Kembali bersama atau bertemu dengan teman-teman lama, membuka cerita lebih intens tentang pertemanan (kembali). Salah satunya dengan teman-teman ketika saya masih duduk di bangku STM dulu.
Memang ya, kata orang pertemanan yang lebih intens tuh terasa adalah teman-teman di level SMA. Karena saya nggak pernah duduk di bangku SMA, jadinya saya hanya punya pengalaman dalam kebersamaan dengan teman-teman di bangku STM (Sederajat SMA kan?, hahaha).
Btw, sebelumnya saya mau cerita dulu deh, saat menulis tulisan ini, di pagi hari sekitar pukul 08.30. Listrik menyala sih pagi ini, tapi koneksi internet hilang sejak semalam.
Wattdef banget dah, lama-lama kesal juga dengan keadaan kayak gini. Nggak ada pemasukan sama sekali, mau ngeblog susah amat pulak. Kalau enggak mati lampu dalam jangka lama, ya sinyal menghilang.
Kezeeellll!
Pengen saya gantiin tuh petugas BTS-nya, kalau nggak bisa kompeten, kan jangan kerja di bagian itu, kasih ke orang yang memang berniat kerja aja.
Bete.
Ah sudahlah, terpaksa tulisan ini saya tulis di sticky notes aja, nanti aja baru dipindahin ke blog. Dicopas dan upload, jadi lebih cepat.
Yang menyedihkan lagi, laptop saya ini nggak ada Microsoft Office-nya. Jadi kalau nggak ada sinyal internet, ya nggak bisa buka Google Docs yang biasanya saya gunakan untuk menulis.
Balik ke masalah pertemanan.
Jadi, saya memang punya pertemanan masa STM yang masih aktif bertemu. Setiap ada teman yang dari luar Buton bisa berkunjung atau mudik, maka beberapa teman yang bisa kumpul, pasti mengusahakan kumpul.
Masalahnya saya rempong dengan anak-anak, dan juga keponakan-keponakan. Jadinya ketika saya datang, jarang banget berkabar di grup, diam-diam aja gitu sampai saya membutuhkan sesuatu dan menanyakan di grup WA alumni STM kami.
Gegara pertanyaan itu, teman-teman pada curiga, sampai akhirnya mereka menemukan fakta, kalau ternyata saya lagi mudik. Hanya dalam hitungan menit, muncullah salah satu sahabat saya bernama Mila di depan rumah kakak (kebetulan saya lagi di rumah kakak).
Btw, sahabat saya si Mila ini, saudara sepupu dengan kakak ipar saya, suaminya kakak saya, si Jouke.
Jadi, dia udah biasa muncul di rumah kakak saya, dan keponakan saya juga udah biasa liat dia. Dan ketika dia dengan diam aja berdiri memperhatikan saya yang selepas mandi mondar mandir di ruangan.
Sayapun cuek aja melihat si Mila ini, gegara saya nggak pakai kacamata, off corse mata minus saya nggak ngeh kalau itu sahabat saya, hahaha.
Sampai akhirnya dia berdiri di depan kamar, dan mendekat lalu saya ngeh, ya ampooonnnn ternyata itu si Mila, hahaha.
Karuan saja saya kena omel, gegara ditelpon nggak pernah diangkat. You know lah saya nggak suka angkat telpon, apalagi video call kan. Duh ogah banget angkatnya.
Setelah puas ngomel kesal karena sikap saya yang malas angkat telpon. Kami pun terlibat percakapan ringan yang intens. Berbagai hal kami bicarakan, termasuk masalah cut off pertemanan yang dilakukan salah satu teman kami saat STM.
Btw, karena dulunya di STM pun murid perempuannya sedikit jadinya sesama teman perempuan tuh kita selalu dekat. Well, sama sih di sekolah lain ada geng-geng nya, tapi karena perempuan dikit doang, jadinya geng nya juga dikit.
Nah selain Mila, saya punya satu teman lainnya yang juga dekat banget. Sayangnya setelah kuliah kami pisah.
Si teman satu ini, lulus D3 arsitek di salah satu perguruan tinggi negeri di Kendari, sementara saya dan Mila nggak lulus, hahaha. Saya akhirnya nganggur setahun, sebelum akhirnya meneruskan kuliah di Surabaya.
Karena berpisah, hubungan kami jadi renggang. Hanya Mila yang tak pernah melupakan saya, rajin menciptakan komunikasi, bahkan di saat dulu belum ada handphone seperti sekarang.
Si Mila ini sering banget kirimin kabar dari surat. Eh nggak sering sih, sesekali doang. Tapi dia nulis banyak curhatan di buku diary gitu, terus dikirim ke saya pas diary-nya udah penuh, hahaha.
Berbeda dengan salah satu teman kami itu, meskipun dulu dia sempat ke Surabaya untuk kegiatan kuliahnya, kami ketemu sih saat itu.
Tapi sejak dia lulus, lalu kemudian mulai bekerja dengan magang di sebuah kantor pemerintahan di kota tersebut. Lalu seiring waktu lulus jadi PNS dan memegang jabatan penting di tersebut, tiba-tiba si teman ini jadi sulit untuk diajak ketemuan saat saya mudik.
Bahkan untuk bertemu teman-teman yang masih sekota aja, sulit. Sampai era ponsel mulai menjamur, si teman ini berkali-kali dimasukin ke grup alumni STM, eh dianya keluar mulu.
Sampai akhirnya semua teman menyerah, dan mulai terbiasa dengan sikap si teman ini yang bagaikan orang nggak kenal teman lama.
Sikap Cut Off Pertemanan, Yay or Nay?
Meski sedih (awalnya sih) tapi sejujurnya saya menerima dan memaklumi sikap si teman tersebut. Kalau menurut saya, dia memang keknya sengaja untuk cut off pertemanan menjadi lebih kecil dan intens saja.
Meskipun sikapnya memang terbilang ekstrim sih, tapi mungkin dia punya alasan tersendiri untuk itu.
Kalau saya pribadi, menyetujui sikap ini, meskipun tidak dengan cara yang ekstrim gitu. Saya cuman memilih sikap 'kalau nggak penting-penting banget ya enggak memaksakan untuk bertemu teman-teman'.
Zaman sekarang tuh, ibaratnya waktu adalah uang, apalagi kalau udah punya anak, dan kondisinya kayak saya yang single fighter mom kan ye.
Dalam pikiran saya, pokoknya waktu tuh adalah duit, daripada dipakai buat 'hanya ngobrol', mending dipakai buat ngerjain apa gitu, buat hasilin duit, hehehe.
Akan tetapi, bukan berarti menutup diri dengan banyak teman sekaligus juga sih. Karena ternyata dunia ini tidak selamanya 'hanya menghasilkan duit' dengan cara yang biasa kita lakukan.
Ada kalanya, justru rezeki kita dikirim melalui teman-teman tersebut.
Dan ada kalanya, mungkin bukan sekarang, tapi besok-besok keadaan berbalik, kita yang di bawah dan dibantu oleh teman-teman yang dulunya bahkan di bawah kita, dan kita hindari atau cut off tersebut.
Bisa jadi loh.
Kayak saya yang bertahun-tahun meninggalkan keluarga sendiri, memilih cut off keluarga bahkan, demi fokus ke suami. Apalagi teman-teman, demi menjaga fokus ke 'mendukung suami' saya cut off juga banyak teman lama. Eh ujungnya saya harus kembali bersama keluarga karena ditelantarkan gitu saja oleh suami.
Bukan hanya itu, ujung-ujungnya saya butuh teman-teman lama yang bisa membantu untuk memperbaiki nasib. Padahal sebelumnya saya bisa dibilang udah cut off pertemanan banget, dengan alasan jarak, tapi sejujurnya demi fokus ke keluarga sendiri.
Ternyata, cut off pertemanan sangat tak bijak buat saya.
Ujung-ujungnya butuh teman juga, dan beruntungnya saya punya teman-teman yang bisa dibilang tetap sayang, meski low maintenance sampai dikira cut off pertemanan.
Jadi, jika ditanya bagaimana pendapat saya tentang cut off pertemanan?.
Menurut saya sih, Nay!, tapi saya menghormati jika ada teman yang melakukan hal tersebut.
How about you?
Buton-LWL, 10-02-2025
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)