"Iya, ada lowongan (pekerjaan), lagi cari orang nih tapi maaf, Rey tidak bisa, karena tidak terima perempuan!"
Sebuah perkataan yang saya terima beberapa waktu lalu, yang teringat kembali di momen peringatan hari Kartini, 21 April 2025 hari ini.
Hal itu terjadi berulang, salah satunya ketika baru-baru ini,
"Iya, sebenarnya Rey potensial sih, tapi sayangnya Rey perempuan, nggak punya suami pulak!"
Sebuah ungkapan yang menyesakan dada, yang harus saya terima, khususnya akan status saya yang merupakan single fighter mom korban penelantaran keluarga, dan negara pun tak bisa melindungi hak saya dan anak, karena sampai detik ini tak ada solusi atau ganjaran yang diterima oleh si pelaku.
Baca juga : Stop Penelantaran Keluarga, Kenali Bentuknya!
Cerita Ketika Dunia Kerja Menolak Karena Saya Perempuan dan Single Fighter Mom
Jadi ceritanya beberapa waktu belakangan ini saya kembali mencari-cari peluang untuk bisa kerja kantoran kembali. Meskipun usia saya sudah tidak memungkinkan, tapi semangat untuk bisa menghasilkan uang agar mandiri menghidupi anak-anak seorang diri, tetap membara.
Karena faktor usia, saya berusaha melakukan pendekatan dengan memakai 'orang dalam'. Iya, saya tak malu mengakui hal itu, karena saya yakin bisa bekerja dengan baik, dan dibutuhkan perusahaan, hanya saja faktor usia dan kondisi jadi IRT bertahun-tahun menghalangi saya.
Sekitar 2 bulan lalu, saya mendengar kabar bahwa ada salah satu perusahaan yang mencari karyawan dengan segera. Perusahaan itu juga butuh cepat, dan kesulitan mencari pengganti karyawannya yang resign karena lulus test CPNS jalur P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Setelah mendengar kabar itu, tak menunggu lama saya langsung bergerak, datang ke beberapa orang dari informasi yang ada, untuk menawarkan diri mengisi lowongan tersebut.
Pertama saya mencari informasi di rumah salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Sayangnya orang tersebut terlihat tak antusias, alasannya dia tidak berani membantu mengenalkan saya ke atasannya, karena saya perempuan.
Tak kenal menyerah, saya jelaskan background pengalaman diri, bahwa saya adalah lulusan teknik sipil dari salah satu PTS Surabaya. Dan punya pengalaman bekerja di proyek-proyek, bekerja sama dengan kebanyakan lelaki, lembur di proyek jalan sampai tengah malam, dan segala hal yang mungkin ditakutkan tak bisa dilakukan perempuan, saya jelaskan bahwa saya bisa.
Nyatanya orang tersebut tetap tak berani membantu saya, malah menyarankan untuk masuk di perusahaan lain yang mana di sana terdapat beberapa pekerja perempuan, yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan kantoran.
Jujur saya sedikit tersinggung, si bapak nggak tahu saja keknya, kalau saya nih udah biasa di lapangan (proyek). Bahkan ketika hamil si Kakak 5 bulan, saya malah jalan kaki jauh-jauh di jalan Tol Sidoarjo, untuk ikut andwizjing proyek buat keperluan tender.
Tapi, karena orangnya memang tidak berani membantu, akhirnya saya tak memaksa. Keesokan harinya, saya mendapatkan informasi tambahan, bahwa ada karyawan lain yang kedudukannya lebih tinggi dari orang sebelumnya. Dia merupakan kepercayaan bos, jadi punya pengaruh besar untuk bisa membantu saya masuk ke perusahaan tersebut.
Namun sayang, meskipun saya sudah meyakinkan dengan penuh pengharapan, si Bapak tetap sama dengan orang sebelumnya, dia tak berani janji bisa membantu saya bisa bekerja di perusahaan tersebut, karena saya adalah seorang perempuan.
Dia juga menambahkan, bahwa sudah bertahun-tahun perusahaan tersebut beroperasi, tapi mereka tak pernah sama sekali mempekerjakan tenaga perempuan, dengan alasan 'karena perempuan tak sama dengan lelaki'.
Sedih banget, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Tak lama kemudian, saya bercakap-cakap dengan keluarga, dan mendapatkan informasi bahwa ada seorang investor yang ingin membangun sebuah perumahan dan mungkin wahana wisata. Sebenarnya saya sangat berpotensi untuk bisa bergabung di usaha tersebut, mengingat background pendidikan dan pengalaman saya di teknik sipil. Pernah juga bekerja di kontraktor rumah mewah di Surabaya.
Sayang seribu sayang, investor tersebut tidak suka mempekerjakan pekerja perempuan, terlebih kalau perempuan itu tak bersuami. Astagfirullahal adzim.
Mau nangis rasanya.
Meskipun dalam sudut hati saya paham sih, mengapa banyak orang yang tidak mau mempekerjakan tenaga perempuan, apalagi seorang single mom ya. Apalagi alasannya selain karena perempuan memang kadang jadi sumber fitnah dan masalah bagi lelaki.
Bukan salah perempuan semata juga ya, sering terjadi dalam hal ini lelaki yang lebih dulu memandang perempuan, apalagi seorang single mom sebagai sosok yang bisa digoda. Di sisi lain, sebagai single mom dan perempuan yang sering menggunakan lebih banyak porsi perasaannya ketimbang logikanya, kadang juga jadi tergoda akan perhatian lelaki.
Namun please lah, bagaimana dong nasib kesetaraan perempuan, apalagi perempuan yang terpaksa jadi single fighter mom karena korban penelantaran keluarga kayak saya?.
Btw, ini terjadi di Buton ya.
Dan setelahnya saya coba mencari politisi perempuan khususnya di Sulawesi Tenggara yang concern terhadap masalah hak dan kesetaraan perempuan dan anak, sepertinya memang masih kurang, atau memang ada, tapi tidak terekam di google.
Hari Kartini dan Ironis Kesetaraan dan Hak Perempuan yang Masih Diabaikan
Di hari peringatan Kartini ini, rasanya pengalaman saya di atas rasanya sangat ironis dengan perjuangannya di masa lampau demi kesetaraan perempuan.
I mean, yang saya alami dan butuhkan ini, bukan semata hak saya dalam mendapatkan emansipasi dan kesetaraan perempuan di dunia kerja. Namun ini adalah kebutuhan yang sangat urgent dari perjuangan seorang perempuan menghidupi dua anaknya setelah ditelantarkan dengan sengaja oleh ayahnya.
Lalu, bagaimana nasib perempuan dan anak, jika menjadi single fighter mom adalah kondisi jadi korban?. Sementara pemerintah tak bisa bertindak tegas pada lelaki yang menjadi pelaku penelantaran tersebut?.
Dan, mengapa harus membatasi tenaga kerja pada gender dengan alasan perempuan berpotensi menimbulkan fitnah dan masalah?. Lalu bagaimana nasib perempuan seperti saya, yang harus menghidupi 2 anak korban penelantaran yang tak juga bisa dibantu oleh negara?.
Perjuangan Kartini di masa lampau, mengajarkan pada kita tentang pentingnya kesetaraan, hak-hak dasar, dan kesempatan yang sama bagi semua orang, termasuk perempuan.
Di mana, meskipun terlahir sebagai perempuan, kita semua punya kesempatan yang sama untuk bisa berkarya, dan memajukan bangsa dan negara.
Terlebih untuk perempuan-perempuan yang punya kondisi khusus, harus menafkahi anak-anaknya seorang diri.
Jika tak ada kesempatan yang bisa diberikan, hanya karena alasan gender, lalu sebagai perempuan, saya dan banyak single fighter mom lainnya harus gimana?.
Harapan saya di hari Kartini ini, khususnya perusahaan atau pihak-pihak di negara kita yang alergi mempekerjakan tenaga perempuan, bisa lebih peduli dengan kesetaraan gender dalam hak untuk berkarya.
Karena itulah makna sesungguhnya dari peringatan hari Kartini, bukan semata pakai kebaya dan foto-foto di media sosial.
Elweel, 21-04-2025
Heemmm.... apakah ini masalah gender? Soalnya sebenarnya di dunia kerja agak rancu tentang hal ini. Banyak perusahaan yang menolak single mom bukan karena ia wanita tetapi lebih karena pada perhitungan "bisakah single mom fokus pada pekerjaannya karena distraksi anak sangat mungkin mengganggu?"
BalasHapusWalau banyak single mom percaya diri mereka mampu, fakta juga di lapangan bahwa terkadang fokus single mom akan terpengaruh dan efektivitas kerja mereka berkurang karena terbagi dgn keharusan "mengurus anak".
Bukan berarti semua begitu yah, karena saya sendiri punya kenalan banyak single mom yang bekerja.
Jadi agak ambigu juga, ga jelas kalau masalah single mom susah mendapat pekerjaan adalah karena masalah gender. Semua itu karena ada alasan lain, yaitu soal waktu untuk mengurus anak dan efektivitas dalam bekerja. Keduanya adalah hal yang wajar dalam urusan menerima pegawai.
Jadi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa itu adalah masalah kesetaraan gender karena setiap perusahaan pasti mempunyai pertimbangan dan kriteria karyawan yang dibutuhkan. Bukan sekedar kemampuan akademis atau skill saja, tetapi juga karakter dan sikon sang karyawan.
Apalagi di Indonesia dimana jumlah pelamar kerja lebih banyak dibandingkan lowongan pekerjaan yang tersedia. Bukan hanya single mom yang mengalami masalah itu, lulusan SMK, lulusan Universitas, semua mengalami masa sulit. Mereka sama dengan single mom, yaitu butuh pekerjaan untuk mencari nafkah.
Kalau baca tulisan di atas terdapat prasangka, yang justru membuat Rey terkesan tidak fair dalam menilai situasi.
Coba saja pikirkan
- kalau perusahaan itu menerima Rey, tetap saja mungkin akan ada seorang bapak yang butuh pekerjaan untuk menafkahi anaknya yang tersingkir ==> haruskah disebutkan sebagai masalah kesetaraan gender?
- kalau perusahaan itu menerima Rey, akan ada lulusan SMK pria/wanita yang lebih muda dan butuh uang untuk hidup yang tersingkir ==> haruskah ia berpikiran bahwa ada masalah kesetaraan gender
Masalah ditelantarkan oleh suami adalah masalah personal, individu, yang tidak bisa diajukan sebagai dasar bahwa semua hal disebabkan karena masalah gender. Bukan berarti juga posisi Rey sebagai pelamar kerja harus diprioritaskan karena banyak orang di Indonesia punya masalah yang sama, butuh pekerjaan.
Di Indonesia sendiri, meski budaya Patriarki masih cukup kental terlihat, menurut saya sih sudah jauh lebih baik dan tidak seburuk yang stigma yang tertanam dalam benak banyak "wanita" atau penggiat feminisme, terutama di kota-kota.
Coba saja lihat di atas Commuter Line Jabodetabek setiap hari. Di sana akan terlihat betapa banyaknya kaum wanita yang juga mendapatkan karir dan pekerjaan yang layak, bahkan lebih baik dari laki-laki.
Kalau menurut saya sendiri sih, terkadang kita harus menerima fakta bahwa persaingan mencari kerja di Indonesia luar biasa kompetitif dan memperkecil peluang setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan. Jangan selalu dikaitkan dengan gender karena Rey wanita (dan kebetulan belakangan selalu merasa diperlakukan tidak adil oleh banyak orang)..
Itu saja sih
Seperti yang saya sebutkan di atas, ini terjadi di luar pulau Jawa, dan alasannya jelas.
Hapus"Karena perempuan itu godaan!"
Makanya, perempuan saja selalu ditolak, apalagi kalau statusnya single mom atau ga harmonis dengan suami.
Karena masyarakat menilai single mom itu lebih jadi godaan
ITU MASALAHNYA!
Maksudnya, bagaimana bisa mengeneralisir bahwa perempuan itu godaan? sementara laki juga bisa berpotensi menggoda.
Kan ini kemunduran zaman banget namanya.
Nggak perlu harus mengkucilkan 1 gender kan, bisa pakai aturan tegas tentang batasan perilaku karyawan.
That's it!
Yang kedua, hanya karena ada satu dua perempuan apalagi single mom dianggap tidak bisa fokus dalam bekerja, lalu menuduh semua perempuan seperti itu.
Tidak ya, dan bisa diatasi dengan aturan keras perusahaan, serta denda (kalau perlu) jika tidak memenuhi syarat.
Kenyatannya, saya pribadi sangat menghargai aturan perusahaan dan tahu batasan banget.
Saya dulu jadi IRT hanya karena nggak mau konsentrasinya pecah antara kerja dan anak.
Sekarang, setelah saya memutuskan kerja, tentu semuanya sudah dipertimbangkan, termasuk masalah anak.
Dan saya yakin, saya bukanlah satu-satunya perempuan yang punya pemikiran seperti itu.
Dan laki-laki juga bukan berarti semua fokus nggak kayak perempuan ya.
Tapi bisa disiasati dengan aturan keras perusahaan kan?.