking terlalu lama di silent treatment gitu. Jadinya bahkan dengar kabarnya dia mau pulang, saya udah sesak nafas nggak karuan.

Jujur, saya pengennya kami jauh-jauhan aja terus, saya happy bertiga saja dengan anak-anak, selama uang untuk kebutuhan hidup anak-anak tetap diberikan.

Ternyata, nggak cuman silent treatment, lama-lama malah nggak peduli sama sekali dengan kebutuhan utama anak. Seperti yang dia lakukan sejak awal Oktober lalu, seenaknya pergi gitu aja, memblokir semua nomor kami.

Luar biasa bingungnya saya, nggak punya uang sama sekali, aset nggak ada, tempat tinggal nggak ada.

Karena, sejak Agustus memang dia sudah tidak memberikan nafkah dengan cukup, saya harus berhutang untuk membayar kontrakan bulanan kami. Di awal Oktober, dia bahkan kabur setelah berjanji mau usahakan bayar uang sekolah si Kakak. 

Akhirnya kembali saya berhutang untuk membayar uang sekolah tersebut dan si Kakak bisa ikut ujian.

Sampai sebulan berlalu, nggak ada kabar, saya bingung banget cari kontrakan yang lebih murah. Nyatanya mencari kontrakan murah dibayar bulanan di Surabaya itu nggak mudah loh.

Nyaris putus asa, namun berkat dukungan banyak teman media sosial, singkat cerita saya berhasil pindah ke kontrakan yang murah, meski nggak murah-murah amat, tapi lumayan bisa memangkas lebih banyak pengeluaran dibanding dari kontrakan sebelumnya.

Masalah belum juga selesai, karena biaya hidup terus berjalan.

Akhirnya dengan ide dan saran teman-teman media sosial, saya memutuskan untuk mengajukan pengaduan penelantaran di UPTD PPA Surabaya


Akhirnya Dipertemukan Dan Kemudian Sakit Hati Disalahkan Lagi

Singkat cerita, ternyata di PPA itu hanya bertugas mendampingi korban yang melapor. Keputusan ada di tangan pelapor. Saya yang bingung mau bertindak gimana, karena memang tujuan saya adalah meminta tanggung jawab dari penelantaran anak-anaknya selama hampir 2 bulanan ini.

Lalu akhirnya saya memilih mediasi, saya tanya ke PPA, ternyata mereka bisa mendampingi mediasi tersebut.

Dan Kamis lalu, mediasi itu diadakan by zoom meeting.

Namun, tentang mediasi ini saya ceritakan di tulisan lain aja ya, yang membahas hal-hal yang lebih umum, nggak disangkut pautkan dengan curhatan macam begini, hahaha.


Intinya, pihak PPA berhasil membuat dia hadir di mediasi tersebut, dan berujung saya sedih dan sakit hati mendengar playing victimnya.


Dia tidak merasa bersalah sama sekali memblokir saya dan anak-anaknya tanpa nafkah, justru menurutnya itu salah saya.

Tanpa merasa bersalah, membiarkan saya yang tanpa keluarga, tanpa uang, tanpa aset, tanpa tempat tinggal, kebingungan sendiri, anak-anak tinggal di mana ini? takut nggak bisa dapat tempat tinggal dan tidur di pinggir jalanan.

Dengan santai dia beralasan,

"Saya blokir, karena selalu dipojokan. Saya butuh di-support, bukan dipojokan! saya juga nggak suka dia ceritakan masalah rumah tangga di media sosial!"

Etdah si laki!

Saya jadi ingat gambar ilustrasi seorang ibu yang sibuk mengurus rumah dan anaknya, tapi masih harus menggendong suaminya juga.

Iyup!

Saya merasa seperti itu!

Bisa-bisanya selama bertahun-tahun dia jarang terlibat dengan masalah rumah dan anak-anak. Saya sendirian mengurus anak, masih juga mencari uang untuk menutupi kekurangan yang ada.

Harus berdamai dengan silent treatment-nya.

Tapi, ketika dia butuh, saya juga harus langsung siap siaga men-treatment-nya like a king?

Dia memberikan treatment silent selama bertahun-tahun, dan berharap saya balas dengan king treatment, watdefak!.

Mohon maaf, saya sendiri lupa memberikan hak istrahat kepada diri sendiri, bahkan kadang lupa kalau saya punya suami, saking lama berjuang sendiri. Bagaimana bisa saya ingat untuk men-treatment seorang lelaki dewasa egois bagai seorang raja?.


Saya suka menceritakan masalah rumah tangga di media sosial?

Tidak, saya menulis di media sosial itu karena mencarinya untuk mau membicarakan masalah anak-anak.

Iya, anak-anak saja.

Ini anak-anak gimana? mau tinggal di mana? dan lainnya.Dia menutup akses komunikasi, jadi ya jalan satu-satunya saya cari dia melalui media sosial. 

Bisa dilihat isi media sosial saya, semua tulisan saya adalah mencarinya untuk bertanggung jawab, tidak pernah saya menulis di media sosial untuk mempermalukan dia lalu dia blokir saya.

Enggak!

Urutannya adalah, ada masalah, saya nanya pendapatnya, dia nggak hiraukan bahkan blokir, baru deh saya nulis di medsos.

Nggak mau ditulis kelakuannya? jangan suka kabur!. 

Mau namanya baik ditulis di medsos? berkelakuan baiklah biar direview baik di medsos!.

Udah tahu itu memalukan dan merusak namanya, tetap dilakukan.


Dia marah karena saya tag di akun TikToknya, Takut Merusak Image Medsos TikToknya

Astagfirullahal adzim, jujur ini adalah alasan yang bikin saya merinding banget. 

Jadi, beberapa waktu yang lalu, saya 2 kali menemukan kontennya lewat di beranda TikTok saya. Mungkin karena nomor HPnya ke-save di HP saya kan.

Bayangkan, saya lagi stres, kelaparan. Anak-anak juga sering lapar karena saya berhemat, si Adik bahkan kambuh lagi maag-nya karena saya batasi makannya.

Sementara dia, bahkan upload konten dia jalan-jalan ke Bali, bersenang-senang ke sana ke mari. Siapa yang nggak emosi.

Udah gitu pas saya komen di salah satu postingannya, langsung dihapus, akhirnya saya tag di satu postingan saya, eh baru deh di private akunnya.

Kirain dia biasa aja dengan hal itu, tapi ternyata dipermasalahkan dong. Dia marah karena saya menge-tag dia di postingan yang bisa menjatuhkan nama baik akunnya.

Waattdeeppaaakkk!

Mau ngakak sekaligus merinding, akunnya padahal cuman buat narsis doang, upload konten jalan-jalan nggak jelas, rekam dirinya ketawa-ketawa lepas nggak kebayang perasaan anak-anaknya yang kelaparan melihat kontennya kayak gitu.

Dan dia takut akunnya terlihat jelek.

Wakakakaka.

Dia lupa kali tuh orang, saya bisa saja loh minta tolong beberapa teman untuk meng-viral kan masalah penelantaraan anak ini. Kalau ini viral, bukan hanya akun narsisnya itu yang buruk, tapi dia sendiri, bahkan keluarganya terutama yang melakukan pelecehan itu.


Dia Menuduh Saya Sengaja Maksa Tinggal Di Surabaya

Ini salah satu yang bikin saya sakit hati banget, dengan santai dia nyerocos kalau saya sengaja maksa tinggal di Surabaya. Nggak mau tinggal di rumah ortunya pulak, maunya ngontrak.

Padahal, kepindahan kami ke Surabaya ini juga sudah melalui kesepakatan bersama. Niat awalnya memang ingin memasukan si Kakak ke sekolah negeri, saking udah eneg banget dengan perkataan miring orang-orang karena memasukan anak-anak ke sekolah swasta.

Banyak yang bilang kalau kami, terutama saya alergi sekolah negeri. Padahal, alasannya kami ber KTP Surabaya, jadi nggak bisa masuk sekolah negeri di Sidoarjo.

Rencananya si Kakak saja yang pindah ke Surabaya, tinggal di rumah eyangnya. Sayangnya ibu mertua meninggal, jadi rencana berubah.

Dari yang awalnya cuman kakak yang di Surabaya, jadi berubah saya dan si Adik juga ikutan pindah. Alasannya eyang putri udah nggak ada, nanti siapa yang urus si Kakak ketika pagi? yang bangunin, masakin sarapan? dan lainnya.

Jadilah saya dan si Adik ikutan pindah ke rumah eyangnya, dan itu juga termasuk kesepakatan bersama. Saya manalah mau maksa tinggal di rumah mertua kan ye.

Sayangnya rencana tinggal di rumah mertua ternodai dengan pelecehan seksual yang saya alami. Dan karena nggak ada solusinya dari bapakeh anak-anak, sementara saya setiap hari ketakutan mulu tinggal di situ, akhirnya saya pilih pergi dari situ.

Dan setelah semuanya, dengan pedenya dia menuduh saya memaksa tinggal di Surabaya dan ngontrak. Watdefak.


Dia menyalahkan saya yang boros pilih kontrakan mahal

Ketika pergi dari rumah mertua, saya nggak tahu harus ke mana, cari kontrakan nggak punya uang pegangan banyak, karena kontrakan di sekitar sekolah anak-anak emang agak sulit ditemukan.

Nemu yang terjangkau, tapi kok letaknya di dalam gang kecil, sementara rumahnya kosongan, bagaimaa caranya saya bisa angkut barang sendiri?.

Dalam kebingungan, akhirnya saya mencari kontrakan yang sekalian dengan furnish-nya, dengan demikian saya nggak perlu terlalu pusing angkut barang kayak lemari, kulkas, kompor dan lainnya.

Saya tinggal di kontrakan itu dengan harapan menanti bapakeh membuka komunikasi kembali. Dengan harapan setelah itu kami bisa sama-sama cari kontrakan yang lebih terjangkau.   

Dan memang benar, kira-kira sebulan kemudian dia pulang, tanpa minta maaf sayapun memilih memaafkan saja.

Harapan saya cuman satu, segera bersama mencari kontrakan yang lebih terjangkau, agar biaya hidup bisa lebih ditekan, dan uang bisa sebagian ditabung. Terutama uang yang saya hasilkan.

Karena di kontrakan tersebut luar biasa pengeluaran yang ada. Biaya sewa yang lumayan mahal, biaya air, listrik dan IPL yang juga fantastis. Bahkan kendaraanpun ada biaya parkirnya.

Tidak bisa pakai gas tabung ijo, nggak bisa pakai galon isi ulang selain yang asli. Alhasil, masak pun pakai air galon asli, masya Allaaaahhh.

Intinya, di kontrakan tersebut sulit banget untuk bisa menabung, meskipun uang pemberian bapakeh untuk anak-anak lumayan.

Bahkan uang hasil job saya pun terpakai untuk biaya hidup.

Tapi setelah dia pulang, ayo tebak apa yang dia katakan?.

"Nggak apa-apa, sementara kalian di sini aja, lebih aman. Nanti papi carikan kekurangannya, biar bisa bayar semuanya!"

Tapi mahal loh pi!

"Nggak apa-apa, selama masih bisa kita bayar!"

Nggak sekali dua kali saya mengingatkan tentang mahalnya biaya hidup di situ. Dan lagi-lagi jawabannya sama seperti itu.

Bahkan ada masa ketika dia nggak bisa membayar kontrakan itu karena belum gajian, saya kasih opsi cari kontrakan lain pun tetap nggak digubris.

Lalu, tebak apa yang dia katakan di zoom meeting kemarin?   

Katanya saya boros, maunya tinggal di Surabaya dan kontrak harus bagus dan mahal.

Mari kita kasih ucapan, 'watdepaaakkk!'


Dia menyalahkan saya yang memaksakan kontrak, nggak tinggal di rumah ortunya, malah mengfitnah si pelaku pelecehan

Ini yang bikin saya benar-benar sampai gemetaran, bisa-bisanya dia menuduh saya nggak mau tinggal di rumah ortunya, padahal di sana bisa tinggal gratis.

Gratis your eyes! pertama!. Tetap bayar ini itu lah!.

Kedua, are you lost your brain?. Ketakutan dan trauma saya akan kejadian pelecehan itu nggak dianggap serius?.

Dia minta agar dibuktikan.

Gimana bisa membuktikan lansia itu mengintip saya mandi?. 

Pertama, ketika kejadian itu saya malah freezing bingung mau ngapain, karena di rumah itu sepi, nggak ada orang selain saya dan si lansia.

Kedua, lokasi kejadian itu sulit untuk bisa dibuktikan pakai CCTV. Lokasinya ada di kamar mandi yang bersebelahan dengan toilet. Saya di kamar mandi, si lansia di toilet. 

Nah, antara toilet dan kamar mandi itu, terdapat satu lubang ventilasi, yang ketika orang dengan tinggi tertentu berdiri dan melongok, maka keliatanlah dengan jelas orang yang mandi di samping ruangan tersebut.

Kalau mau bukti CCTV itu berarti saya kan harus pasang CCTV di toilet tempat orang pup itu?.

Kronologinya diintip itu luar biasa bikin trauma, malah diminta untuk pasang CCTV untuk bukti pulak!.   


Anak-anak malas ngobrol dengan dia, dan itu salah saya

Dia juga beralasan, mengapa memblokir anak-anak, karena merasa anak-anak cuman hubungi dia karena saya yang suruh untuk minta uang.

Lah, kan emang saya butuhnya dia menafkahi anaknya.

Sementara dia pengen anaknya menghubungi dia atas kemauannya sendiri.

Hahaha.

Luar biasa sih ini, dia yang malas komunikasi dengan anaknya, tidak pernah terlibat dalam masalah anaknya. Bahkan tega membiarkan anaknya hampir nggak ikut ujian, padahal dia udah janji mau usahain, malah diblokir.

Setelah itu, ketika anak malas ngobrol dengan dia, eh dia marah dan nuduh saya penyebabnya.



Dan masih banyak lagi deh.


Sueerrrr, capeknyaaaa minta ampun berurusan dengan manusia yang suka playing victim.

Kelakuan playing victim-nya sampai merambah ke gaslighting yang kadang bikin saya selalu bertanya-tanya, emang ini salah saya ya? padahal ya udah yakinkan diri itu salahnya, tapi saya jadi ikut merasa bersalah oleh perilakunya.


Namun, satu hal yang perlu saya syukuri, dengan ini saya jadi punya pikiran baru untuk bisa lebih baik lagi. Rasanya udah lebih yakin untuk mencintai diri sendiri dan terlepas dari manusia dengan gejala NPD atau Narcissistic Personality Disorder.

Doakan saya bisa mencintai diri sendiri dengan lebih baik ya Temans.


Surabaya, 19-11-2024




Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)