Lagi viral berita Band Sukatani yang konon diintimidasi oleh pihak kepolisian, sehingga akhirnya mereka meminta maaf kepada pihak kepolisian dan menghapus semua lagu mereka di berbagai platform.
Gegara ini, gelombang protes masyarakat menekan pihak polisi, dan marak konten-konten di medsos yang isinya marah kepada polisi, yang intinya dikaitkan dengan apa-apa terutama jika harus berkaitan dengan polisi, kudu bayar.
Sebenarnya, menurut opini dan pikiran saya, pihak kepolisian tidak sepenuhnya salah ketika meminta grup band tersebut meminta maaf. Masalahnya lirik lagunya memang terkesan menggambarkan semua polisi, selalu mewajibkan minta dibayar oleh masyarakat.
Karena liriknya, 'bayar polisi' saja, bukan 'bayar polisi nakal'. Tentu saja pihak kepolisian bisa dengan mudah memprotes lirik tersebut. Karena sebenarnya kan nggak semua polisi itu nakal.
Hal ini mengingatkan saya tentang ketika harus berurusan dengan polisi saat melaporkan kasus KDRT Psikis dan Penelantaran Keluarga di Polrestabes Surabaya.
Pengalaman Melaporkan Kasus Penelantaran Keluarga dan KDRT Psikis di Polrestabes Surabaya
Jadi, seperti yang saya sudah pernah ceritakan sebelumnya, di bulan Oktober 2024 kemaren, saya mengalami masa-masa yang sangat sulit, sampai-sampai sudah berpikir dan mengajak anak-anak untuk mengakhiri hidup kami.
Hal ini dikarenakan ayahnya anak-anak menelantarkan kami, khususnya anak-anak begitu saja.
Dia memblokir nomor saya dan anaknya, lalu memutuskan healing ke Bali. Kalau lihat dari gelagatnya, sepertinya dia hendak mengikuti sikap saudaranya, yang dengan sengaja meninggalkan keluarganya begitu saja.
Mirisnya, kalau saudaranya meninggalkan anak istrinya, lalu ortunya bertanggung jawab, si istrinya dikasih modal buat menghidupi anak-anaknya. Sementara saya? ih boro-boro.
Bahkan semua keluarganya tau persis bagaimana mengkhawatirkannya kondisi dan nasib anak-anak saya yang juga merupakan keturunan mereka. Tapi tak seorangpun yang peduli.
Yang jadi masalah adalah, saya sebatang kara di Surabaya, sudah lama nggak ada kontak dengan keluarga sendiri, demi membela suami yang sikapnya makin tidak sopan di mata keluarga saya.
Sayapun sebagai istri terpaksa jadi ibu rumah tangga karena memang anak-anak nggak bisa ditinggal bekerja. Dan papinya malah memilih bekerja di luar kota.
Alhasil, tentu saja saya bergantung 100% dari nafkah yang diberikan suami, khususnya untuk sewa kontrakan bulanan, makan, kebutuhan hidup lainnya dan tentunya pendidikan anak-anak.
Bayangkan, dalam keadaan kontrakan harus dibayar bulanan, nggak punya aset maupun tabungan, nggak punya keluarga, dan dia lepas tangan begitu saja.
Kalang kabut bahkan nyaris mengakhiri hidup mengajak anak-anak, itulah yang ada di pikiran saya.
Lucky me, saya masih punya keberanian speak up di media sosial, karena saya takut saya benar-benar bunuh diri, lalu keluarga saya yang mungkin nggak terima dengan kondisi saya ingin menuntut. Dengan speak up di medsos dan blog, saya harap bisa meninggalkan pesan ke keluarga, setidaknya alasan yang kuat mengapa saya mengakhiri hidup.
Tapi ternyata, gara-gara speak up, saya bisa mengenal UPTD PPA Surabaya, dan didampingi pihak mereka, sayapun memutuskan untuk melaporkan ke Polrestabes Surabaya untuk kasus Penelantaran Keluarga dan KDRT Psikis.
Kunjungan Pertama di Polrestabes Surabaya, Konsultasi Hukum dan Pembuatan Laporan
Tanggal 22 November 2024, saya janjian dengan pihak UPTD PPA Surabaya untuk ketemuan di Polrestabes Surabaya.
Sendirian saya berangkat menuju kantor tersebut yang beralamat di jalan Sikatan no. 1 Surabaya. Sampai di sana persis pukul 9 pagi. Jujur deg-degan, karena itu kali pertama saya mengunjungi kantor polisi di Surabaya.
Setelah parkir, saya diarahkan ke pos pemeriksaan, mengisi buku tamu lalu menyerahkan KTP untuk ditukar dengan tanda pengenal tamu.
Saya lalu ke Ruangan Pelayanan Khusus (RPK) yang merupakan ruangan khusus untuk pelayanan perkara perempuan dan anak. Setelah menunggu beberapa menit, pihak UPTD PPA yaitu Mbak A dan Mas E tiba di kantor tersebut. Setelah mendapatkan izin, saya ditemani Mbak A lalu menuju ruangan konsultasi di lantai 2.
Btw, sebelum ke ruangan atas, HP harus ditinggalkan di sebuah laci yang disediakan di daerah lobby.
Kami lalu masuk ke sebuah ruangan, dilayani oleh seorang Mbak-Mbak (lupa namanya). Sayapun disuruh menceritakan masalah, dan setelah dirasa cukup, awalnya si Mbaknya tidak yakin kasusnya bisa dilaporkan.
Tapi beruntung saya dibantu Mbak A, mendesak untuk bisa memasukan laporan dengan pasal Penelantaran Keluarga ditambah KDRT Psikis yang dilakukan selama bertahun-tahun.
Mungkin karena penjelasan pihak UPTD PPA Surabaya lebih mengena, akhirnya si Mbak mengiyakan dan memberikan rekomendasi pasal yang akan dilaporkan.
Setelahnya, kami lalu menuju ruangan yang berada di dekat pos penjagaan, naik ke lantai 2 dan dilayani oleh seorang bapak polisi yang ramah.
Setelah duduk, eh saya disuruh kembali bercerita, jujur agak kesal sih karena capek juga me-recall bad memories kan. Tapi karena menyadari mungkin memang prosesnya gitu, ya udah saya jalanin saja, dan kembali menceritakan masalah yang saya alami.
Setelah bercerita, eh giliran polisinya yang tidak semangat untuk membuat laporan. Bahkan sempat disarankan untuk diselesaikan secara kekeluargaan saja.
(Yeeeee si Bapak! kalau bisa diajak ngomong, ngapain saya harus capek-capek lapor polisi?).
Beruntungnya saya kembali dibantu oleh pihak UPTD PPA Surabaya, ditambah saya memang cengeng ya, cerita sambil bercucuran air mata. Mungkin polisinya kasihan, akhirnya bisa juga dibuatin laporan.
Setelah laporan jadi, saya diminta untuk membawa kertas tersebut untuk ditanda-tangani petugas yang bertugas di situ. Sekitar pukul 11.30an, akhirnya semua urusan kami selesai.
![]() |
sepenggal surat laporannya |
Pihak polisinya meminta saya untuk menunggu panggilan berikutnya, dan sayapun akhirnya berpamitan lalu pulang sambil sumringah, karena sejak awal sampai laporan jadi, tak ada sepeserpun yang dimintain oleh petugas di sana. Jadi besar deh harapan saya akan kinerja para polisi di Polrestabes Surabaya ini.
Rentang Waktu Proses Pemanggilan Selanjutnya Di Polrestabes Surabaya
Setelah pulang, saya lalu mengeprint file UU PKDRT. Besar harapan agar ketika dipanggil lagi 2 atau 3 hari ke depan, saya lebih siap untuk berhadapan dengan penyidik karena memang nggak bisa bayar lawyer ya.
Etapi, 2-3 hari berselang, lalu tiba-tiba berganti seminggu, belum juga ada kabar dari polrestabes Surabaya.
Minggu ke-2 tetap sama, dan di minggu ke-3 saya mulai lelah menunggu, dan mulai curhat tipis di akun IG pak Kapolri @listyosigitprabowo segala, hehehe.
Lalu akhirnya, sekitar tanggal 13 Desember 2024, tiba-tiba pintu kontrakan kami diketuk, seseorang muncul di pintu menyerahkan surat undangan wawancara dengan penyidik yang akan dilakukan tanggal 17 Desember 2024 di ruang RPK Polrestabes Surabaya.
Saya lalu menghubungi UPTD PPA Surabaya dan mengabari undangan tersebut. Alhamdulillah mereka masih mau mendampingi saya untuk hadir.
Masalahnya saya sejujurnya nggak ngerti, pertemuan pertama itu kami ngapain aja sih? nantilah liat kertasnya baru paham, oh yang pertama itu pelaporan.
Nah yang kedua ini juga sama, kirain cuman wawancara biasa, atau kayak diskusi gitu, eh ternyata ini udah bikin BAP ya namanya sama penyidik.
Dan ketika bikin BAP itu, kayak yang biasa saya liat di film-film gitu, korban bercerita, polisinya ngetik setiap perkataan yang dikeluarkan korban.
Saya awalnya disuruh bercerita dulu, setelah dipahami, barulah disuruh kembali cerita sambil diketik, wkwkwkw. Lumayan lama prosesnya, dan setelah saya, si Kakak pun dipanggil untuk ditanyain karena saya memasukan dia sebagai saksi dari kasus ini.
Setelah beberapa jam, wawancarapun selesai, dan akhirnya kami bisa pulang, tentunya dengan janji akan segera diproses, sambil menjelaskan kalau kasus mereka banyak, makanya agak lama.
Saya sejujurnya nggak bisa paham, tapi karena nggak enak, saya iyakan dan coba mengerti saja.
Btw, untuk pertemuan ke-2 ini juga sama, nggak ada pungutan sama sekali. Saya cuman mengeluarkan 2000 perak untuk biaya parkir motor, hehehe.
Sepulang dari kantor polisi, semangat menyelimuti saya dan si Kakak juga khususnya. Si Kakak memang sudah remaja dan sepertinya dia menyimpan luka dan benci pada papinya. Sementara oleh penyidik dijanjikan akan segera dikirimkan surat pemanggilan buat papinya, sekaligus eyangnya karena dinilai punya andil juga dalam masalah ini.
Sayangnya, setelah pertemuan tersebut, sama juga.
Hari berganti minggu, nggak ada kabar lanjutan sama sekali. Sampai akhirnya di tanggal 27 Desember 2024, tiba-tiba pihak UPTD PPA Surabaya menelpon saya. Ternyata mengabari bahwa penyidik yang bertugas memproses kasus saya, meninggal dunia.
Astagfirullahal adzim, inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.
Gara-gara itu, akhirnya BAP harus diulangi karena dialihkan ke penyidik lain, dan saya lagi-lagi diminta menunggu.
Astagfirullaaaaahhhh, anak-anak tuh sudah terlantar sejak Oktober 2024, bahkan sebelumnya pun saya sudah punya hutang untuk membayar kontrakan, karena takut diusir empunya kontrakan.
Lah ini sampai berbulan-bulan masih juga menunggu. Jujur sedikit kesal, tapi mencoba bersabar.
Di awal Januari 2025, sekitar tanggal 2 Januari, saya menelpon UPTD PPA untuk memberitahukan sebuah berita yang akan mempengaruhi laporan kepolisian ini. Beritanya nanti aja deh saya ceritakan secara jelas di e-book terbaru saya, soon.
Tanggal 3 Januari saya konsultasi lagi di kantor UPTD PPA tentang langkah yang akan diambil, dan pihak UPTD PPA berjanji untuk berkonsultasi dahulu ke pihak kepolisian langkah apa yang harus saya ambil.
Dari situ, akhirnya saya kembali ke Polrestabes Surabaya di tanggal 8 Januari 2025, bertemu dengan polisi penyidik baru, bahkan sempat bertemu dengan ibu (saya lupa namanya, hehehe).
Dan di pertemuan ini, awalnya alot, karena saya merasa tidak setuju dengan keterangan yang disarankan. Sehingga akhirnya pihak UPTD PPA Surabaya membantu menjembatani agar pemanggilan terduga pelaku dipercepat.
Sayangnya, sampai beberapa hari tak ada kabar, ujungnya cuman ada kabar bahwa pihak kepolisian sudah memanggil si terduga pelaku alias ayahnya anak-anak. Dan awalnya dia berjanji akan memenuhi panggilan, tapi pas hari H, eh dia nggak datang.
Dan setelah itu nggak ada kelanjutan dan jalan keluar, sampai akhirnya kasus ini masih terkatung-katung di Polrestabes Surabaya, hehehe.
Tak Semua Polisi Harus Bayar, Lapor Kasus di Polrestabes Surabaya Tanpa Pungutan, Tapi....
Selama 3 kali saya modar mandir di Polrestabes Surabaya, Alhamdulillah sepeserpun saya tak pernah ditagih pembayaran apapun. Yang saya bayar cuman biaya parkir motor 2000 perak, hehehe.
Jujur, awalnya saya happy dan menaruh harapan besar pada kinerja pihak PPA Polrestabes Surabaya. Dan berusaha sabar dan memahami kesibukan mereka menangani banyak kasus pelaporan yang ada.
Tapi, setelah akhirnya melihat kenyataan, terduga pelaku dipanggil dan mangkir, tapi tak ada tindakan tegas. Serta lambatnya kasus ini diproses, jujur saya mulai berpikir, apakah mereka serius menangani kasus seperti ini?.
Maksudnya gini, kalau sudah tahu kasusnya banyak, ya pikirin dong solusinya agar kasus yang masuk bisa ditangani dengan cepat.
Kasus saya contohnya, meski terlihat remeh oleh mereka, tapi mereka tahu nggak sih, kalau saya lapor polisi itu, karena saya udah nggak tahu gimana caranya bertahan nggak bunuh diri, saking bingung harus biayain anak-anak gimana?.
Mental saya hancur banget, anak-anak juga hancur kena dampaknya.
Saya butuh ayahnya anak-anak atau keluarga ayahnya untuk bertanggung jawab ke anak-anak, karena jujur saya nggak mampu bayar kontrakan, bayar sekolah dan makan kami semua.
Sudah berbagai cara saya lakukan, termasuk melapor ke UPTD PPA Surabaya, tapi memang nggak ada jalan keluar. Makanya saya lapor polisi, dengan harapan ada solusi agar anak-anak bisa tetap hidup dengan baik.
Lalu tiba-tiba masalah Band Sukatani viral, lirik lagunya yang mengatakan 'bayar polisi', tiba-tiba terlintas di pikiran saya.
Apakah karena saya nggak bayar, makanya kasusnya lambat diproses, dan terkesan tidak dianggap serius?. Apalagi melihat kasus yang mirip ini yang dialami Aprila Majid, di mana suaminya kabur menghilang dan dia berhasil mendesak kepolisian untuk mencari dan menangkap suaminya yang tidak bertanggung jawab itu.
Bayangkan, suaminya tuh menghilang beda pulau, bisa ditangkap dan bahkan saat ini status suaminya telah menjadi tersangka dari pasal Penelantaran Keluarga.
Si Aprila memang memakai jasa lawyer sih, ditambah the power of media sosial yang menggaungkan tagar #NoViralNoJustice
Jujur saya jadi suudzon deh, apakah memang harus bayar ya?.
Tauk dah!.
Udahan ah, insya Allah cerita selengkapnya ada di e-book terbaru saya. Dan tips-tips melaporkan kasus penelantaran keluarga gini, insya Allah saya tulis di lain postingan.
Elweel, 24-02-2025
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)