What Have I Done With My Life? Salah Pilih atau Kualat?

what have i done with my life

"Mi, tanggal 31 besok kita nggak ke mana-mana kan? kalau mami bolehkan kakak keliling sebentar, kakak mau cari papi mau kakak lemparin kembang api!"

Saya tercekat sambil memandangi remaja lelaki yang matanya sedkit merah dan berkaca-kaca itu. Tanpa menunggu lama, saya memeluknya dan meminta maaf, entah untuk apa.

Malam ini banjir air mata, berkali-kali saya meminta maaf ke anak-anak. Merasa bersalah banget karena seperti merenggut kebahagiaan mereka.

Btw, papinya tiba-tiba datang sore tadi, sempat ngajak si Adik ke puskesmas untuk mengobati hidungnya yang luka dan melebar lukanya.

Setelah dari puskesmas, siapa sangka dia nggak langsung pergi, saya diam saja melihat dia masuk dan mengurus si Adik sebentar, lalu mandi dan bahkan makan, setelahnya sibuk buka laptop lama saya.

Betapa senangnya anak-anak, si Adik bolak balik main dekat papinya yang sedang sibuk depan laptop. Sementara si Kakak senang karena rumah jadi sedikit berwarna, ada papinya kan.

Saya sejujurnya nggak tega menghapus kebahagiaan anak-anak, tapi saya pikir ada yang harus saya katakan dengan serius kepada papinya.

Btw, hampir 4 minggu lalu, saya terpaksa melaporkan kasus penelantaran keluarga dan KDRT psikis di Polrestabes Surabaya. Saya terpaksa melakukan hal ini karena bingung mau gimana lagi untuk membuat papinya mau bertanggung jawab dan bekerja sama dengan baik untuk anak-anak.

Dia menutup komunikasi sama sekali, setelah awal Oktober 2024 dia memblokir nomor anak-anak, dan sama sekali nggak peduli dengan kondisi kami, padahal dia tahu, saya nggak punya keluarga, nggak punya uang, nggak punya tempat tinggal, nggak punya apapun.

Jujur saya sampai mengajak anak-anak untuk mengakhiri hidup kami loh ketika itu.

Singkat cerita, setelah berani speak up di medsos dan melalui bantuan banyak teman, saya akhirnya mencoba melaporkan kasus penelantaran ini ke Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak kota Surabaya.

Awalnya saya bingung mau gimana, karena pihak PPA mengembalikan ke saya, mereka cenderung meminta saya untuk bercerai dan bahagia.

Jujur, saya bingung, di mana tuh letaknya bahagia dengan bercerai, sementara selama ini kondisi saya udah kayak bercerai, emang jarang bertemu sama bapakeh itu, tapi tetap saja saya ngenes begini hidupnya.

Akhirnya setelah bingung sana sini, saya nanya tentang mediasi, dan ternyata pihak PPA bersedia mengfasilitasi mediasi masalah rumah tangga yang kacau ini. Meskipun hasilnya kurang memuaskan, tapi sebagai rasa terima kasih atas kesediaan PPA dan semacamnya membantu masalah ini, saya ikutin aja.

Sayangnya, kesepakatan kami batal, si bapakeh tetap nggak mau berkomunikasi.

Kesal dengan masalah yang tanpa ujung ini, padahal saya cuman butuh komunikasi aja, biar kita sama-sama pikirin dan jalankan apa nih yang harus dilakukan buat anak-anak.

Akhirnya saya memilih jalur hukum, saya laporkan ke Polrestabes Surabaya dengan kasus penelantaran keluarga dan KDRT Psikis.

Alhamdulillah laporan saya diterima, meskipun setelahnya saya harus menunggu 3 minggu lamanya baru mendapatkan panggilan buat tindakan selanjutnya.

Dan jadwal panggilan itu ya besok.

Karenanya, tadinya saya bingung banget mau kasih tahu tentang hal ini, karena saya yakin dia akan denial dan marah.

Tapi, kalau nggak dikasih tahupun, besok juga saya dan si Kakak wajib datang ke Polrestabes demi memenuhi undangan wawancara lanjutan.

Setelah saya bingung sendiri, akhirnya saya putuskan untuk mengajaknya bicara baik-baik. 


Sebelumnya saya pastikan dia sudah merasa nyaman, dia sudah mandi, sudah makan, dan nggak sedang melakukan hal yang penting.

Sayapun sebelumnya shalat dulu, minta kekuatan dan ketenangan agar bisa berkomunikasi dengan baik. Setelah siap, saya pun datang mendekatinya.


Saya : Pi, lagi sibuk kah? mami mau ngomong sebentar.

Dia : Nggak sih, udah selesai ini.

Saya : Adek ke bawah dulu ya (saya meminta si Adik yang nggak mau jauh-jauh dari papinya untuk menjauh sebentar)


Setelah semua nyaman, saya duduk dengan baik di lantai di depannya, kemudian membuka percakapan.


Saya : Pi, maaf ya, besok mami mau ke polrestabes, ada panggilan dari laporan mami dulu.

Seketika wajahnya menegang,

Dia : Ya silahkan jika kamu merasa itu yang terbaik

Saya : Iya pi, maaf, kan mami udah pernah bilang di WA, kasus ini udah sampai di kepolisian, karena papi menolak untuk berkomunikasi terus, sementara anak-anak butuh biaya hidup, dan butuh perhatian kita sebagai orang tuanya.


Selanjutnya saya udah nggak ingat lagi omongannya, intinya dia denial, marah karena saya lapor ke polisi. 


Dia : Kamu kan tahu, masalah rumah tangga itu tidak perlu keluar diketahui orang, kamu malah sebarkan ke banyak orang.

Saya : Masalah ini bukan masalah rumah tangga biasa, Pi! menurut papi, apa yang harus aku lakukan, jika ada di posisi kayak kemarin. Aku nggak punya uang, kontrakan harus segera dibayar kalau nggak kami bisa diusir keluar, Darrell mau ujian hari Senin, sementara papi malah blokir dia di hari terakhir bayar uang sekolahnya. Nggak ada uang sama sekali, aku bingung, sampai nggak tahu harus gimana?

Dia : Kamu itu ya, aku udah 20 tahun selalu mengusahakan yang terbaik, baru sebulan dua bulan nggak usaha aja kamu permasalahkan.


Jujur saya shock berat!

Pertama, 20 tahun dia mengusahakan terbaik untuk saya? terbaik untuk dia kali! Saya menikah baru 15 tahun, selama pacaran juga saya cuman buang-buang waktu aja, nggak ada yang dia usahakan nyata buat saya.

Setelah menikah, lebih-lebih lagi!

Apa yang dia usahakan? udah tahu saya mintanya kami kerja satu kota saja, agar bisa sama-sama kerja cari uang dan anak bisa diurus berdua.

Saya kenal dia, nggak akan bisa diandalkan kalau dia saja yang bekerja, karena (mohon maaf) nggak punya skill dan kelebihan yang unik dibanding orang kebanyakan.

Kalau saya ikut bekerja, insya Allah saya bisa cari pekerjaan tetap, dan dia bisa melengkapi dengan bekerja kayak sekarang, ikut kontrak proyek terus, di mana kalau habis kontrak ya habis juga masa kerjanya, mana nggak ada tunjangan keluarga sama sekali.

Tapi masalah ini jadi masalah kami sejak lama, dia nggak mau. Maunya saya kerja tapi sekalian urus anak sendiri, dia mau kerja sesuka hatinya di mana aja. Kenyataannya kan saya nggak bisa kerja kalau harus urus anak sendiri, udah saya coba bertahun-tahun loh.

Dan kenyataannya kan, semua perkataan saya terbukti sekarang, semakin tua dia semakin sulit mendapatkan pekerjaan, karena memang persaingan masa kini luar biasa banget, ditambah dia kalau kerja seenaknya sendiri, ngikutin karakternya sendiri, berasa kerja di perusahaan bapaknya kali ya.


Tapi, saya putuskan untuk menahan ucapan ini keluar, saya coba fokus ke masalahnya, biar nggak melebar ke mana-mana.


Maksud saya sebenarnya simple, saya ingin ajak ngobrol dengan kepala dingin, makanya saya udah kondisikan keadaannya, harus sudah mandi, sudah makan, sudah nyaman lah.

Tapi ternyata, masalah utamanya bukan di kondisi dia belum nyaman trus diajak ngobrol, tapi emang pikirannya yang sudah sangat luar biasa buta keadaan.

Intinya, saya terus berusaha menyampaikan maksud saya untuk menanyakan pendapatnya, gimana hubungan kami ini ke depannya?. Karena ini sangat berpengaruh dengan wawancara dengan kepolisian besok.

Saya sangat berharap, agar kami bisa saling memaafkan, berjanji untuk tidak saling melukai lagi, dan yang paling penting, berjanji untuk tidak mengabaikan anak-anak lagi. 

Setelah itu, besok saya bisa ke kantor polisi dan menarik laporan saya. 

Sebuah keputusan yang win-win solution bukan?. Dia tak perlu menghadapi panggilan kepolisian akan kasus ini, saya pun akan berusaha memaafkan dan melupakan masalah kemarin, meski tahu sendiri bagaimana hancurnya perasaan saya. 

Atau kalau memang dia nggak bisa memaafkan saya, akan lebih baik kalau kami bercerai secara baik-baik, karena bagaimanapun status kami, anak-anak tetap butuh kerja sama kami berdua sebagai orang tua.

Bukankah permintaan saya nggak terlalu berlebihan ya?.

Saya hanya meminta damai loh, baik bercerai maupun tidak. Dia sakit hati karena namanya buruk di medsos, demikian juga di pemerintahan dan kepolisian?. Samaaaaaa, temans yang baca cerita saya dari awal, bahkan mungkin membaca niat saya untuk berbaikan, pasti akan kesaaaaallllllllllll dan gemesssssss karena mereka semua berpikir, sebaiknya tinggalkan saya lelaki kayak gini.

Tapi saya masih membuka 2 solusi yang cukup adil untuk kami loh. Mau lanjut ayookkk, dengan komitmen saling melupakan dan memaafkan masa lalu dan komit dengan serius untuk tidak mengabaikan anak lagi.

Mau cerai? ayookkk juga, biar biayanya kita tanggung bersama, trus masalah pengasuhan anak kita atur dengan baik.

Tapi pilihannya?

Seperti biasaaaa!

Ambil tas dan kabuuurrrr!!!!


Hahahahahaa, saya hanya bisa tertawa mengiringi kepergiannya tadi saking udah nggak tahu harus ngapain. 

Saya pikir dia maunya bebas mau ngapain aja, kalau dia marah dan mau pergi dari rumah, ya saya wajib diam aja, biarin aja dia pergi seminggu, sebulan, nggak kasih uang, ya biarkan aja!.

Terus, kalau dia pulang, saya harus menyambutnya dengan baik, harus melayaninya di kamar, hoeeeekkkkkssss!!!! Jijayyyy!!!!


Sepeninggalannya tadi, saya sedih melihat muka anak-anak yang kembali bersedih. Seketika saya peluk mereka, menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi dalam bahasa mereka.

"Maaf ya Kak, mami tadi kasih tahu papimu tentang kita ke kantor polisi besok, ternyata papimu malah marah! nggak mau dengar penjelasan mami! jadinya dia pergi lagi"

Saya jelaskan juga kalau saya harus menjelaskan semua itu ke papinya malam ini, karena biar gimanapun kami besok wajib datang ke kantor polisi. Tak lupa juga menjelaskan, bahwa maksud mami mengajak ngobrol itu, agar papinya paham, dan saling memaafkan, lalu besok kami bisa cabut laporan itu.

Tapi ternyata, sikap denial-nya itu, menyiratkan untuk saya tetap melanjutkan laporan ini. Saya nggak tahu ke depannya gimana?. Karena jujur saya juga nggak punya cara lain untuk menghadapi papinya anak-anak ini.

Lalu, tiba-tiba saya menangis pilu, bertanya-tanya sendiri.

"What have i done with my life?"

Ya Allaaaahh, saya pergi jauh dari orang tua demi mendapatkan jodoh yang terbaik loh. Saya sengaja menghindari orang Buton, karena saya pikir dulu laki-laki Buton itu patriarki semua, kayak bapak saya. 

Saya butuh jodoh yang bisa menganggap saya sebagai partner yang sekufu, dan itulah yang saya lihat dari papinya anak-anak ini ketika masih pacaran dulu.

Selama 8 tahun loh kami menikah, selama itu juga saya merasa kalau lelaki ini adalah yang terbaik seperti yang saya cari. Sikapnya yang selalu meratukan saya, sopan dan sayang kepada mama saya.

Bahkan mama saya juga jatuh cinta pada lelaki ini dulunya, awalnya. Betapa tidak, mama yang seumur hidup terbiasa dengan lelaki patriarki, lalu datang calon mantunya yang mau masuk dapur ikut masak, cuci piring, makan ambil sendiri. 

Rajin antar mama ke pasar, tidak malu memegangkan keranjang belanja mama.

Jangankan saya, mama benar-benar merasa lupa akan semua kekhawatirannya ketika saya memilih orang suku jauh untuk jadi jodoh saya.

Sampai-sampai mama selalu membandingkan si lelaki ini dengan suami kakak yang tergolong cuek. 

Karena sikapnya yang begitu manis, begitu meratukan wanita, bersedia mendengarkan semua masukan saya. Dulu dia gondrong, saya minta potong rambut dia mau.

Lalu terakhir, dia perokok dan dia mau berhenti merokok bahkan pernah menghindari rokok beberapa lama, sampai akhirnya kembali lagi.

Intinya, saya merasa hidup saya akan baik-baik saja dengan memilih dia, sehingga ketika setelah menikah dia mulai memaksakan kehendaknya, saya selalu mengalah dan akhirnya memilih nurut pada dia.

Saya tidak bisa dekat keluarganya, tapi akhirnya berusaha dekat, bahkan sering diomongin di belakangpun, tak pernah saya ambil hati.

Bahkan ibunya yang sering ngomongin saya dengan kurang baikpun, saya selalu maafin tanpa ada yang minta maaf dan selalu heboh menjenguk ibu saat dia sakit dan tak berdaya. Sampai saya ikutan merawat ibunya ketika lumpuh tak berdaya. 

Saya yang super jijikan ini, tiba-tiba kehilangan rasa jijik mengurus kotoran ibunya.

Saya pikir, dengan semua sikap berusaha nurut seperti yang saya tunjukan itu, akan sedikit saja menyentuh hatinya.

Ternyata enggak sama sekali.

Bahkan ketika saya mengeluh ketakutan dengan dugaan pelecehan di rumahnya itu, saya udah GR takut dia ngamuk dan gebukin pelaku, eh yang ada saya dituduh mengfitnah.

Ya Allaaahhh, what have i done with my life?

 Apa ya Allah?

Ternyata pilihan saya salahkah? atau semua ini karena saya kualat tak mau mendengarkan orang tua saya? huhuhu.

Ampuni saya ya Allah.

Ampuni saya yang dulu memaksa dijodohkan dengan manusia yang tidak lebih baik dari orang kuno, jadul dan narsis.

Ya Allaaaaah, sesungguhnya saya terima semua yang Kau berikan dalam hidup ini. Saya yakin semua terjadi atas kuasa-Mu.

Maka, tolong kuatkan saya ya Allah.

Tolong tunjukan jalan keluar yang terbaik ya Allah.


Surabaya, 16-12-2024

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)