Ketika mengunjungi Polrestabes Surabaya Jumat lalu, saya tidak hanya melaporkan kasus dugaan Penelantaran Keluarga. Tapi juga dugaan KDRT Psikis yang saya alami.
Hal ini karena saya memikirkan syarat pelaporan kasus penelantaran keluarga ini belum bisa diproses karena ada jangka waktu lamanya penelantaran menurut beberapa pihak yang mengerti hukum.
Salah satu syaratnya adalah tidak memberikan nafkah (khususnya uang) selama 3 bulan berturut-turut. Meskipun sejujurnya saya masih agak kurang mengerti dengan syarat ini, karena udah googling berkali-kali, tapi saya belum menemukan syarat minimal 3 bulan tanpa nafkah itu dibahas di sebuah artikel manapun di internet.
Namun, demi untuk meyakinkan polisi bisa memproses laporan saya, maka saya tambahkan dugaan kasus KDRT psikis, yang memang sudah saya alami bertahun-tahun.
Apa Itu KDRT Psikis
KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga psikis adalah bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan pelaku dan berdampak pada kesehatan mental korban.
Meskipun bentuk kekerasan ini memang lebih sulit dikenali dibandingkan KDRT fisik yang memang buktinya bisa terlihat dari adanya bekas penyiksaan yang terjadi. Namun dampak yang dikarenakan kekerasan ini juga tidak bisa dianggap remeh.
Kesehatan mental setiap manusia itu penting, dan seringnya menjadi salah satu sumber masalah yang meningkat jadi KDRT fisik hingga penelantaran keluarga.
Yang jadi masalah, meski bentuk kekerasan ini diatur dalam pasal 5 dan 7 UU PKDRT nomor 23 tahun 2004, namun kenyataannya dalam implementasinya masih terbilang kurang mendapatkan antusias.
Hal ini dikarenakan masalah kesehatan mental ini masih sulit dipahami oleh semua masyarakat. Banyak yang mengaitkan kesehatan mental dengan terlalu baper atau bawa perasaan.
Padahal, mental illness ini juga bisa sangat membahayakan, bahkan lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik.
Cerita Mengalami KDRT Psikis Berbentuk Silent Treatment atau Pengabaian
Bagi temans yang pernah membaca tulisan saya sejak awal-awal blog saya baru ini saja. Kalau nggak salah sekitar tahun 2018, di mana saat itu saya aktif menulis hampir setiap hari di blog ini dengan tema yang berbeda.
Setiap Jumat, biasanya saya menulis tentang #FridayMarriage, yang kebanyakan sih basic on my experince, yaitu masalah rumah tangga yang kebanyakan adalah silent treatment pasangan.
Dari dulu, masalah besar saya sama pasangan tuh sama, silent treatment di mana pasangan suka kabur bahkan kadang tanpa nafkah selama beberapa minggu/
Memang sih karakter bapakeh anak-anak ini cenderung diam jika ada masalah, tapi diamnya teroosss aja, nggak ada ujungnya. Bahkan udah diajak ngomong pun, nggak pernah lagi tuh membahas hal tersebut.
Namun seiring waktu, mungkin juga karena dipengaruhi oleh pola pikir kami yang makin hari makin berbeda, si bapakeh bukan hanya diam, tapi malah suka kabur.
Saya masih ingat banget ketika dulu si Adik masih bayi, setiap kali kami bertengkar saya mati-matian mengkunci pintu lalu menyembunyikan kuncinya, semata-mata biar bapakeh nggak kabur.
Tapi, seberapapun saya berusaha agar dia nggak kabur, dia selalu menemukan cara untuk keluar rumah dan pergi begitu saja. Kadang sampai berhari-hari baru balik, entah dia nginap di mana.
Mungkin di rumah orang tuanya, mungkin juga di rumah saudaranya.
Kebiasaan si bapakeh yang suka kabur dan menutup komunikasi ini akhirnya semakin intens ketika akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di luar kota. Dengan hubungan terpisah, semakin parahlah silent teratment-nya.
Nggak ada komunikasi sama sekali hingga berbulan-bulan bahkan sering kami alami.
Anak-anak sakit, bahkan saya sakit nggak bisa gerak yang mungkin kena saraf terjepit pun, dia nggak mau tahu.
Setiap kali dia melakukan silent treatment, sedikitpun dia tak mau memulai pembicaraan, sayalah yang harus memulai demi adanya komunikasi membahas banyak hal penting khususnya anak-anak.
Dan tentu saja kondisi seperti ini bikin mental saya luar biasa hancur. Merasa stres, emosi yang meledak-ledak, lalu melampiaskan ke anak-anak, udah sering terjadi dan itu bikin saya semakin merasa hancur.
Tak mau masalah itu berlarut-larut, saya akhirnya memutuskan untuk curhat ke Psikolog. Jujur, meskipun nggak bisa dilakukan berulang kali karena keterbatasan biaya, tapi bisa mengeluarkan uneg-uneg selain pada tulisan itu lumayan meringankan beban di dada.
Silent Treatment itu bentuk kekerasan psikis pengabaian yang merusak mental, ini dampaknya buat saya
Sejujurnya silent treatment atau sikap mendiamkan atau mengabaikan pasangan ini masih jarang bisa diangkat sebagai salah satu sikap kekerasan psikis dalam rumah tangga.
Apalagi jika pelakunya adalah lelaki atau suami. Mereka biasanya akan memakai alasan,
"Mending diam daripada rame!"
Masalahnya kan kalau diam terus menerus, bagaimana masalahnya bisa kelar?.
Terlebih untuk pasangan suami istri yang punya anak, sikap mendiamkan atau mengabaikan pasangan ini sangat merugikan pasangan maupun anak-anak.
Kita semua tahu, kehidupan rumah tangga itu ya penuh dengan komunikasi, berdiskusi untuk banyak hal yang menyangkut masalah apapun, baik masalah suami, istri maupun anak-anak.
Buat saya pribadi, sikap silent treatment ini sangat merugikan dan berdampak serius bagi kesehatan mental, karena:
1. Banyak hal penting yang harus diputuskan jadi molor dan jadi masalah besar
Satu hal yang bikin saya merasa sangat stres ketika bapakeh anak-anak mulai menutup komunikasi (lagi dan lagi) adalah, saya bingung harus berdiskusi dengan siapa tentang banyak hal di rumah tangga.
Masalah masa depan, keuangan, pendidikan anak-anak dan lainnya.
Ini juga yang bikin keuangan kami tidak pernah lagi membaik sejak si Adik lahir.
Penghasilan si bapakeh sebenarnya pernah juga terbilang lumayan, tapi karena komunikasi yang sangat buruk akibat silent treatment, keuangan tersebut tak bisa diatur dengan rencana yang lebih bijak.
Misal, pas gaji lumayan, saya nggak bisa nabung, karena pas banget kami tinggal di kontrakan mahal. Saya sudah berulang kali mengatakan keluhan tentang biaya hidup di kontrakan sebelumnya yang mahal.
Dan seperti biasa ketika dia masih mau berkomunikasi, akan menjawab,
"Iya nggak apa-apa, nanti diusahakan!"
Contoh lain, ketika masa kerjanya berakhir, dia sama sekali nggak mengatakan kepada saya, sehingga tidak ada komunikasi rencana yang harus segera kami ambil agar kehidupan tetap berjalan meski dia sementara nganggur.
Semua itu berawal dari buruknya komunikasi akibat silent treatment, yang bikin masalah sepele jadi semakin besar, karena dibiarkan tanpa ada tindakan pencegahan atau 'manuver' yang tepat.
2. Masa depan anak-anak jadi terganggu
Masa depan anak-anak dalam hal pendidikan juga jadi terganggu akibat komunikasi terputus ini. Saya bingung harus menyekolahkan anak-anak di mana? apakah mampu di sekolahkan di sekolah yang dipilih tersebut?.
Ujung-ujungnya ketika pendidikan anak tidak bisa di-cover oleh keuangan, yang dilakukan adalah menyalahkan saya.
3. Kehilangan rasa percaya diri untuk memutuskan sesuatu
Ketika bapakeh anak-anak pergi meninggalkan saya dan anak-anak begitu saja di awal Oktober lalu, saya benar-benar kelimpungan. Uang sekolah anak nunggak, kontrakan tak mampu lagi saya bayar.
Banyak teman yang gregetan dengan sikap saya yang diam aja, nggak mau pindahin sekolah anak, nggak mau begini dan begitu.
Jujur saya nggak punya rasa percaya diri untuk berani memutuskan hal-hal seperti itu. Dikarenakan saya merasa trauma jika nantinya disalahkan kembali.
4. Merasa tidak diharapkan
Beban stres yang saya alami juga dipicu oleh rasa sedih di hati ketika menyadari saya tidak diharapkan keberadaannya oleh pasangan.
Dan tentunya ini mempengaruhi mood serta bikin emosi saya kadang sulit dikendalikan.
5. Putus asa sampai punya pikiran ingin mengakhiri hidup
Dan yang paling merugikan adalah, beban mental saya ini sudah sampai di tahap keinginan untuk mengakhiri hidup.
Bahkan sudah berkali-kali saya lakukan.
Salah satunya di tahun 2020 (kalau nggak salah), di saat lebaran idul fitri masa pandemi kala itu, saya bahkan dengan kesadaran penuh menenggak obat segenggam. Beruntung saya masih diberi kesempatan hidup, dan hanya tertidur lama dan sulit bangun hingga beberapa hari.
Tauk deh, yang ada di pikiran saya saat itu hanya rasa kalut dan putus asa, sehingga ingin rasanya bunuh diri meninggalkan semua masalah yang ditimbulkan oleh sikap diamnya itu.
Terakhir kali, ketika bulan Oktober lalu, di saat saya sudah benar-benar putus asa, sampai mengajak anak-anak untuk ikut menyerah saja.
Memutuskan untuk Melaporkan KDRT Psikis Di Polrestabes Surabaya
Sebenarnya, meski sikap silent treatment ini berulang kali dilakukan bapakeh anak-anak, tapi saya selalu memaafkan bahkan berdamai dengan hal tersebut.
Namun ternyata sikap saya untuk menghindari lebih banyaknya pertengkaran itu nggak baik.
Ye kan, pernikahan macam apa tuh yang isinya diam-diaman?
Apalagi setelah meningkat jadi kasus penelantaran yang mana dengan sengaja pergi meninggalkan saya dan anak-anak, serta menutup komunikasi dengan memblokir semua nomor saya maupun anak-anak.
Dalam menjalankan rumah tangga, komunikasi itu penting, jadi meskipun nggak saling berkomunikasi langsung, selama ada komunikasi dengan anak-anak sih, kehidupan masih bisa dijalankan dengan baik.
Tapi, ketika silent treatment-nya udah berubah jadi lari dari tanggung jawab, maka beda lagi ceritanya.
Bukan main kalutnya saya, dan dalam kekalutan sayapun mengadu pada UPTD PPA Surabaya, dan diberikan pilihan pendampingan sesuai kebutuhan saya.
Awalnya saya minta difasilitasi mediasi, dan Alhamdulillah ditanggapi dengan baik oleh pihak PPA, meskipun ketika hari H mediasi, saya shock banget, ternyata bukan hanya dinas PPA, tapi juga melibatkan pihak Puspaga dan DP3APPKB surabaya.
Dan yang dibahas tuh lebih ke anak, khususnya agar anak nggak sampai putus sekolah.
Meski aslinya kurang puas, tapi karena sungkan, udah dibantuin banyak pihak, padahal ini masalah rumah tangga kan ya. Ya udah, saya nurut aja, setidaknya atas desakan semua pihak, bapakeh anak-anak berjanji akan membuka komunikasi.
Singkat cerita, sampai seminggu berlalu, bapakeh sama sekali nggak mau buka komunikasi. Memang sih kontak WA saya udah nggak diblokir, tapi ya sama aja, enggak dibaca.
Kesalnya lagi, ternyata si bapakeh ini kan dipanggil pihak PPA, malah di sana dia mengatakan nggak mau ketemu saya, dan dia bakal ketemu anak-anak kalau enggak ada saya.
Waahhhh, makin sakit kepala saya jadinya, sebegitunya silent treatment yang dilakukan. Padahal udah kurang lebih 2 bulanan dia nggak tahu keluyuran ke mana. Di akun TikTok nya malah nggak jelas dia healing sana sini.
Dan lucunya dia bilang saat mediasi, kalau kesal akun TikTok-nya saya tag.
Dia takut image akunnya jelek gegara speak up saya di TikTok.
Dan si Rey bilaik,
"Waahhh, ini manusia amnesia apa gimana yak? lupa kali ya kalau saya itu udah familier sama media sosial jauh lebih berpengalaman dibanding dia. Dan saya bisa banget membuat namanya buruk se Indonesia dengan bikin konten mendayu-dayu kesukaan netizen. Tapi saya masih berpikir pada tujuan utama memperjuangkan nasib anak-anak, bukan berantem di media sosial!"
Akan tetapi, kalau dia terus menerus menghindar, saya bisa banget merambah media sosial TikTok dan X untuk mengangkat sikap manusia yang jujur *ah sudahlah, silahkan dinilai sendiri.
Akhirnya saya putuskan ambil jalur hukum saja, dan ternyata pihak PPA masih menawarkan pendampingan untuk konsultasi hukum dugaan penelantaran keluarga dan KDRT psikis.
Jujur, awalnya saya cuman pengen melaporkan kasus penelantaran keluarga, karena itulah yang paling urgent.
Saya tuh butuh kerja samanya untuk mengasuh anak-anak, masa depan anak-anak. Ye kan, kalaupun dia nggak atau belum bisa bantuin kasih uang, mbok ya bantuin urus anak-anak, biar saya yang cari uang dulu.
Kan bisa dengan antar jemput anak sekolah dan les, bantuin ajarin anak-anak, urus mereka, temanin mereka. Karena momen-momen seperti itulah yang selama ini bikin saya suliiitttt banget bisa fokus mencari uang.
Baru mau nulis, eh udah harus berhenti sejenak, jemput anak dulu. Baru dapat ide nulis, eh anak butuh makan, anak pup dan lainnya.
Kan bisa tuh dia bantuin gantian urus anak, biar saya dulu yang fokus cari uang, buat kehidupan sehari-hari, yang tidak sedikit itu.
Tapi, seperti yang banyak dikatakan orang, syarat pelaporan dugaan penelantaran keluarga ini hanya bisa diproses dengan syarat tidak dinafkahi suami selama 3 bulan berturut-turut.
Waduh, padahal sebulan aja saya dan anak-anak udah nyaris tinggal nama, beneran udah mau lompat dari gedung tinggi rasanya saking putus asanya.
Ini disuruh nunggu 3 bulan, mana hal ini bisa gagal kalau dalam jangka tersebut bapakeh sempat kasih anak-anak sepeser pun jadi.
Whatdeeffffaaaakkkk rasanya.
Karenanya, saya cari lagi pasal yang bisa menjeratnya, akhirnya ditambah KDRT psikis, meskipun jujur saya belum tahu, apakah pihak kepolisian bisa serius menanggapi KDRT psikis dengan sikap suami yang diam sama istri.
Alhamdulillah.
Ternyata, entah memang udah jalannya, saya didampingi pihak PPA ke Polrestabes dan meskipun awalnya disambut dengan kurang antusias. Tapi singkat cerita laporan yang saya masukan bisa diproses, bahkan dengan kasus penelantaran dan KDRT psikis.
Harapan dan Saran untuk Penanganan KDRT Psikis
Hingga saat saya menuliskan ini, laporan saya sudah masuk di Polrestabes Surabaya, tinggal menunggu panggilan untuk tahapan selanjutnya.
Katanya sih paling lama seminggu, kita lihat saja kira-kira kapan saya dapat panggilan berikutnya.
Akan tetapi, dibalik (bisa dibilang) kemudahan yang saya alami dalam memasukan laporan ke Polrestabes Surabaya.
Saya mendapatkan cerita dari teman-teman yang mengatakan kalau saya beruntung bisa dengan mudah memasukan laporan dan diterima.
Karena ternyata, tidak semudah itu memasukan laporan, apalagi kalau UU PKDRT atau rumah tangga.
Tapi emang sih, saya rasa tanpa pendampingan pihak UPTD PPA Surabaya, kayaknya saya pun akan kesulitan melaporkan kasus ini di kepolisian.
Bahkan dari awal kami harus konsultasi masalah hukum dugaan kasus ini, si Mbak yang bertugas di sana terlihat ragu dan kurang antusias dalam memutuskan pasal berapa yang bisa dikenakan untuk masalah ini.
Demikian juga ketika tiba di meja petugas yang menuliskan laporan saya, lagi-lagi saya harus berhadapan dengan sikap kurang antusias dari petugas, meskipun sikap petugasnya sangat ramah.
Sejujurnya saya paham sih mengapa petugas terlihat kurang antusias, setiap kali ada laporan masalah rumah tangga begini. Karena emang masalah keluarga gini tuh seringnya berujung damai.
Maksudnya, udahlah nambahin antrian kasus yang harus ditangani, pas udah diseriusin, eh nggak lanjut. Atau bisa juga karena masalah rumah tangga itu, ibaratnya nggak ada yang menang atau kalah.
Menang untuk keduanya, kalah juga untuk keduanya.
Ditambah, masalah KDRT Psikis yang berkaitan dengan masalah mental ini memang masih sulit dimengerti semua orang.
Beberapa teman pernah curhat ke saya,
"Saya laporkan KDRT psikis karena suami suka bentak saya, tapi malah disepelekan, 'hanya dibentak udah lapor polisi!"
Ada lagi,
"Aku laporin karena suami sering nampar kalau lagi marah, malah dikatakan, 'makanya suami jangan dilawan, biar mereka nggak tertekan'!"
Dan masih banyak curhatan yang intinya semua kekalutan dan penderitaan batin yang mereka rasakan, seolah tak ada artinya di pikiran petugas hukum.
Karenanya, melalui tulisan ini, rasanya saya punya harapan agar kepedulian para pihak terkait ditingkatkan lagi ketika menerima laporan KDRT psikis ini.
Di antaranya:
- Penegasan hukum yang lebih jelas terkait KDRT psikis.
- Pelatihan petugas untuk menangani laporan KDRT psikis dengan lebih empati.
- Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati kesehatan mental.
Kesimpulan dan Penutup
KDRT psikis, meskipun sulit terlihat dibandingkan KDRT fisik, memiliki dampak yang sama seriusnya terhadap korban, terutama dari segi kesehatan mental. Salah satu bentuknya adalah silent treatment, yang dapat merusak komunikasi, menciptakan tekanan emosional, dan memengaruhi keputusan penting dalam rumah tangga.
Pengabaian seperti ini tidak hanya menghancurkan mental pasangan tetapi juga berdampak buruk pada anak-anak, keuangan, dan kestabilan keluarga secara keseluruhan.
Dalam kasus yang saya alami, langkah untuk melaporkan KDRT psikis dan penelantaran keluarga ke pihak berwenang menjadi pilihan penting untuk memperjuangkan hak anak-anak dan mencari solusi yang lebih baik.
Semoga langkah melaporkan kasus ini dapat memberikan keadilan dan solusi untuk melindungi masa depan anak-anak. Bagi siapa pun yang mengalami KDRT psikis, penting untuk mencari bantuan, baik melalui pendampingan psikologis maupun jalur hukum.
Jangan ragu untuk berbicara dan mencari dukungan karena kesehatan mental dan kebahagiaan keluarga adalah prioritas utama. Melalui keberanian untuk berbicara, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penanganan KDRT psikis semakin meningkat, dan hukum dapat diterapkan lebih tegas demi kesejahteraan semua pihak.
Surabaya, 26-11-2024
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)