Hampir berantem karena masalah tanah?.
Itu keknya yang menggambarkan drama bikin sertifikat tanah lewat PRONA/PTSL yang diselenggarakan pemerintah baru-baru ini.
Jadi, setelah pengukuran tanah hari pertama, seperti yang saya ceritakan di sini, keesokan harinya lanjut pengukuran untuk lokasi lain.
Baca : Pengalaman Bikin Sertifikat Tanah Lewat PRONA / PTSL part 01
Sebenarnya jadwal pengukuran untuk masyarakat udah lewat, tapi kami berhasil 'nebeng' di jadwal pengukuran tanah aset pemerintah. Dan kebetulan juga lokasi tanah berikutnya yang kata mama dibuatkan atas nama saya itu, dekat dengan lokasi aset pemerintah.
Mempersiapkan Lokasi Pengukuran Tanah
Seperti yang saya ceritakan di postingan lalu, bahwa lokasi tanah yang hendak dibuatin sertifikat ini memang sudah lama tidak terurus.
Ye kan, siapa yang mau urus, dulu tuh biasanya almarhum bapak yang rempong bersihin, nanamin sesuatu, terutama di bagian batas tanahnya.
Alhamdulillah sih, sisa-sisa tanaman bapak masih ada sebagian, lainnya udah dicolong manusia-manusia yang tak bertanggung jawab.
Jadi, bapak nanam beberapa pohon kayu yang keras, salah satunya kayu wola (kagak tahu ini nama pohon dalam bahasa Indonesia atau bukan). Menurut mama, bapak menanam beberapa pohon wola, dan seharusnya udah tumbuh gede, karena udah tahunan juga nanamnya.
Maka, sejak subuh hari mama minta dianter ke sana ke mari buat nyari tenaga yang bisa dibayar buat membersihkan lokasi tersebut. Setidaknya buat lokasi di pinggiran aja, biar petugas pengukuran tidak kesulitan harus masuk semak belukar demi menentukan titik pengukuran.
Alhamdulillah ketemu tenaga, meskipun cuman 1 orang yang bersedia, dan mama harus membayar 200reboan untuk bekerja beberapa jam saja, hehehe.
Beruntung, kakak dan suaminya pun ikut serta membantu, karena hanya mama dan kakak yang tahu batas-batasnya. Meanwhile mama udah lansia, nggak kuat jalan jauh, apalagi di dalam hutan begitu.
Jadi, pagi hari kami bagi tugas. Saya ke rumah adik sepupu yang berjarak puluhan KM untuk minta tanda tangan batas tanah milik kakak saya yang diukur di hari sebelumnya. Sementara kakak dan suami, bersama mama dan tenaga yang membersihkan tersebut, langsung menuju lokasi.
Setelah mendapatkan tanda tangan adik sepupu, segera saya pulang dan menyusul di lokasi. Beruntung, meski hutannya lebat, tapi sinyal ponsel masih berfungsi dengan baik.
![]() |
Bingung mau masuk lewat mana |
Segera saya menelpon kakak ipar yang kebetulan membawa ponselnya, minta dijemput di depan hutan. Dan setelah menunggu sebentar, kakak ipar muncul dan membawa saya ke lokasi.
Dan ternyata, the real hutan belantara dong, hahaha.
Jadi memang tanah tersebut terpaksa dibeli oleh mama, karena ada tetangga yang butuh duit banget kala itu. Dan karena nggak tahu harus diapakan, bapak cuman sempat menanam beberapa pohon kayu keras.
Beruntung ketika masih ada, bapak sempat memagari tanah tersebut dengan kayu yang akhirnya jadi tanaman, namanya pohon gamal.
Sebagian memang sudah mati, tapi masih ada beberapa yang hidup, dan menjadi tanda batas tanahnya. Mama juga masih ingat, ditambah kakak saya, jadilah saya ditunjukan mana aja batas-batasnya.
Mengapa si perempuan letoy ini yang dikasih tanggung jawab tahu batas itu?. Bukan semata itu tanah akan dikasih ke saya, tapi memang kakak dan suaminya hanya bisa di situ sebentar, mereka masih harus segera pulang untuk masuk kantor.
Sementara, nggak mungkin dong mama yang diminta dampingi petugas yang jalannya sergep gitu.
Ya udah deh, saya memperhatikan beberapa titik batas yang diberitahu, sebagian saya ambil fotonya biar nggak lupa, yang ketika saya liat fotonya, laaaaahh pegimana bisa tahu batasnya, orang sama semua, hutan dan hijau dedaunan, wakakaka.
Tapi biarlah, setidaknya saya ingat sedikit beberapa batas, termasuk jalan masuk ke dalam lokasi tersebut.
Fyi, jalan masuknya nggak ada dong, kami terpaksa blusukan di belakang rumah orang, yang mana kebanyakan orang buang sampah sembarangan, dan bayangkanlah betapa jijaynya akoh, hahaha.
Momen Pengukuran, Drama Tanah Diserobot Orang Lain
Setelah lokasi dibersihkan, saya pun menunggu dengan sabar, dan ternyata sampai malampun nggak ada tanda-tanda orang datang mengukur tanah tersebut.
Sampai akhirnya saya telepon salah satu panitianya, katanya hari itu nggak jadi karena petugas pengukuran sudah kembali ke kantornya. Jadi ditunda sampai besok.
Keesokan harinya, saya sudah siap sejak pagi menunggu mereka, kebetulan hari itu Jumat, 28 Februari 2025. Dari pagi nunggu, ternyata setelah Jumatan barulah ada kabar pengukuran tersebut.
Jujur saya udah was-was, karena besoknya udah puasa, malam bakal ada tarawih pertama dan biasanya orang-orang tuh pada haroa (di Jawa namanya bancakan).
Sementara setelah pengukuran harus banget urus surat-suratnya biar bisa dikirim langsung ke kantornya.
Tapi sudahlah, yang penting diukur dulu.
Ternyata kakak ipar sudah ngomong ke tenaga yang membersihkan kemarinnya, untuk menemani saya ketika pengukuran, karena dia pun ditunjukan batas-batasnya. Akan tetapi, karena dia nggak punya ponsel, terpaksa saya deh yang harus jemput dia ke rumahnya, lalu memboncengnya ke lokasi, hiks.
Sampai di lokasi saya diminta mama untuk beliin sesuatu buat si bapak tenaga itu, kata mama beliin rokok saja. Saya yang nggak tahu rokok apa, lupa juga nanya ke mama, beliin rokok apa?.
Saya inisiatif nanya dong, dan dijawab salah satu rokok yang lumayan mihil, rokok Surya. Mama saya ngakak nggak karuan ketika saya menceritakan si bapak tersebut minta dibeliin rokok mahal. Aji mumpung banget si Bapak, mungkin dikira muka akoh mukanya orang banyak duit kali yak, hiks.
Kami (saya, si bapak tenaga itu, dan si Kakak) menunggu petugas pengukuran di depan jalan pintas buat masuk ke lokasi. Namun tak lama beberapa orang mendekat, bertanya kami mau ngapain?.
![]() |
Bersiap dan menunggu |
Terutama setelah mereka melihat saya yang memang amat sangat jarang keluar rumah, jadi aneh aja tetiba si Rey ini kok keliatan berdiri di jalanan gitu, hahaha.
Jawaban si bapak tenaga bahwa kami menunggu petugas pengukuran tanah, ternyata menarik perhatian salah satu bapak yang rumahnya di dekat situ. Dalam sekejap dia berganti pakaian dan berkata akan menemani pengukuran, karena dia juga tahu batas tanah tersebut.
Saya berterima kasih banyak dong, dan berniat ingin membelikan rokok lagi, namun ternyata bertepatan dengan petugasnya datang.
Jadi saya urungkan niat beliin rokok (sungguh tragis ya, i hate rokok banget, tapi saya malah beliin orang rokok, wkwkwkwkw), lalu berjalan cepat mengikuti langkah bapak-bapak tersebut.
Baca : Tentang Rokok dan Masa Kecil serta Dampak Pernikahan
Proses pengukuran sebenarnya lancar, yang bikin rempong tuh karena saya mengajak si Kakak. Masya Allaaaaaahhhhh tabarakallaaaahhh, anak lelaki akoh itu leleeetttnyaaaaa kek keong, huhuhu.
Sementara saya takut dia luka kena ujung kayu tajam yang banyak di sana, atau dia nyasar di hutan karena tertinggal jauh di belakang. Dan saya juga harus mengejar petugasnya yang bergerak cepat menentukan batas-batas pengukuran.
Dan saya juga oon banget nurutin perintah mama dan kakak buat bawa parang untuk bikin tanda di titik yang diambil. Pegimana mau bikin tanda, orang petugasnya bergerak cepat gitu. Akhirnya saya cuman bisa mengabadikan fotonya aja, dengan harapan masih bisa ingat titik pengambilan tersebut, meski tanaman liat mulai lebat lagi, wakakakak.
Nah di sinilah drama pengukurannya selain nungguin si Kakak yang lelet jalannya itu. Ternyata beberapa titik tidak sama seperti yang mama dan kakak tunjukan.
Btw, sebelumnya mama udah menjelaskan batas-batas tanah tersebut, dan demi menghindari rempongnya cari tanda tangan banyak orang, jadi saya sengaja kasih keterangan 1 pemilik aja buat yang berbatasan dengan tanah tersebut.
Menurut mama ini lebih sederhana, karena bagian belakang berbatasan dengan hutan bakau, samping kiri punya negara karena nggak jelas siapa pemiliknya, sementara 2 sisi lainnya tanah atas nama satu orang saja.
Dan coba tebak apa yang terjadi?.
Bapak-bapak yang nawarin bantu tunjukin batas itu malah mengklaim tanah sedikit di dekat pohon bakau itu sebagai miliknya dong. Memang sih di bagian itu terdapat beberapa pohon jati putih yang sudah besar. Menurut mama pohon itu memang tidak ditanam bapak, tapi ada orang yang dulu kurang kerjaan nanam itu di tanah milik orang yang kemudian dijual ke mama.
Yang jelas orang itu bukan si Bapak itu.
Awalnya saya shock, tapi plis laaahh akoh benci berantem gegara tanah. Jadinya saya oke in aja.
Pas banget kakak saya telpon dan saya kabarin hal itu, eh mereka awalnya protes. Tapi saya jelaskan, bahwa daripada berantem, nggak jadi diukur, dan plis lah kita udah ngeluarin duit buat bersihin batasnya, rugi banget kalau enggak jadi diukur saat itu.
Lagian toh tanah yang diklaim itu nggak terlalu besar, dan yang paling penting nggak mengambil beberapa pohon kayu wola besar yang pernah ditanam bapak.
Akhirnya mama dan kakak nurut saja, meskipun dongkol banget.
Tapi ternyata, dramanya nggak sampai di situ. Karena saya masih rempong nunggu si Kakak yang lelet kayak keong jalannya, akhirnya saya nggak bisa sampai dan kasih keterangan langsung ke petugasnya mengenai pemilik tanah di batas sisi-sisi lokasi tersebut.
Dan tebak siapa yang kasih keterangannya ke petugasnya?.
Si bapak yang mengklaim tanah seiprit tadi dooongggg!.
Masalahnya sebenarnya nggak penting buat saya, terserah dia mau klaim tanah batas itu milik siapa?. Toh bukan akoh yang rugi. Tapi yang jadi masalah adalah, pegimana akoh minta tanda tangan batas tanah tersebut?.
Akhirnya pengukuran hari itu selesai dengan cepat, dan sayapun menanyakan kapan bisa melengkapi data administrasinya?.
Ternyata oleh petugas diminta sore hari sudah bisa diurus.
Drama Melengkapi Syarat Tanda Tangan
Sampai di rumah, saya menceritakan drama itu ke mama sambil takut-takut sih, karena mama kan lansia, dan kami sangat menjaga tekanan darahnya.
Mama tuh sering darah tinggi kalau ada hal yang mengganggu hatinya, jadi saya tahan cerita-cerita yang bikin kesal, sambil menyiapkan Copy Kartu Keluarga dan KTP buat melengkapi datanya.
Pukul 16,30 saya ke tempat pengurusannya, dan ternyata di sana sepi. Hanya saya yang gercep melengkapi data, itupun masih harus menunggu karena gambar map-nya belum selesai.
Setelah selesai, barulah dramanya terlihat nyata.
Nama-nama yang harus saya mintain tanda tangan ternyata buanyak, dan ada 1 orang yang nggak jelas. Orang tersebut dimunculkan namanya oleh si Bapak sotoy tadi.
Saya sampai harus ke beberapa rumah untuk meminta diwakilkan tanda tangannya saja. Tapi karena merasa nggak punya tanah di situ, tentu saja orang nggak mau menanda tanganinya.
Saya mulai kesal banget, karena magrib hampir tiba, sementara orang-orang mulai susah konsentrasi karena harus menyiapkan haroa.
Akhirnya saya putuskan untuk minta tanda tangan bapak sotoy itu tadi, yang mengklaim tanah di bagian belakang adalah miliknya. Alasannya biar kalau nanti kacau, setidaknya saya udah mendapatkan tanda tangannya.
Setelah itu saya pulang dulu untuk shalat magrib, lalu curhat tipis-tipis ke mama. Mama yang kesal akhirnya meminta ikut serta untuk minta tanda tangan.
Dan akhirnya setelah mama ikut, proses meminta tanda tangan jadi lebih lancar, sementara tanda tangan orang yang nggak jelas tadi kami putuskan untuk mendesak si bapak yang mau bertanda tangan aja, biar kalau ada apa-apa dia aja yang bertanggung jawab. Dan ternyata berhasil, berkat mama yang mintain sendiri.
Dan setelahnya, Alhamdulillah sebelum Isya, saya sudah berhasil mengumpulkan datanya di petugasnya, membayar uang sebesar 350ribu tanpa ada tanda terima, saking petugasnya udah buru-buru banget ditungguin acara haroa.
Alhamdulillah, meski drama, tapi proses pembuatan sertifikat tanah atas nama saya, selesai juga. Tinggal nunggu sertifikat keluar, jika memang tak ada kendala.
Beberapa Catatan Tentang Kegiatan Pembuatan Sertifikat Tanah lewat PRONA/PTSL 2025
Ada beberapa catatan penting yang mungkin harus diperhatikan oleh orang-orang yang ingin membuat sertifikat tanah lewat PRONA / PTSL, di antaranya:
1. Gratis Tapi Berbayar
Meskipun program ini gratis dari pemerintah, tapi bukan berarti nggak mengeluarkan biaya sama sekali ya. Ada biaya sebesar Rp. 350 ribu, yang mana biaya ini tentunya berbeda untuk setiap daerahnya.
Saya nggak tahu sih biaya itu buat apa saja, karena sebelumnya sudah dijelaskan oleh pemerintah ke masyarakat, tapi yang ikut rapatnya tuh mama, dan itu udah sejak tahun lalu.
Tapi, kalau baca-baca di beberapa artikel, biaya tersebut untuk membayar patok, BPHTB dan juga untuk petugasnya.
2. Bersihkan Lokasi Titik Pengukuran dan Aksesnya
Sebenarnya jika lokasi tanah yang akan dibuatin sertifikat adalah lahan rumah tuh gampang ya. Nggak perlu ribet bersihin lagi. Tapi kalau lokasinya hutan dan semak belukar, sebaiknya bersihkan dulu lokasi titik pengukuran.
Nggak perlu dibersihin semuanya sih, cukup akses jalan ke titik pengukuran, atau bagian lokasi tanah yang berbatasan dengan milik orang lain aja.
Karena pengukurannya menggunakan alat topografi GPS Geodetic, jadi pengukurannya cuman butuh akses satelit aja.
3. Tanah yang Dilewati Jalan/Sungai/ atau Lokasi Berjauhan Beda Sertifikat
Ini keknya aturannya gini ya, tapi jujur saya baru tau, dan saya bagikan deh, kali aja ada yang baru tahu. Jadi kalau tanah kita dibelah oleh jalan atau sungai, itu nggak boleh diklaim sebagai satu sertifikat, meskipun lokasinya berdekatan.
Harus banget bikin 2 sertifikat, dan tentu saja bayarnya 2 kali, wkwkwkw. Apalagi untuk tanah yang agak berjauhan lokasinya, off course harus bikin sertifikat lainnya.
4. Tidak Ada Batasan Nama Pemilik Sertifikat
Ketika awal pengukuran ini, kami dibuat bingung oleh kesimpang siuran keterangan yang ada. Ada yang bilang nggak boleh bikin sertifikat tanah 1 nama untuk tanah yang berdekatan. Aturannya harus dipisahkan 2 kapling sebelum mengklaim sertifikat lain dengan 1 nama.
Kenyataannya, kemarin enggak ada syarat demikian ya. Tidak ada batasan nama pemilik sertifikat, dan bebas mengklaim sertifikat 1 nama untuk lokasi yang berdekatan.
Demikianlah, dan untuk masukan terakhir sih, buat petugas pengukuran atau siapapun yang berkewajiban. Kalau bisa sih setelah diukur, patoknya langsung dikasih, entah orangnya mau patok sendiri, atau petugas yang matokin.
Kemaren dong, eh bahkan sampai hari ini, udah diukur tapi nggak dikasih patok. Jadi nggak tahu, apakah setelah tanaman liarnya kembali tumbuh subur, saya masih bisa mengingat titik batas pengukuran tersebut, hahaha.
Begitulah cerita drama bikin sertifikat tanah lewat PRONA / PTSL.
Elweel, 24-03-2025
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)