Sejujurnya, saya selalu nggak setuju dengan keharusan perempuan, apalagi ketika sudah berstatus ibu, bisa menghasilkan uang sendiri.
Demikian kata 'perempuan berdaya' yang sering digaungkan banyak wanita akhir-akhir ini.
Well, saya setuju sih dengan 'perempuan harus berdaya', tapi khususnya bagi IRT atau ibu rumah tangga, makna berdaya ini tidak melulu tentang 'bisa menghasilkan uang'.
Karena sebagai perempuan yang harus menjadi IRT selama bertahun-tahun, saya tahu persis bahwa ada kondisi bagi seorang IRT sangat sulit bisa menghasilkan uang.
Jadi, ketika melihat ada ibu yang nggak berdaya akan menghasilkan uang, itu bukan semata karena mereka malas. Memang pekerjaan sebagai ibu rumah tangga itu luar biasa tanpa jeda dan libur.
Boro-boro mau menghasilkan uang kan, di mana yang sudah pernah tahu rasanya cari uang itu pasti setuju, jika makna 'bekerja cari uang' itu, tentunya effort-nya beda dengan sekadar melakukan hobi.
Itulah mengapa, meski selama bertahun-tahun saya terpaksa menjadi ibu rumah tangga, tapi Alhamdulillah masih bisa menghasilkan uang sedikit demi sedikit. Setidaknya meskipun udah nggak punya gaji bulanan rutin kayak dulu masih kerja kantoran. Tapi saya masih bisa loh beli kebutuhan pribadi tanpa merepotkan suami.
Bahkan, kami masih bisa jalan-jalan, ajak makan anak-anak di tempat yang menyenangkan, itu semua karena hasil kerja saya.
Namun ketika melihat ada ibu lainnya yang mengeluh tentang uang, dan sedih karena nggak bisa punya uang sendiri, saya nggak menghakiminya sama sekali.
Karena emang mengakui, cari uang sambil urus anak itu, tidak semudah cocot nya para perekrut bisnis MLM *eh.
Tapi Ternyata Perempuan Memang Wajib Bisa Hasilkan Uang Sendiri
Namun pada akhirnya saya mengakui juga, kalau ternyata perempuan berdaya itu ya, erat hubungannya dengan 'perempuan yang bisa menghasilkan uang sendiri'. Khususnya bagi perempuan yang tidak beruntung mempunyai suami yang bertanggung jawab.
Saya contohnya.
Pada akhirnya, kondisi saya yang belum bisa menghasilkan uang yang cukup, menjadi masalah terbesar saya untuk bisa hidup sehat fisik dan mental.
Saya akhirnya terjebak pada toxic marriage yang bahkan orang sekilas dengarpun jadi gemes karena saya kok nggak mau cerai aja?.
Ya mau banget dong! Toh saya juga udah ilfil maksimal!
Masalahnya adalah, saya belum sanggup membiayai anak-anak sendiri.
Ya dipikirin aja sendiri.
Saya sendirian tanpa support keluarga sama sekali, pulang ke mama pun bukan menjadi pilihan yang bijak, karena bahkan mama tidak pernah mau membalas pesan saya. Bahkan ketika saya benar-benar sedang terpuruk, tak ada satupun keluarga yang membantu atau sekadar mengajak bicara.
Oh tidak, saya udah berdamai dengan kondisi itu, maksud saya menuliskan hal itu sebagai penjabaran kondisi saya, bahwa bercerai tidak semudah itu.
Saya juga belum punya rumah, nggak punya tabungan karena hasil kerja saya selama ini dipakai untuk menutupi kekurangan kebutuhan keluarga.
Dan saya juga nggak punya aset buat dijual, nggak punya pekerjaan tetap dan cukup untuk membayar semuanya. Bahkan sampai saat ini, sudah berulang kali saya terpaksa makan sekali sehari, anak-anak makan sehari 2 kali sampai kambuh dong maag si Adik.
Demi menghemat uang yang ada.
Tapi di sisi lain, sebenarnya saya harus udah segera keluar dari hubungan yang sangat tidak sehat ini. Tidak ada komunikasi sama sekali, setiap kali diajak komunikasi malah sibuk menyalahkan.
Terserah!
Pikir sendiri!
Urus sendiri!
Itu yang selalu dilontarkan manusia yang kayak nggak pernah diajarkan tentang tanggung jawab sejak kecil itu.
Bahkan setelah merasakan asyiknya tidak membiayai anak-anaknya, uangnya bisa dipakai buat healing sana sini, ngopi-ngopi sana sini. Semakin sulitlah dia mengeluarkan uang untuk anak-anaknya.
Sementara saya butuh bayar kontrakan yang sebulan bernilai jutaan, bayar air dan listrik, belanja kebutuhan rumah, belanja kebutuhan makan. Duhai para wanita yang terbiasa mengatur belanja di Surabaya.
Tau sendiri kan, harga-harga barang sekarang tuh astagfirullah banget nilainya.
Bawa uang 100ribu, nggak ada bentuk belanjanya, hiks.
Sikap manipulasi, silent treatment, bahkan gaslighting yang dilontarkan ke saya, sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan.
Dia bahkan sudah menganggap saya sebagai musuhnya, bahkan saya berpikir dia menjadikan saya sebagai saingannya.
Itulah mengapa ketika saya minta tolong bantuin antar jemput anak (sampai saya minta tolong loh, padahal ini kewajiban dia yang memang sedang nganggur!). Tapi dia nggak mau.
Seolah dia takut saya bisa sukses menghasilkan uang, sementara dia cuman jadi pengangguran.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada jalan lain selain 'tetap menderita hidup dengan manusia manipulatif dan pengangguran, atau move on!'.
Namun, move on ini membutuhkan hal yaitu 'bisa menghasilkan uang sendiri!'.
Iya, masalah utama saya hanya itu, saya harus bisa memastikan bisa menghidupi anak-anak sendiri. Saya harus bisa membayar kontrakan yang sewa bulanannya sampai jutaan, uang sekolah anak-anak yang juga jutaan, terutama si Kakak yang nggak bisa pindah sekolah negeri.
Saya juga harus bisa memastikan selalu punya uang untuk membeli kebutuhan rumah dan juga kebutuhan untuk makan.
Kalau dihitung-hitung, butuh sekitar UMR Surabaya lah, udah bisa menutupi biaya hidup kami bertiga dengan pas-pasan.
Apalagi kalau bisa lebih maksimal, agar hidup anak-anak lebih terjamin.
Dan iyes!
Dalam kondisi saya ini, akhirnya saya sadari, kalau ternyata himbauan perempuan memang wajib menghasilkan uang sendiri itu benar adanya.
Alasannya?
Karena hati manusia bisa berubah dengan cepat. Seperti papinya anak-anak yang dulunya super baik banget, eh kok bisa dengan tega menelantarkan anak-anak begitu saja, seolah membuang anak-anak untuk saya hidupin seorang diri.
Andai saya tetap bekerja dulunya, sepertinya kejadian seperti ini nggak akan pernah terjadi. Saya menyadari hal ini setelah ditanya-tanya oleh petugas PPA.
"Kapan ibu merasa rumah tangganya bahagia dan minim masalah, suami bersikap baik?"
Dan setelah merenung, saya menemukan jawabannya,
"Waktu saya kerja dan punya gaji sendiri juga!"
Iyaaa...
Dulu, mana berani bapakeh macam-macam sama saya, karena saya punya gaji, jadi dia bersikap sangat manis, meratukan saya banget.
Tapi setelah saya tak punya duit, apalagi akhir-akhir ini penghasilan blog saya kurang, makin semena-mena lah manusia itu.
Dan karena saya belum punya pegangan, saya harus hati-hati dalam memutuskan sesuatu, tak mau anak-anak menjadi korban lebih dalam. Jadinya hingga saat ini saya hanya bisa menangis, mengadu ke Allah tentang penderitaan saya akibat belum bisa menghasilkan uang yang cukup buat diri sendiri dan anak-anak, huhuhu.
Jadi begitulah, saya akhirnya menyadari kalau memang pada akhirnya, perempuan, khususnya ibu, harus bisa menghasilkan uang sendiri.
Surabaya, 02-12-2024
Setuju mbak. Dalam kondisi apapun, sebaiknya perempuan memang baiknya punya penghasilan sendiri. Istriku skrg juga kerja, dan aku sampai sekarang ga pernah melarang. Kadang aku juga ngalah, kerjaan rumah dan anak aku yang urusin. Tapi yaa yowes, gapapa. Toh ngurus anak pun ada masanya. Kelak nanti kalau anak udah gede, mungkin dia pun gamau kita sentuh sama sekali.
BalasHapusBahkan dalam kondisi pernikahan yang sehat, memang sebaiknya jangan larang perempuan untuk berpenghasilan. Karena ya.. umur ga ada yang tau. Kalau amit-amit, suami berpulang lebih dulu. Perempuan yang berdaya pasti sudah siap untuk bertransisi, ketimbang yang tak pernah punya penghasilan sama sekali.