Awal November 2024 ini saya memutuskan untuk mengajukan pengaduan ke UPTD PPA Surabaya, terutama akan masalah penelantaran yang dialami oleh anak-anak, khususnya.
Dan karena oleh pihak PPA saya diberikan pilihan yang bisa mereka bantu dampingi, akhirnya saya pilih opsi mediasi yang dibantu oleh pihak terkait.
Hal ini saya putuskan karena tujuan utama saya adalah meminta tanggung jawab dan kerja sama papinya anak-anak dalam kebutuhan anak.
Apalagi status kami masih tercatat sebagai suami istri sah secara hukum.
Bahkan seharusnya sih bukan hanya hanya penelantaran ke anak-anak, tapi juga terhadap hak saya sebagai istri.
Ya meskipun sebenarnya kesal dan gregetan banget dengan sikap silent treatment dan suka kaburnya, dan jujur pengen banget rasanya mengikuti saran sejak dulu dari banyak teman, yaitu babay aja dah manusia kek gitu.
Tapi sekali lagi, bagi saya urusan yang paling mendesak itu ya masalah nafkah anak-anak.
Karena seperti yang sudah saya jelaskan di berbagai tulisan saya sebelumnya, kalau kondisi saya tuh ibarat ditelantarkan di tengah jalan yang asing.
Kami nggak punya tempat tinggal, nggak punya aset yang bisa dijual, nggak punya tabungan, nggak punya penghasilan cukup, dan nggak punya keluarga atau seseorang yang bisa ditumpangi sementara.
Dalam keadaan kayak gini, setelah cerai, emangnya masalah bisa selesai?. Bahkan untuk membayar biaya gugatan cerai aja saya nggak sanggup.
Maka dengan itulah saya mencoba opsi mediasi, dan Alhamdulillah pihak UPTD PPA menyanggupi.
Persiapan Mediasi Masalah Rumah Tangga Dengan Bantuan UPTD PPA Surabaya
Untuk mendapatkan pendampingan mediasi oleh UPTD PPA, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengisi data pribadi dan menceritakan masalahnya kepada petugas dinas terkait.
Setelah itu kita bisa mengajukan pendampingan pilihan mediasi.
Untuk kasus saya, kira-kira ada seminggu kali setelah pengaduan awal dan diberikan beberapa opsi oleh petugas, mulai dari opsi gugatan secara hukum untuk kasus penelantaran, maupun gugatan ke pengadilan agama.
Kedua opsi tersebut masih saya pertimbangkan, karena memang tujuannya minta tanggung jawab. Sementara hingga lebih sebulan papinya anak-anak sama sekali nggak peduli dengan anak-anak, dia memblokir semua akses komunikasi, padahal dia tahu persis kami nggak punya siapa-siapa di Surabaya, nggak punya uang, nggak punya aset dan lainnya.
Sungguh sangat keterlaluan buanget pokoknya!.
Lebih keterlaluan lagi, setelah kami kesulitan dan saya hampir memutuskan ajak anak-anak buat bunuh d*ri, dan tebak apa yang dia lakukan dalam menikmati kebebasannya tanpa harus bertanggung jawab ke keluarganya?.
Dia sibuk keluyuran ke sana ke mari, lalu posting semua itu di akun TikTok nya. Karena itulah saya meminta mediasi dulu, biar ada komunikasi yang jelas.
Pihak UPTD PPA lalu meminta nomor kontak papinya anak-anak, lalu saya berikan.
Dan tanpa menunggu waktu lama, tiba-tiba saya mendapatkan kabar dari dinas melalui WA hotline-nya. Mereka menanyakan apakah saya bersedia mengikuti mediasi by zoom di tanggal 14 November 2024.
Wowwww amazing sih!
Saya takjub karena saya pikir bapakeh ini sengaja menghindari anak-anaknya begitu saja, ternyata dia masih punya rasa 'takut' setelah dinas terkait ikut mengurus masalah ini.
Dan ketika dihubungi pihak PPA, dia mau menerima panggilan mereka, trus bersedia mengadakan zoom di hari yang ditentukan.
Antara senang karena ada kejelasan akan nafkah anak-anak, sekaligus merinding mengingat image yang ingin dia tampilkan.
Seolah dia benar-benar peduli, padahal sebulan lebih anaknya nggak dikasih uang, nggak mau tahu apakah anaknya masih hidup atau udah mati?.
Tapi sudahlah, mari kita liat bagaimana mediasinya.
Sehari sebelum mediasi, pihak PPA meminta saya mengajak anak-anak ke kantornya. Segera saya ke sana untuk memenuhi panggilannya. Sampai di sana, saya ditanya-tanya lagi tentang beberapa hal.
Mulai dari awal kenal suami, berapa lama pengenalan, mulai kapan suami jadi suka kabur tak bertanggung jawab begitu.
Masa-masa kehidupan rumah tangga yang bahagia dan stabil kapan?
Dan masih banyak lagi.
Anak-anak juga ditanya, harapannya apa?
Lucunya, si Adik yang saya pikir masih sayang ke papinya, malah ketika ditanya dia menjawab nggak suka sama papinya, karena bikin mami marah.
Sementara si Kakak yang merasakan banget bagaimana kecewanya ketika dia berharap sepenuhnya akan pembayaran sekolahnya, dan hampir nggak bisa ikut ujian, lalu ujungnya malah diblokir dan diabaikan oleh papinya.
Malah si Kakak mengatakan sedih kalau ortunya berpisah.
Ya elah!
Cerita Waktunya Mediasi
Ketika mengunjungi kantor UPTD PPA sehari sebelum mediasi, petugasnya bilang kalau mediasi yang akan dilakukan keesokan harinya akan diambil alih oleh pihak Puspaga Surabaya.
Saya kaget dong.
Lah pegimana caranya tuh? karena masalah saya kan lebih banyak diketahui oleh PPA, bukan Puspaga. Emang sih saya pernah ngobrol sama petugas Puspaga Surabaya, tapi nggak seintens ngobrol dengan petugas PPA Surabaya.
Tapi petugas PPA menenangkan saya, katanya mereka akan menjadi mediator. Ya sudahlah.
Dan datanglah hari itu, Kamis 14 November 2024, pas zoom di mulai, saya agak kaget, lah yang ikut buanyak banget. Antara kaget juga malu, juga kesal banget sama bapakeh anak-anak yang terkesan santai aja.
Sama sekali nggak ada rasa bersalah sama sekali padahal dia sudah dengan santainya menelantarkan anak-anaknya.
Sekali lagi saya ingatkan kondisi kami.
Saya nggak punya rumah, nggak punya aset yang bisa dijual, nggak punya tabungan karena selama ini semua penghasilan saya digunakan juga untuk menutupi kebutuhan hidup, dan bapakeh ini udah nggak menafkahi dengan cukup mulai Juli 2024. Bahkan saya harus berhutang untuk membayar uang kontrakan di bulan Agustus 2024.
Dan saya juga nggak punya keluarga, nggak punya tempat menumpang sementara. Dan seenaknya dia membiarkan anak-anaknya bersama saya. Ibaratnya dia membuang anak-anaknya, dan nggak bersalah sama sekali.
Astagfirullah ya Allah ya Jabbar.
Yang bikin kaget juga, ternyata yang tangani bukan orang PPA, dan yang dibahas hanya tentang kondisi anak. Dan kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh bapakeh anak-anak untuk memanipulasi keadaan.
Dan iyes, singkat cerita mediasi ini menghasilkan beberapa keputusan yang sebenarnya kurang memuaskan buat saya, karena satu kalimat dari petugas yang bikin si tukang manipulatif semakin senang.
"Ibu harus bekerja lebih keras membantu bapak yang sedang berusaha!"
Jujur saya kesal banget dengan kalimat ini, meskipun saya udah membujuk hati untuk memahami, karena si petugas memang nggak tahu dengan jelas masalahnya.
Kenyataannya kan bapakeh ini udah nganggur sejak Juli 2024, lalu Oktober memutus komunikasi tanpa nafkah sama sekali. Padahal kalau nganggur dan menyerahkan urusan pemenuhan kebutuhan ke saya sih sebenarnya oke-oke saja.
Ye kan, seperti kata si petugas yang mana saya juga kudu bekerja keras membantu cari nafkah.
TAPI MBOK YA GANTIAN URUS ANAKNYA WOEEEE!!!!
Itu kan sebenarnya yang saya butuhkan, i mean, kalau nggak mampu menafkahi, berkontribusilah pada anak. Hitung-hitung membayar semua hutang bonding dan peran ayah yang sempat hilang pada anak-anak.
Terutama untuk si Adik yang sejak lahir tidak seberuntung kakaknya mendapatkan kasih sayang utuh dan berlimpah dari mami papinya. Si Adik sejak lahir jarang punya waktu dengan papinya, kira-kira usianya setahunan, papinya mulai deh error, suka kabur tanpa kabar bahkan tanpa nafkah.
Bahkan setahunan ini, si Adik cuman ketemu papinya mungkin sekitar 2-3 mingguan kali ya kalau ditotal-total.
Meski demikian, saya berterima kasih sama pihak dinas yang sudah mengfasilitasi mediasi tersebut, dan berakhir dengan kesepakatan, bahwa:
- Bapakeh anak-anak harus membuka blokir komunikasi, dan saya dilarang menulis tentang dia di medsos.
- Bapakeh harus membayar uang sekolah anak-anak, karena dia juga nggak bersedia anak-anak dipindahkan ke sekolah negeri.
- Pihak UPTD PPA akan mengfasilitasi saya dirawat selama semingguan untuk memulihkan mental yang udah kacau balau ini.
Cerita Hasil Mediasi
Lalu gimana hasil mediasinya?.
Sehari kemudian saya coba mengirimkan WA untuk menanyakan gimana nih masalah nafkah anak-anak. Mereka butuh makan dan tempat tinggal loh, dan saya udah nggak punya duit lagi buat terus membiayai anak-anak sementara saya harus berkutat mengurus mereka juga.
Dijawab dong, katanya dia nggak punya uang, belum terima hasil kerjaannya. Btw, katanya dia kerja serabutan di Pasuruan, tapi nggak kasih tahu berapa penghasilannya?.
Jujur dalam hati saya membatin, dia sengaja nggak mau kasih tau penghasilannya, karena ingin dinikmati sendiri. Setelah hampir 2 bulan asyik sendiri membuang dan menelantarkan anak-anaknya, dia bebas healing ke Bali dan ke tempat lainnya.
Jadinya dia makin keenakan dan kecanduan untuk hal itu, kayaknya.
Trus saya tanya, terus gimana? apakah saya harus urus surat keterangan tidak mampu di RT RW? biar anak-anak bisa mendapatkan keringanan ini itu?.
Nggak dibalas dong.
Jangan tanya gimana kesalnya saya?. Inilah sebenarnya masalah utamanya, dia nggak mau diajak komunikasi, sementara saya kebingungan sendiri harus gimana nih?.
Akhirnya saya komunikasi lagi ke PPA, tanya-tanya opsi cerai. Tapi ternyata memang PPA ini cuman bisa membantu melakukan pendampingan aja, nggak bisa bantuin hal lain kayak bantuan hukum atau lainnya.
Bahkan untuk pemberdayaan perempuan pun, mereka bekerja sama dengan Bazarnas (kalau nggak salah) untuk memberikan bantuan modal usaha tapi harus berupa usaha jualan.
Saya tentunya agak mikir dengan bantuan tersebut, karena sejujurnya saya kurang berpengalaman dengan jualan ini. Di sisi lain, saya nggak punya tempat tinggal, kontrakan sekarang tuh masih terbilang mahal.
Jadi saya diminta cari kontrakan atau kos yang sewa bulanannya di bawah 500ribuan, yang bikin saya langsung melempem banget.
You know lah, saya udah keliling cari kontrakan di sekitar sekolah anak-anak. Nggak ada tauk yang harga di bawah sejuta. Kalaupun ada, itu kos buat mahasiswa, nggak boleh bawah anak.
Apalagi kalau kos tersebut dijadikan tempat jualan.
Jujur saya pengennya lebih memaksimalkan modal yang udah saya bangun dengan skill yang saya punya sekarang. Menulis dan bikin konten memaksimalkan akun IG.
Tapi emang belum ada bantuan untuk pemberdayaan wanita dalam bidang sesuai skill wanita tersebut.
Pihak PPA juga segera membantu menguruskan rujukan buat perawatan kesehatan mental saya, dan didampingi untuk konsultasi di puskesmas sebagai faskes 1 BPJS dulu.
Rencananya, saya akan dirawat setelah kepulangan bapakeh ke Surabaya untuk menjaga anak-anak.
Sayangnya, sehari sebelum tiba waktu dirawat, saya mendapatkan kabar bahwa bapakeh nggak mau ketemu saya, jadi dia hanya akan pulang menemui anak, kalau saya nggak ada.
Wadefffaaaaakkk!
Langsung emosi saya.
Segera saya bilang, saya menolak caranya, karena kesepakatan mediasi adalah membuka komunikasi, karena masalah utama kami itu sebenarnya adalah komunikasi.
Andai ada komunikasi dan kerja sama, masalah duit kan bisa diusahakan berdua. Tapi ini dia menolak berkomunikasi, nggak mau nafkahin anak, apalagi nafkahi saya yang masih sah sebagai istri ya.
Nggak mau juga diajak cerai, cuman nyuruh urus aja sendiri.
Akhirnya saya menolak dirawat juga, karena anak-anak juga nggak jelas ditinggalkan dengan manusia seperti itu. Apalagi mereka akan menghadapi ujian.
Sebaliknya saya meminta pendampingan (jika ada) untuk diproses secara hukum.
Jadi begitulah, akhirnya mediasinya gagal, huhuhu.
Demikianlah cerita pengalaman pribadi saya yang dibantu oleh UPTD PPA Surabaya untuk mediasi masalah rumah tangga.
Surabaya, 01 Desember 2024
Turut prihatin mediasi nya gagal mbak.
BalasHapusAku bisa mengerti kenapa si kakak ngga mau orang tua nya cerai. Soalnya dari cerita mbak dia dari kecil disayang papa dan mamanya makanya berat, biarpun akhir akhir ini bertengkar bahkan papa nya kabur.
.